Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Jangan pernah janji pada anak-anak, lalu tak ditepati. Jika itu terus menerus dilakukan, maka anak-anak mendapat pelajaran awal pada masa kanak-kanaknya, bahwa janji tidak harus ditepati.
Orang tua yang acap berjanji yang tidak ditepati itu, janganlah berharap anak-anak akan mempercayai janji yang dibuatnya. Jika sudah demikian, maka anak-anak akan sulit bisa ditata.
Begitupun pada pemimpin pada tingkat apapun, jika berjanji pada publik yang dipimpinnya, dan tidak ditepati maka ketidakpercayaan pada pemimpin itu menjadi wajar.
Semua sepakat bahwa komitmen yang dibuat, itu mesti ditepati. Komitmen yang disampaikan seorang pemimpin pada publik, maka seharusnya komitmen itu pantang dilanggarnya.
Apalagi pemimpin yang hadir pada saat-saat ini, saat menyampaikan bahaya dari pandemi Virus Covid-19, dan lalu meminta agar menindak tegas siapa saja yang melanggarnya.
Menjadi hal aneh, jika justru malah pemimpin itu melanggarnya. Bukan menjadi contoh yang baik, dan bahkan pantas jadi olok-olok yang mampu mengundang ketidakpercayaan.
Kerumunan pada saat-saat ini menjadi larangan, mestinya itu berlaku pada semua pihak, pada semua golongan dengan status sosial apapun yang menempel padanya.
Paradoks yang Muncul
Persoalan pernikahan, lalu menjadi larangan jika mengundang banyak orang, dan apalagi terdapat pelanggaran prokes. Maka, saat Habib Rizieq Shihab menikahkan putrinya, menjadi persoalan. Sanksi administratif telah dikenakan, dan lalu denda ditetapkan Rp 50 juta.
Tidak berhenti disitu saja, tapi itu yang membawanya ke tahanan. Bahkan mengorbankan 6 anak muda usia produktif dari laskar FPI, yang harus meregang nyawa. Sanksi pelanggaran prokes, meski itu masih _debatable_, apakah benar kerumunan Petamburan itu memunculkan klaster baru. Tidak ada yang bisa membuktikan.
Pada kasus Habib Rizieq, larangan dan sanksi itu dikenakan begitu keras, bahkan sanksi paling keras yang dibuat, seolah hukum ditegakkan dengan sebenarnya. Seolah ucapan pemimpin dijalankan aparat dengan keras tanpa pandang bulu.
Tapi menjadi paradoks, saat itu tidak terjadi dan berlaku pada yang lain. Bahkan justru dilanggar sendiri oleh pemimpin yang menggelorakan sikapnya, bahwa hukum harus ditegakkan pada semua pihak.
Adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang justru melanggar sendiri apa yang diucapkan soal larangan kerumunan. Ia menghadiri pernikahan youtuber Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah, putri musisi Anang Hermansyah.
Subhanallah Tuhan tunjukkan dua aktivitas yang sama, yaitu pernikahan. Sama-sama ada kerumunan di sana. Yang satu di Petamburan, dan satunya di Hotel Bintang Lima. Yang satu acara pernikahan anak ulama, dan satunya anak musisi/artis.
Hukum ditegakkan keras di Petamburan, bahkan kelewat keras. Tapi hukum menjadi lembek, dan tidak disebut sebagai pelanggaran pada kasus pernikahan Atta-Aurel. Pernikahan yang bahkan dihadiri Presiden Jokowi, Menteri Pertahanan, Prabowo, Ketua MPR-RI, Bambang Soesatyo.
Malam harinya dilanjut di tempat yang sama, pesta resepsi, yang juga dihadiri para menteri, para artis dengan jumlah undangan yang tidak sedikit. Aman-aman saja. Tidak satu pun para menteri yang juga aktif berbicara keras soal prokes, misal Mahfud MD, yang lalu komentar atas pesta pernikahan/resepsi itu. Mustahil ia berani bicara, jika tidak ingin “dijewer” Jokowi. Biarlah itu jadi jejak digitalnya.
Sampai-sampai Ketua MUI, KH Cholil Nafis, PhD, sampai mempertanyakan penuh heran, “Kadang dalam diri ini bertanya: mengapa artis lebih dikagumi dan dicintai dari ustadz? tanya KH Cholil melalui akun @cholilnafis, Ahad, 4 April.
Olok-olok Lucu dan Kreatif
Maka, jika publik tidak percaya cuap-cuap para pejabat, atau bahkan presiden, itu bukan hal aneh. Justru aneh jika masih mempercayai pejabat demikian; pejabat yang omongan dengan tindakannya berbalik 180 derajat.
Tidaklah salah jika netizen lalu mengomentari paradoks yang dihadirkan para pemimpin negeri ini. Makna kerumunan dengan definisi berbeda, dan keadilan tidak pada semua orang.
Olok-olok lalu hadir dengan kreativitasnya masing-masing. Ada komen dengan kesan tegas, karena rasa muak melihat ketidakadilan pada kasus Petamburan yang berbuntut dengan ditahannya Habib Rizieq, dan kasus pernikahan/resepsi yang dihadiri Presiden Jokowi dan para pejabat tinggi negara.
Ada olok-olok lain yang dibuat dengan kreatif, menampol, dan buat yang membaca menyungging senyum bahkan ngakak. Apa yang disarankan dengan ide kreatifnya itu seolah memberikan jalan keluar bagi siapa saja yang akan mengadakan pesta pernikahan/resepsi, agar aman dan tidak dibubarkan pihak Kepolisian/Satpol PP, maka perlu menempelkan foto Presiden di tempat acara. Pasti aman… Ha-ha-haa…
Dan yang lebih dahsyat lagi, adalah seorang dokter spesialis paru, yang lewat Twitter-nya, berkomentar keras dan satire. Tidak banyak memang dokter yang mau mengomentari hal politis di ruang publik. Satu kecualian adalah dr. Eva Chaniago, Sp.P.
Ia lalu membandingkan dua perlakuan di masa pandemi yang dilakukan dengan berbeda. Menurutnya, pernikahan putri Habib Rizieq, seolah terkesan dikejar dan diincar bak teroris. Sementara pernikahan Atta-Aurel, justru Jokowi hadir dan memberi restunya.
Lanjutnya, “Disitu saya sebagai dokter jadi bingung, andai saya bisa interogasi itu _virus corona_, kenapa sampai dia terpapar politik,” lewat Twitter @sridianaeva, Sabtu, (3 April).
Itulah bentuk kegeraman atas paradoks yang muncul dari para pemimpin negeri ini, dan yang lalu menyebabkan netizen menanggapinya dengan kritikan keras, satire, dan terkesan mengolok-olok. Sebuah bentuk perlawanan yang bisa diberikan atas kesewenang-wenangan, yang dipertontonkan rezim selama ini. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya