Oleh: Faiqotul Himmah
BARU-baru ini Mahkamah Konstitusi (MK) menolak perluasan pasal perzinahan dalam KUHP. Artinya, menurut undang-undang yang berlaku di negara kita, seolah menunjukkan, LGBT dan hubungan di luar nikah bukanlah perbuatan kriminal. Kalangan pendukung LGBT bergembira akan putusan ini. Di antaranya LBH Masyarakat. Menurut mereka, MK telah menolak menjadi lembaga yang “mengkriminalkan suatu perbuatan” demikian propaganda yang selalu mereka ulang-ulanng. Begitu juga dengan Koalisi Perempuan yang menilai MK telah memenangkan akal sehat.
Mereka yang mendukung putusan MK berpegang teguh pada prinsip “hukum berhenti di depan pintu kamar”. Hukum tidak boleh masuk kewilayah pribadi. Lies Marcoes, seorang feminis menyebut, permohonan untuk mengkriminalkan LGBT itu berbahaya karena meminta negara untuk campur tangan dalam kehidupan pribadi warga.
“Dan campur tangan pada urusan pribadi warga itu bukan untuk melindungi, melainkan justru untuk merepresi warga untuk urusan yang tak bersangkut paut dengan orang lain,” kata Lies Marcus.
Menurutnya, negara, dalam hal ini pemerintah, juga Mahkamah Konstitusi (MK), harus menunjukkan kewibawaan dengan tidak tunduk pada tekanan konservatisme agama. (BBC, 4/16).
Persoalan kamar?
Jika ditelisik lebih mendalam, “legalnya” LGBT bukanlah sepenuhnya salah MK. Suka tidak suka, harus diakui bahwa KUHP Negara kita hanya berlaku dalam ranah publik. KUHP tidak bisa bekerja di dalam kamar. Masalahnya, apakah benar LGBT hanya persoalan kamar?
Homoseksual telah menghiasi sejarah peradaban manusia sejak zaman Nabi Luth as. Kisah Kaum Sodom ini pun menghiasi sejarah Romawi dan Yunani. Begitu juga di kerajaan Inggris. Padatahun 1533 M parlemen Inggris mengeluarkan undang-undang yang dikenal dengan Act 0f 25 Henry VIII yang memberikan hukuman gantung kepada pasangan homoseksual dan pasangan heteroseksual yang melakukan persetubuhan melalui dubur.
Pada awal abad 20 muncul gerakan homoseksual modern. Setelah Perang Dunia ke-2, berbagai gerakan homoseksual bermunculan di berbagai Negara di Barat yang dikenal dengan homophile movement. Mereka menggunakan media ilmiah seperti diskusi-diskusi dalam bidang medis. Di New York dan San Fransisko kala itu muncul bar-bar dan diskotik khusus kaum homo.
Tidak cukup dengan itu, pendukung homoseksual membentuk kelompok yang memiliki cabang di berbagai Negara. Di antaranya adalah Scientific-Humanitarian League atau World League for Sexual Reform yang memiliki keanggotaan internasional. Gerakan-gerakan semacam ini terus bertambah dan meluas. Takter kecuali hingga Indonesia.
LGBT di Indonesia mulai eksis sejak tahun 1969. Muncullah HIWAD singkatan dari Himpunan Wadam di Jakarta yang didukung Gubernur Ali Sadikin. Pada Maret 1982, berdiri organisasi homo pertama di Asia dan Indonesia bernama Lambada yang berpusat di Solo. Lima tahun kemudian berdir GaYa Nusantara di Surabaya dan Pasuruan.
Bukan sekedar mendirikan organisasi, mereka pun aktif menggelar kongres. Pada bulan Desember 1993 diselenggarakan Kongres Lesbian dan Gay Indonesia (KLGI) pertama di Jogjakarta. November 1997 diselenggarakan KLGI ke-2 di Bandung. Pada Maret 2000 diselenggarakan kongres KLGI ke-3 di Bali dan mereka menetapkan 1 Maret sebagai hari solidaritas Lesbian dan Gay Nasional. Pada tahun 2006, lahirlah Jogjakarta Principles yang menjadi dasar bagi perlindungan hak-hak LGBT.
Pertanyaannya, jika LGBT hanya sekedar persoalan kamar, untuk apa mereka medirikan organisasi dan menggelar kongres?
Jelas ini bukan sekedar persoalan kamar laiknya hubungan suami-istri normal.
Adalah dusta jika menganggap LGBT adalah murni persoalan privat yang tidak ada sangkut pautnya dengan publik. Jelas juga ada gerakan politik. Faktanya, keberadaan mereka menimbulkan keresahan masyarakat dan berbagai ancaman. Yang tampak nyata di depan mata adalah HIV/AIDS. Pada mulanya penyakit ini bernama Gay-Related Immune Deficiency disingkat GIRD.
Sejak awalnya, penyakit ini bersumber dan ditemukan di kalangan homoseksual. Namun sejarah ini ditutup-tutupi.
Data dari Centers for Desease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat pada 2013 menyatakan dari hasil screening gay usia 13 tahun keatas, didapatkan sebesar 81 persen terinveksi HIV dan 55 persenter diagnosis AIDS.
Sementara itu di Indonesia, data dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) nasional menunjukkan adanya peningkatan penderita HIV/AIDS dari kalangan homoseksual. Pada tahun 2008 sebanyak 6 persen, lalu menjadi 8 persen pada 2010 dan terus meningkat menjadi 12 persen pada 2014. Sementara jumlah ODHA kelompok wanita pekerja seksual stabil di angka 8-9 persen. Berdasarkan hal ini bisa kita simpulkan, jika jumlah LGBT terus meningkat, risiko penularan HIV/AIDS pun akan meningkat. Tidakkah ini mengganggu publik?
Belum lagi bahaya dari sisi perilaku. Kaum LGBT dikenal sangat posesif bahkan tak segan melakukan tindakan kriminal jika hasrat mereka tak dipenuhi. Di Jember misalnya, pada September lalu, seorang waria nekat membunuh pasangan sejenisnya karena menolak berhubungan intim. Data lain menunjukkan 50 persen pembunuhan karena kasus LBGT berakhir mutilasi. Dan di Amerika Serikat, 78,9 persen pembunuhan yang terjadi adalah karena kasus LGBT.
Tuhan dilarang masuk kamar?
Begitu dahsyat kerusakan yang terjadi karena LGBT. Inilah yang terjadi ketika Tuhan dilarang masuk kamar. Tuhan “dipenjarakan” dalam masjid. Di luar itu, manusia bebas dan berhak membuat berbagai undang-undang dan aturan kehidupan. Keyakinan ini sejatinya berdiri di atas ideologi sekulerisme. Sekulerisme mengharamkan agama mengatur kehidupan.
Padahal manusia sarat akan kepentingan. Kemampuan akalnya pun berbeda-beda dan sangat terbatas. Sesuatu yang dianggap baik hari ini, bisa dianggap buru kesok. Sesuatu yang dibenci kemarin, diperjuangkan hari ini. Manusia cenderung mengganggap baik apa yang dia sukai dan mengganggap buruk apa yang dia benci.
Apa yang dianggap baik oleh sekelompok orang, bisa dianggap sumber malapetaka oleh sekelompok yang lain. Manusia mencintai harta, kekuasaan, kebebasan. Maka wajar, jika manusia diberi hak untuk membuat hukum, yang terjadi adalah keruskan.
Itulah bedanya dengan Islam. Islam mengatur urusan kamar dengan pernikahan sah antara suami isteri. Orientasi seksual yang dibolehkan hanya antara laki-laki dan wanita. Ketika sudah menikah, urusan kamar memang tidak boleh dipublikasi. Menjadi wilayah privat keduanya. Bandingkan, ketika LGBT membuat komunitas, go public menunjukkan eksistensinya dengan kampanye-kampanye dan propagandanya, bukankah itu membawa urusan kamar keranah publik?
Di beberapa negara (terutama Negara sekuler) LGBT justru dianggap ilegal. Tahun 2015 PBB menyebutkan, di 76 negara hubungan sama jenis masih diancam sanksi hukum. Di tujuh negara, homoseksualitas bahkan diancam dengan sanksi hukuman mati. Bukankah itu berarti UU buatan manusia mengatur urusan kamar?
Rusia bahkan mengkampanyekan propaganda hukum anti gay di mana, memberlakukan pelarangan menyetir bagi kaum transgender. Di Mauritania, Sudan, Iran, Saudi, Arabia dan Yaman bahkan jauh lebih keras, diberlakukan hukuman mati. Bandingkan dengan Indonesia yang sangat lunak.
Jadi sungguh naif beranggapan LGBT adalah persoalan kamar dan privasi. Sebab, ini adalah sebuah gerakan sistematis. Selain merusak ia juga melahirkan keresahan, kegaduhan dan ketertiban warga, di mana secara hukum negara sudah berhak memberlakukan secara hukum.*
Admin Info Muslimah Jember dan anggota Komunitas Belajar Nulis Revowriter