Untuk Bush, Ini Perang Salib
Hidayatullah.com–Fred Kaplan, doktor ilmu politik dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), menyimpulkan kegagalan demi kegagalan terjadi karena keputusan diambil bukan dengan pertimbangan teknologi, sejarah, atau kebudayaan, tapi lebih pada khayalan, agama (Kristen), dan masa bodoh dengan segala konsekuensi yang ditimbulkannya.
Harap dicatat selain penganut Kristen Evangelical, Bush dikelilingi dan akrab dengan para tokoh dan pendeta Evangelical seperti Jerry Palwell (meninggal tahun lalu), Pat Robertson, James Dobson, dan Franklin Graham, putra pendeta senior Billy Graham. Setelah peristiwa 11 September, Jerry Palwell berteriak-teriak melalui televisi kabel agar tentara Amerika segera membalas mengebom Mekah.
Patrick J.Buchanan, intelektual konservatif senior mengamati Presiden Bush, dan menyimpulkan bahwa setelah 11 September 2001, Presiden mengalami perubahan perilaku yang amat besar. Ia menamakan musuhnya dengan terminologi agama. Ia sebut musuhnya – kaum teroris – adalah penjahat yang penuh dosa (evildoer), yang tak punya negara, tak punya ideologi, motivasinya adalah kebencian.
Seperti ditulis Buchanan – ia pernah dua kali mencalonkan diri sebagai Presiden — di dalam Day of Reckoning, Bush mendefinisikan perangnya sebagai antara yang baik (good) melawan jahat (evil). Itu bukanlah definisi yang biasa. Clausewitz, misalnya, mengatakan perang sebagai perluasan langkah politik dengan pengertian yang lain.
‘’Untuk Bush perang ini semacam Perang Salib, dan ia sendiri sebagai agen kebenaran itu,’’ tulis Buchanan (lihat Day of Reckoning, Thomas Dunne Books, 2007, hal. 74). Jadi, istilah crusade yang digunakan Bush ketika memproklamasikan war on terror adalah dalam pengertian Perang Salib yang sesungguhnya. Itu bukan karena keseleo lidah.
Tindakan konyol Bush itu amat mahal harganya untuk rakyat Iraq, juga rakyat Amerika. Kini sudah lebih 4100 tentara Amerika tewas, 27.000-an lainnya terluka, termasuk ribuan harus dirawat seumur hidup karena trauma atau cacat permanen. Biaya yang dihabiskan Pemerintah Bush sudah mendekati 1 triliun dollar.
Pemenang Nobel Ekonomi 2001, Profesor Joseph Stiglitz dari Columbia University, memperhitungkan Amerika bakal menghabiskan 3 triliun dollar untuk perang itu. Stiglitz bersama Linda Bilmes dari Harvard University, kemudian menuliskan hitungan-hitungan itu di dalam buku The Three Trillion Dollar War (Penguin Books, 2008), yang beredar tiga bulan lalu. Krisis yang melanda ekonomi Amerika Serikat sekarang, sedikit banyak disebabkan juga oleh perang ini, termasuk melonjaknya harga minyak dunia.
Petualangan Bush menyebabkan Partai Republik ketiban sial. DPR dan Senat yang selama ini mereka kuasai, berpindah ke tangan Partai Demokrat. Yang juga kejipratan sial adalah para tokoh Kristen Evangelical yang selama dua kali pemilihan Presiden terakhir, menjadi pendukung utama Presiden George W. Bush. Dalam pemilihan Presiden sekarang mereka tampak kebingungan dengan suara yang terpecah.
Sebagai kelompok konservatif mestinya mereka mendukung calon Partai Republik, John McCain. Tapi McCain mengecewakan karena sikapnya tak jelas dalam isu-isu yang menjadi konsern mereka seperti larangan abortus, perkawinan sejenis, atau riset sel tunas (stem-cell research). Pendukung Kristen Evangelical diduga hampir 30% dari pemilih Amerika, karenanya dukungan mereka cukup menentukan.
Maka kedua calon Presiden, John McCain dari Partai Republik dan Barack Obama dari Partai Demokrat tampak lebih sibuk dengan urusan agama dan pendeta masing-masing.
Obama terpaksa meninggalkan gerejanya, Trinity United Church of Christ, karena pendetanya, Jeremiah Wright, merepotkannya. Pernyataan-pernyataan pendeta berkulit hitam itu, dianggap tak patriot. Misalnya, tentang terorisme 11 September, pendeta Wright bilang, ‘’Teroris menyerang ke sini karena kita lebih dulu ke sana’’. Ia berulangkali menyampaikan sumpah-serapah tentang perlakuan rasis terhadap orang kulit hitam di Amerika. Maka kutukan Tuhan pun datang menimpa Amerika.
McCain sama saja. Dua Pendeta Evangelical-nya, John Hagee dari Texas, dan Rod Parsley dari Ohio, merepotkan. John Hagee sering menyampaikan ceramah yang dianggap anti-Katolik dan anti-Yahudi, sedang Parsley sangat anti-Islam. Dia berkali-kali berceramah menghina Islam dan Nabi Muhammad SAW. Belakangan McCain memutus hubungan dengan kedua pendeta itu.
Ternyata ia dapat pendeta Evangelical paling top. Hari Minggu, 29 Juni lalu, John McCain mengunjungi Pendeta Billy Graham, 89 tahun, dan anaknya Franklin Graham, di rumah peristirahatan mereka di kawasan pegunungan di sebelah barat North Carolina.
Billy Graham memang sudah uzur dan sakit-sakitan. Tapi Franklin terhitung tokoh penting Evangelical. Dia sekarang Ketua Asosiasi Evangelistik yang didirikan ayahnya di tahun 1950. Seusai pertemuan Franklin Graham menyatakan kepada wartawan bahwa ia mendoakan McCain, Senator Arizona itu. Ya, semacam doa politiklah, mirip di sini.
Berbagai jajak pendapat menunjukkan Obama berada di atas McCain. Selain memang usianya sudah di atas 70 tahun, McCain hampir kalah segalanya. Dalam pembicaraan terbuka berkali-kali ia tak bisa membedakan Islam Shiah dengan Islam Sunni. Lebih parah lagi, suatu kali ia bilang Vladimir Putin (kini Perdana Menteri Rusia) adalah pemimpin Jerman.
Yang diandalkannya, sebagai penerbang Angkatan Laut, dulu ia pernah tertembak jatuh dan ditahan lima setengah tahun di Vietnam. Kemudian, kelemahan Obama — leluhurnya Muslim dan berkulit hitam — tentu menguntungkannya.
Maka Obama sebagai seorang calon yang lebih liberal, berusaha terlihat lebih Kristen. Contoh: ia sudah mengumumkan akan memperluas program Presiden Bush soal bantuan sosial-kemasyarakatan dari Gedung Putih melalui kelompok agama.
Artinya: lembaga agama dilibatkan dalam program Pemerintah memberantas kemiskinan. Di Indonesia saja, agama tak pernah dilibatkan Pemerintah sejauh itu, sudah bikin ribut kelompok liberal. Tapi itulah Amerika sekarang. [Habis/hidayatullah.com]
* Penulis adalah Direktur Institute for Policy Studies