Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | KEMARIN, Jumat (16 Juli), sekitar pukul 15.15 an sebuah kabar duka terkirim di grup perkawanan WhatsApp. Ustadz Abdullah Said Baharmus, Lc wafat. Meski beliau sudah di rawat sekitar sepekan di RS, awalnya di RS Ummi Bogor, lalu dipindahkan ke RS Yarsi, Jakarta.
Kabar sepekan itu lalu menyebutkan, bahwa ia dirawat karena sesak nafas, yang lalu dinyatakan positif Covid-19. Ia memang membawa penyakit lainnya, jantung dan ada sedikit masalah pada ginjalnya.
Ustadz Abdullah Said Baharmuz, aktif di banyak organisasi dan yayasan. Tercatat ia duduk sebagai Anggota Dewan Syuro’ Al-Irsyad Al-Islamiyyah, Anggota Dewan Wakaf Gontor, Wakil Ketua Komisi Luar Negeri MUI, Ketua Yayasan Ar-Rahmah, Jakarta. Dan banyak yayasan-yayasan lain, dimana ia duduk sebagai ketua ataupun anggotanya.
Ia memang dikenal sebagai orang yang banyak bekerja ketimbang berbicara. Hidupnya sederhana, tapi lewat Yayasan Ar-Rahmah yang dipimpinnya, yang bergerak di bidang sosial- dakwah, dan yang lebih mengkhususkan pada pembangunan masjid dan sekolah/pesantren.
Entah sudah berapa ratus masjid yang dibangunnya, dan masjid yang dibangunnya cukup mewah dan dengan ukuran tidak kecil. Ia hanya membangun masjid di mana di tempat yang akan dibangunnya memang perlu dibangun masjid. Syaratnya, tanahnya sudah ada, tanah wakaf dengan surat-surat resmi. Itu agar tidak terjadi persoalan dikemudian hari.
Begitu pula persyaratan saat membangun sekolah/pesantren. Lalu orang bertanya, darimana ia dapatkan uang untuk membangun masjid, yang terkadang satu masjid bisa bernilai Rp 2-3 milyar. Setelah tanah yang dibangun tidak bermasalah, ia lalu mencarikan dana ke Timur Tengah. Dan selalu ia dapatkan dana itu, dana pembangunan masjid/sekolah/pesantren berupa wakaf dari pendonor.
Tidak itu saja, ia juga membuatkan yayasan pengelolaan masjid yang sudah terbangun itu. Masjid itu selalu dinamakan Masjid Ar-Rahmah, sesuai dengan nama Yayasan Ar-Rahmah.

Ia membangun masjid-masjid itu, tidak hanya di Jawa, tapi juga di luar Jawa. Tidak bisa dibayangkan betapa sibuknya Ustadz Abdullah itu. Ia terus berjalan bergerak memastikan bahwa bangunan masjid-masjid yang dikerjakan itu sesuai amanah yang diberikan pihak pendonor. Meski masa pandemi Covid-19, ia terus bergerak, tidak ingin amanah yang diberikan itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Maka masa pandemi itu tidak menghalangi langkahnya.
Langkahnya itu dihentikan oleh wabah Covid-19 yang dikirim-Nya. Meski sehari sebelum ia wafat dilakukan PCR, dan hasilnya nagatif. Karena itulah beliau dikuburkan selayaknya jenazah yang meninggal. Dimandikan keluarga dan kerabatnya, juga jenazah disholatkan secara berjamaah, dan dihantar ke pemakaman. Ia dimakamkan di Pesantren Ar-Rahmah, Serang-Banten. Sekitar pukul 10.00, (Sabtu,17 Julu) jenazah di sholatkan di Masjid Ar-Rahmah di kawasan Pesantren. Tampak masjid megah itu penuh dengan jamaah yang mensholatkan.
Semua Merasa Kehilangan
Setelah berita wafatnya Ustadz Abdullah Said Baharmus menyebar, maka ucapan ta’ziah di grup-grup perkawanan tidak henti-henti disampaikan. Bahkan muncul semacam “kesaksian” dari mereka yang mengenal Ustadz Abdullah secara baik. Semua kesaksian yang diberikan penuh puja-puji atas kerja-kerjanya yang sepi dari pemberitaan, tapi dengan hasil luar biasa.
Satu diantaranya, sebuah tulisan dari Iskandar Alukhal (PPMI Madinah, 2016). Menurutnya, Ustadz Abdullah Said Baharmus, Lc, adalah sosok yang memiliki singgasana khusus di hati para mahasiswa Universitas Islam Madinah.
Baiklah sedikit perlu dikutip di sini, kesaksian Iskandar Alukhal atas Ustadz Abdullah itu, agar sedikit terungkap sosok Allahyarham.
“Beliau berpuluh tahun, selalu membantu para mahasiswa menjelang keberangkatan mereka ke Universitas Islam Madinah, Arab Saudi. Mulai dari pengurusan visa, medical check up, tiket pesawat, lobi masuk ke kantor-kantor keimigrasian Jakarta, sampai berurusan dengan pihak Universitas Islam Madinah.”
Lanjutnya, “Saya rasakan sendiri, betapa sulitnya dulu mengurus berkas-berkas itu agar bisa terbang ke Madinah, jika diurus sendiri (sebelum ada Jam’iyyatur Rahmah), mondar-mandir di Jakarta, keluar masuk ke kantor, lempar sana lempar sini…”
“Ia (Ustadz Abdullah Said Baharmuz) lakukan itu semua bukan atas permintaan Universitas Islam Madinah, atau karena dibayar oleh instansi-instansi terkait, akan tetapi murni, ikhlas karena ingin membantu mahasiswa Indonesia yang diberi taufiq oleh Allah SWT bisa melanjutkan studinya di Madinah.” Subhanallah.
Entah berapa ratus mahasiswa yang dibantunya itu, yang tidak sedikit saat ini jadi da’i-da’i kenamaan dengan menyandang gelar S-2 dan S-3, tentu itu sedikit banyak atas jasa baik beliau Allahyarham.
Semua yang mengenal beliau punya kenangan baik atasnya. Satu hal ciri khas Ustadz Abdullah, ia selalu tersenyum, pribadinya ramah pada siapa saja yang dikenalnya, bahkan pada orang yang baru dikenalnya.
Ustadz Abdullah memilih hidup sederhana, bahkan teramat sederhana jika diukur dengan proyek-proyek yang diikhtiarkannya selama ini. Ia memang kaya hati yang sebenarnya, dan itu tampaknya passion yang dipilihnya.
Pribadi sederhana itu telah meninggalkan dunia fana ini, dalam usia 66 tahun. Ia memiliki 4 anak; dua perempuan dan dua lelaki (Farah, Novel, Yasmin dan Afif). Si sulung 24 tahun, sedang si bungsu 17 tahun.
Afif yang saat ini belajar di Pondok Modern Gontor Darussalam, mengikuti jejak Sang Abi. Afif tadi yang memberikan sambutan atas nama keluarga, menjelang sholat jenazah. Pada mulanya ia tegar, tapi hal yang wajar jika ia tampak tersedu dan mata berkaca-kaca. Ia katakan, bahwa Abi orang baik bagi keluarga… dan ia akan mengikuti jejak Sang Abi.
Ustadz Abdullah Said Baharmus jasadnya memang sudah tidak hadir lagi di alam ini, tapi tidak amal-amal jariahnya yang in Syaa Allah akan terus mengalir tak henti-henti ia terima. Selama ini ia memang hanya terus menabung, dan pada saatnya dipastikan ia akan memanen hasilnya tanpa henti. Subhanallah.
Selamat Jalan Ustadz Abdullah Said Baharmus, semua merasa kehilangan, tapi Allah punya rencana lain yang lebih baik untuknya, dan setidaknya juga ingin memperlihatkan amalan-amalan hamba-Nya, yang seolah sunyi bahkan tidak terdengar, dan pada saatnya karya-karya ikhlasnya itu layak Allah perlihatkan sebagai ibrah bagi kita semua… Wallahu a’lam. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya