Oleh: Ady Amar
DALAM setahunan belakangan ini, mayoritas media mainstream secara ekstrem melakukan pemihakan pada salah satu kontestan Paslon Pilpres yang akan datang (2019). Dan kebetulan yang saat ini sebagai petahana.
Dikatakan ekstrem itu disebabkan media memilih bermain kasar tanpa nurani dan bahkan menghilangkan akal sehat, saat memberitakan satu pihak berlebihan, dan pihak lainnya dinafikan. Jika harus diberitakan maka yang diberitakan adalah berita dengan angle yang tidak baik.
Framing media menjadi filosofi pemberitaan media, baik cetak maupun elektronik. Tidak semua sih, tapi mayoritas media mainstream memilih bermakmum pada Paslon Pilpres tertentu untuk diberitakan secara berlebihan.
Media pada rezim-rezim sebelumnya, Rezim Reformasi, selalu memberi ruang yang cukup seimbang dalam pemberitaan. Dan baru pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintah, media bisa diarahkan pada satu koor dengan begitu sempurnanya. Semua sepertinya ada dalam kantong baju Jokowi.
Baca: Reuni yang Bikin Meriang
Memang tidak semua media bisa masuk dalam kantongnya, TVOne “memilih” ada di luar kantong Jokowi. Namun terkadang juga mencicipi berada dalam kantong Jokowi. Strategi cantik yang coba dimainkan, hit and run.
Mengapa mayoritas media mainstream bisa masuk dalam kantong baju Jokowi? Jawabannya tentu tidak perlu harus repot-repot meminjam otak para pemerhati atau praktisi media untuk mengurainya. Untuk mengurai itu semua cukup dengan benak orang kebanyakan. Hal itu akan bisa dilihat dengan sempurnanya.
Adalah dua hal bisa dilihat pada pemihakan media suka-suka. Dinamakan suka-suka, karena suka-sukanya media bersangkutan memberitakan berita sesuai dengan arahan pemilik modal.
Pertama, para owner media-media itu berperan sebagai petinggi/ketua partai politik, yang memilih berkoalisi dengan rezim yang tengah berkuasa.
Kedua, ada persoalan-persoalan yang menyangkut/tersangkut hukum dari pemilik jaringan media bersangkutan. Jadi ada semacam ketakutan tersendiri dari para owner itu jika harus memilih jalan yang berseberangan dengan rezim. Itu semacam sandera politik.
Maka, sempurnalah kantong Jokowi terisi penuh dengan media-media yang siap membantunya menaikkan rating untuk keterpilihannya kembali. Karenanya, rakyat suka atau tidak suka akan terus dijejali berita-berita sepihak; kehebatan-kehebatan kerja petahana sembari menghantam pihak lainnya, atau setidaknya tidak memberitakannya sama sekali. Seolah petahana, dalam hal ini Jokowi, bertarung dengan diri sendiri tanpa kehadiran Prabowo sebagai lawan dalam perebutan Pilpres.
Metro TV melakukan itu semua dengan begitu sempurnanya, dan tanpa malu-malu. Peristiwa Reuni 212 yang dihadiri berjuta umat, dan yang menyita perhatian pemberitaan dunia internasional itu, bagaimana mungkin tidak diberitakan seuprit pun di televisi yang memilih diksi sebagai televisi berita. Dikatakan seuprit pun tidak diberitakan, karena hatta pada running text-nya berita itu tidak muncul.
Metro TV menghadap-hadapkan, bahwa peristiwa besar itu (Reuni 212) ada di barisan pihak lawan dari petahana. Inilah media berita dengan tidak memberitakan berita besar yang sulit dielakkan untuk tidak diberitakan. Absurd.
Menjadi aneh jika media mainstream lebih memilih berada pada barisan kekuasaan yang sesaat, sembari meninggalkan mayoritas rakyat yang membutuhkan pemberitaan yang fair dan berkeadilan. Maka rakyat akan mengingat-ingat media bersangkutan dengan ingatan yang sulit terhapus, karena ini bersangkut pada penghinaan atas nalar dan akal sehat.
Karenanya, saat ini media sosial menjadi harapan mayoritas rakyat untuk mendapatkan berita-berita dan analisa-analisa para pakar politik dan pemerhati media, yang masih bernalar sehat sebagai rujukannya.
Maka nama-nama Hersubeno Arif, Asyari Usman, Djadjang Nurjaman dan yang lain menjadi simbol pencerahan dan penyeimbang yang ulasan-ulasannya senantiasa dinantikan.
Tidak mustahil, media-media mainstream yang curang dan culas dalam pemberitaan itu akan dijauhi dan ditinggalkan masyarakat, dan pada akhirnya tidak mustahil akan mati mengenaskan.*
Penulis adalah pengamat sosial dan keagamaan