Oleh: H. Abdul Chair Ramadhan
PROSES persidangan perkara penodaan agama yang didakwakan kepada Basuki Tjahaja Purnama (alias Ahok ) akan segera diakhiri dengan pembacaan putusan Majelis Hakim.
Masyarakat luas menantikan apa bunyi amar putusan, apakah berisikan pemidanaan, bebas ataukah lepas dari segala tuntutan hukum. Pada yang tersebut pertama, apakah Majelis Hakim memidana sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau memidana dengan melebihi tuntutan dan tanpa adanya masa percobaan. Pemidanaan melebihi tuntutan (ultra petita) sangat dimungkinkan mengingat JPU telah melampaui batas-batas kewenangannya (ultra vires) dengan menuntut pidana percobaan.
Terlebih lagi tuntutan pidana satu tahun dipandang tidak equal dengan kasus-kasus serupa yang belum pernah dituntut serendah tuntutan JPU pada perkara Ahok. Bagi pihak yang selama ini meyakini bahwa Ahok bersalah tentu sangat mengharapkan kepada Ahok divonis dengan pemidanaan yang adil sebagaimana diterapkan pada kasus-kasus yang serupa. Di pihak lain, bagi pihak yang berseberangan, harapannya adalah yang bersangkutan divonis bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Terlepas dari perbedaan tersebut, kita harus yakini bahwa putusan pengadilan sesuai dengan namanya adalah bersifat memutus antara dua kutub yang berseberangan, yakni tuntutan dan pembelaan.
Hakim sesuai dengan prinsip Kekuasaan Kehakiman adalah “residu” dari konsep “Kedaulatan Tuhan”, Hakim memutuskan perkara atas nama “Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka merupakan salah satu sendi penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi prinsip persamaan dan keadilan.
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan yang seadil-adilnya.
Hakim dalam pemberian putusan melekat pada dirinya kewajiban menegakkan hukum dan keadilan. Menegakkan hukum dan keadilan – dalam pandangan positivistik – bermakna harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disini aspek moral tidak diperhitungkan.
Menutut penulis, Hakim dalam memutuskan perkara harus didasarkan pada rasa, rasio dan fakta.
Rasa lebih menekankan pada aspek kalbu yakni keyakinan. Rasio lebih tertuju pada kemampuan logika dan keilmuan. Fakta menunjuk pada berbagai hal yang terungkap dipengadilan sebagai sebuah kebenaran.
Rasa dan rasio haruslah didasarkan para moral yang didalamnya terkandung kejujuran.
Perlu disampaikan, selama ini Penulis berpandangan, bahwa telah terjadi kesalahan ‘penerapan hukum’ yang dilakukan oleh JPU. Dakwaan yang disusun secara alternatif pada dasarnya dapat dibenarkan, mengingat sifat alternatif menunjuk pada pilihan. Pilihan tersebut pada akhirnya diserahkan kepada Hakim.
Namun, secara materiel kedua dakwaan yakni Pasal 156a huruf a dan Pasal 156 KUHP seharusnya memiliki konstruksi yuridis yang sama dalam artian pemenuhan unsur sesuai dengan alat bukti yang tersedia. Jika tidak dapat dilakukan, maka seyogyanya tuntutan JPU harus mengacu kepada dakwaan yang paling dianggap memenuhi unsur baik perbuatan maupun pertanggungjawaban pidana.
Dalam proses pemeriksaan di Pengadilan, tidak ditemui adanya kelemahan atas pemenuhan unsur Pasal 156a huruf a KUHP sebagai dakwaan kesatu. Semua Saksi dan Ahli mendukung dakwaan kesatu.
Ketika JPU menuntut dengan mendasarkan pada konstruksi yuridis Pasal 156 KUHP, bermakna JPU yakin telah terpenuhi unsur pada Pasal 156 KUHP. Perlu digarisbawahi, ada hubungan emosional antara Pasal 156 dan Pasal 156a huruf a KUHP.
Hubungan dimaksud dapat dilihat dengan pendekatan kesengajaan, sebagai wujud kesalahan dalam hukum pidana. Maksudnya, ketika Ahok dinyatakan terbukti memenuhi unsur Pasal 156 KUHP oleh JPU, maka terdapat kesengajaan secara kepastian (dolus directus) bahwa perbuatan yang bersangkutan telah menimbulkan akibat – yang tidak dikehendaki – penodaan terhadap surah Al-Maidah ayat 51. Oleh karena itu, ia seharusnya dituntut dengan Pasal 156a huruf a KUHP. Perlu diketahui bahwa walaupun timbulnya akibat tidak dikehendaki, namun ia harus dipertangungjawabkan secara pidana atas timbulnya akibat yang tidak dikehendaki tersebut yakni penodaan terhadap Surah Al-Maidah ayat 51.
Tidaklah mungkin terjadi penghinaan terhadap ulama atau umat Islam pada perkara ini jika tidak ada penodaan terhadap surah Al-Maidah ayat 51. Disini terlihat JPU seakan-akan telah melemahkan tuntutannya dan sekaligus memberi peluang bagi Penasehat Hukum Ahok untuk memperkuat pembelaan. Hal ini memberi isyarat, agar menjadi pertimbangan Majelis Hakim untuk menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah atas perbuatan sebagaimana didakwakan oleh JPU.
Dengan adanya rekayasa penerapan hukum tersebut, maka kepada Hakim dibebankan kewajiban moral untuk secara adil, jujur dan bijaksana dalam memutus perkara. Pertautan hukum dan keadilan dibangun berdasarkan maxim, principat, dan postulat. Mengutip pendapat Mochtar Kusumaatmadja, yang mendefinisikan hukum sebagai proses-proses yang mengikat daya keberlakuannya, selain sebagai seperangkat kaidah, asas – asas dan lembaga hukum, yang kesemuanya disebut sistem hukum. Sejalan dengan Mochtar, Achmad Ali memandang apa yang dinamakan hukum dimanifestasikan dalam dua wujud, yakni hukum sebagai kaidah (hukum sebagai sollen) dan hukum sebagai kenyataan (hukum sebagai sein).
Baca: Mahkamah Agung Disebut, Jamin Majelis Hakim Kasus Ahok Independen dan Adil
Hukum dalam kenyataan sama halnya dengan segala proses eksternal yang mempengaruhi hukum yang dijalankan berdasarkan ketentuannya. Hal ini bermakna, bahwa putusan Hakim merupakan hukum sebagai sein, bukan sollen.
Pada perkara Ahok, peranan moral Hakim sangat menentukan. Apa yang dikehendaki oleh moral sudah pasti mengandung kebaikan. Kebaikan adalah satu haluan dengan keadilan. Konkretisasi hukum dalam putusan Hakim identik dengan moral dalam mewujudkan keadilan.
Hakim harus berani menerobos paradigma positivistik hukum dengan menggunakan metode penafsiran yang lebih holistik dan filosofis sebagaimana dikemukakan oleh Ronald Dworkin sebagai “moral reading“, sebagai “dekonstruksi hukum” oleh Jacques Derrida, atau juga “progresivisme hukum” sebagaimana diajarkan oleh Satjipto Rahardjo.
Intinya hakim harus membuka dirinya dalam menghadapi kebuntuan teks-teks hukum. Pada perkara Ahok, kebuntuan yang terjadi adalah sengaja yang telah disiasati. Diakui memang ada kebuntuan karena ketidakjelasan teks dalam rumusan pasal. Teks dimaksud antara lain menyangkut perihal niat pada penjelasan Pasal 4 UU No.1/PNPS/1965.
Perihal niat menurut Ahli Hukum Pidana yang dihadirkan oleh Penasehat Hukum Ahok harus dibuktikan. Disini Hakim harus mengedepankan keadilan hukum yang tidak lagi semata-mata harus identik dengan teks pasal suatu undang-undang. Bahkan menurut pendapat ahli ternama seperti Hazewinkel Suringa, Simons, van Hamel, Zeverbegen, termasuk Vos mengatakan niat adalah identik dengan kesengajaan. Pompe dan Moeljatno yang walaupun membedakan antara niat dan kesengajaan, namun keduanya sepakat jika niat sudah ditunaikan dalam tindakan nyata, maka niat telah berubah menjadi kesengajaan. Perlu dipahami bahwa niat dalam KUHP dimasukkan dalam unsur percobaan sebagaimana diatur pada Pasal 53 ayat (1) sampai dengan ayat (4) dan Pasal 54. Jadi bukan pada delik yang sudah selesai in casu perkara Ahok.
Dengan demikian, perihal niat tidak perlu dibuktikan, cukup kesengajaan saja.
Selanjutnya, yang selalu didalilkan oleh Penasehat Hukum Ahok- termasuk Ahli Hukum Pidana yang dihadirkan – bahwa pengertian golongan yang dimaksudkan pada Pasal 156 KUHP tidak termasuk golongan penduduk yang berdasarkan agama juga harus ditolak oleh Majelis Hakim.
Pendapat demikian bermuatan paham positivistik. Pembagian golongan penduduk dimasa kolonial memang mengacu kepada Pasal 163 Jo Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) yakni Golongan Eropa, Golongan Timur Asing dan Golongan Bumi Putera dengan ketentuan hukum yang berlaku untuk masing-masing golongan. Ketentuan ini didasarkan pada Pasal 75 Regeling Reglement (RR) yang juga mengacu kepada ketentuan Pasal 9 Jo Pasal 11 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (AB).
Penggolongan penduduk tersebut pasca Indonesia merdeka tidak berlaku lagi. Sebab, ketentuan penggolongan penduduk dimasa kolonial bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terlebih lagi saat ini kita sudah memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Baca: Jika Putusan Kasus Ahok Dzalim, Amien Rais: Kita Buat Perhitungan Kembali
Kemudian, penafsiran sistemik dan historis yang menunjuk adanya hubungan emosional antara Pasal 156 dan Pasal 156a huruf a KUHP juga penting dilakukan. Kedua pasal tersebut ditinjau dari teori kesengajaan sangat terkait dan ada hubungan antar keduanya, sebagaimana telah penulis sampaikan di atas.
Menyikapi akan diputuskannya perkara Ahok, maka sebagai warga negara yang baik tentunya kita harus dapat menerima apapun putusan Majelis Hakim, dengan catatan sebagai sebuah kenyataan (sein).
Catatan penulis, keadilan dalam praktik sangat ditentukan oleh bekerjanya sistem hukum. Namun hukum yang tidak adil bukanlah hukum. Masyarakat akan menilai apakah keadilan dan hukum itu dapat dipertemukan atau sebaliknya.
Masyarakat mungkin saja tidak dapat menerima putusan Hakim karena dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan. Oleh karena itu, Hakim semestinya mengedepankan keadilan hukum ketimbang kepastian hukum. Hakim harus berani bersikap progresif dalam memutus perkara yang penuh dengan rekayasa kepentingan politik.
Mencontoh Bismar Siregar, dalam setiap putusannya tidak hanya menggali materi hukum yang ada dalam undang-undang, namun beliau selalu menggali dengan mengedepankan moral dan hati nuraninya.
Dalam dunia akademik putusan Majelis Hakim masih dapat ‘diuji’ dengan standar akademik pula. Disini berlaku penerimaan atas putusan Hakim dalam wilayah hukum sebagai kenyataan.
Semoga keadilan mewujud dalam putusan Majelis Hakim yang mulia.*
Penulis adalah ahli hukum pidana dan Ahli Hukum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat