Oleh: Sam Hamad
Hidayatullah.com | SALAH satu perbedaan paling mencolok antara rezim otoriter dan totaliter adalah yang pertama berusaha untuk melenyapkan musuh-musuhnya, yang kedua berusaha meniadakan segala sesuatu yang berfungsi sebagai otonomi darinya – bahkan jika hal tersebut menimbulkan risiko langsung yang sangat kecil terhadap keseimbangan rezim.
Tepat seperti itulah bagaimana kita harus melihat langkah yang diambil oleh tiran Mesir Abdel Fattah al-Sisi, yang untuk pertama kalinya dalam 1.000 tahun, membawa salah satu lembaga Al-Azhar ke bawah kendali rezim.
Seperti modus operandi kontra-revolusioner totaliter Mesir, parlemen-pseudo yang dipenuhi loyalis Sisi telah mensahkan sebuah rancangan undang-undang (RUU) yang akan memisahkan Darul Ifta, sebuah badan yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan fatwa dan memberi masukan untuk pengadilan terkait masalah-masalah Islam, dari Al-Azhar, yang telah menjadi pengawasnya sejak pertama kali dibentuk pada abad ke 19.
Al-Azhar dianggap sebagai pusat pendidikan, pengetahuan dan yurispundensi paling penting dalam dunia Islam Sunni. Universitas dan masjidnya didirikan oleh Syiah Ismailiyah dinasti Fatimiyah pada abad ke 10, dengan tujuan mendidik orang-orang di bidang, tidak hanya hukum Islam dan teologi, namun juga astronomi, filosofi, sains, ilmu kedokteran dan logika.
Darul Ifta yang pada awalnya menjadi lembaga yang mempertahankan hubungan yang seimbang Al-Azhar dengan Muslim Mesir dan sarana melalui sistem ulamanya dapat mempengaruhi negara sekuler. Dalam semangat otonomi dari otoritas inilah Al-Azhar sering bertindak sebagai pusat perbedaan pendapat yang progresif. Dari Al-Azhar lah tokoh-tokoh besar perlawanan terhadap tirani imperialis dan domestik, seperti Ahmed Orabi, Saad Zaghloul dan Mohamed Abduh, muncul.
Poinnya tentu saja Sisi ingin memastikan bahwa tidak akan pernah akan ada lagi tokoh seperti Orabi atau Abduh modern.
Tidak mengherankan bagi siapa pun yang memahami bahwa keinginan Sisi adalah untuk mengendalikan setiap aspek kehidupan Mesir, baik spiritual maupun material, bahwa ia ingin membatalkan otonomi Al-Azhar.
Tetapi apa yang benar-benar belum pernah terjadi sebelumnya adalah bahwa dia mengambil tindakan ini dengan sangat terang-terangan.
Perlindungan Darul Ifta akan direbut dari Al-Azhar dan ditempatkan di bawah kendali rezim. Dengan kata lain, mekanisme konkrit yang pengaruh Al-Azhar masuki ke kehidupan dan hukum Islam di Mesir tidak akan ada lagi; sebagai gantinya, rezim Sisi akan dapat mengukir untuk dirinya sendiri sebuah visi Islam yang sejalan dengannya.
Al-Azhar akan diharuskan membentuk keputusan keagamaannya berdasarkan kebijakan rezim Sisi. Ironisnya, mengingat ketakutan akan “Islamisme”, ini secara efektif mengubah Sisi menjadi otoritas agama tertinggi di negara ini. Itu mungkin ditafsirkan sebagai hiperbola, tetapi jika Sisi mengontrol Dar al-Ifta dan dapat menolak dan menunjuk Mufti Besar berdasarkan pada kesetiaan, kesimpulan apa lagi yang bisa dicapai?
Kekuatan yang dilucuti dari Al-Azhar, terlepas dari apa yang anda pikirkan tentang kekuatan semacam itu, telah diserap oleh Sisi, dan merupakan kendali lain atas rakyat Mesir.
Sisi telah secara efektif dan belum pernah terjadi sebelumnya merebut setiap lembaga negara. Rezimnya, seperti yang telah kita lihat secara brutal, memiliki kekuasaan atas tubuh dan pikiran orang Mesir. Masuk akal – jika Anda menganggap pemerintahannya sebagai proses transisi totaliter – baginya untuk mencoba memonopoli jiwa orang-orang yang dikuasainya.
Sisi tidak akan ke mana-mana dalam waktu dekat, tetapi masanya akan tiba, baik melalui usia tua atau sakit, ketika Sisi tidak lagi menjadi presiden Mesir.*
Sam Hamad adalah aktivis dan penulis independen Skotlandia-Mesir. Artikel pertama kali dimuat di The New Arab.