Hidayatullah.com — Menjelang peletakan batu pertama untuk pembangunan kuil Dewa Rama di Ayodhya pada 5 Agustus, Asaduddin Owaisi, presiden Majlis Ittihadul Muslimin seluruh India, mengatakan bahwa Masjid Babri akan tetap menjadi masjid.
Dalam wawancaranya dengan Outlook, Owasi juga mengatakan bahwa Perdana Menteri Narendra Modi harus mengklarifikasi apakah dia mengunjungi Ayodhya sebagai Perdana Menteri negara itu atau sebagai individu.
Ketika ditanya mengenai tanggapannya mengenai peletakan batu pertama kuil Dewa Rama, Owaisi yang telah vokal mengkritik keputusan pengadilan terhadap Masjid Babri mengatakan, “Masjid Babri adalah masjid dan akan selalu menjadi masjid. Ini adalah keyakinan saya. Yang tidak bisa direbut dari ku atau dari siapapun.”
“Sejarah akan mengingat apa yang terjadi pada Desember 1949, ketika patung-patung ditempatkan secara diam-diam di Masjid dan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan penghancurannya pada tahun 1992. Selama umat Islam dan orang-orang yang percaya pada keadilan masih memberi perhatian, kami akan terus mengatakan pada generasi baru bahwa masjid kami telah dihancurkan. Tidak masalah jika suara kami ditekan. Kami akan menceritakannya dengan cara kami sendiri,” lanjutnya.
Masjid Babri dibangun oleh Mir Baqi, seorang komandan pasukan Mughal dengan izin kaisar Mughal India, Zahiruddin Babur, di puncak bukit Ayodhya (sebuah kota di India) di mana tidak ada kuil atau bangunan lain pada tahun 1528-1529 Masehi. Sejarah singkatnya tertulis di dalam masjid di atas mihrab-nya. Babri tetap berfungsi sebagai masjid sampai 22 Desember 1949, di mana umat Islam berdoa lima kali sehari dan doa khusus pekanan pada hari Jumat. Pada malam 23 Desember 1949, beberapa orang penghasut Hindu menempatkan sebuah patung Rama di dekat mimbar masjid dan menyebarkan berita pada keesokan paginya bahwa patung Rama muncul di masjid sehingga perlu diubah menjadi Kuil Dewa Rama.
Tindakan picik ini menyebabkan kontroversi di kalangan masyarakat India yang mayoritas beragama Hindu, hingga akhirnya mencapai pengadilan kota yang kemudian memberlakukan larangan kepada Muslim dan Hindu untuk menggunakan Masjid Babri sebagai tempat beribadah. Mengikuti perintah pengadilan, pada hari yang sama masjid itu ditutup. Pada tahun 1950 gugatan sipil diajukan oleh umat Hindu untuk memungkinkan mereka melakukan puja (ibadah) di masjid, dan oleh umat Islam untuk membuka masjid untuk shalat. Pada 26 Januari 1986 pengadilan kota Ayodhya mengizinkan Masjid dibuka tetapi hanya untuk umat Hindu. Perintah pengadilan ini menempatkan larangan total pada Muslim untuk memasuki bangunan Masjid. Pada tahun yang sama organisasi sayap kanan Hindu, Vishwa Hindu Parishad (VHP) membentuk sebuah komite untuk pembangunan sebuah kuil Hindu di lokasi Masjid Babri yang telah berusia lima abad. Pada tahun 1992, Masjid Babri dihancurkan, meskipun ada perintah Mahkamah Agung yang menentang penghancurannya, di bawah perlindungan yang jelas dari Partai Kongres dan partai nasionalis Hindu, Partai Bhartiya Janta (BJP), yang sekarang menjadi partai yang berkuasa di India.
Terlepas dari semua perkembangan ini, kasus pengadilan mengenai Masjid Babri berlanjut hingga 2010 ketika Pengadilan Tinggi Allahabad membagi tanah situs Masjid Babri menjadi dua, satu untuk umat Hindu dan satu lagi untuk kaum Muslim. Harus diingat bahwa pengadilan tidak dapat menyebutkan bukti bahwa tempat itu adalah kuil Hindu sebelum pembangunan Masjid Babri.
Kemudian, kasus itu terus bergulir hingga Mahkamah Agung di mana kedua pihak ingin membatalkan putusan ini. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi pada tahun 2011. Mahkamah Agung India menyarankan para pelaku perkara menyelesaikan perselisihan di luar pengadilan pada tahun 2017 tetapi tidak berhasil. Kemudian lagi 8 Maret 2019, pengadilan tinggi membentuk kelompok mediasi di bawah kepemimpinan seorang Muslim mantan hakim Mahkamah Agung, Ibrahim Kalifulla, tetapi pengadilan menyatakan mediasi “gagal” pada 2 Agustus 2019, dan melanjutkan sidang perselisihan, yang disimpulkan 16 Oktober 2019.
Putusan pengadilan terakhir diberikan pada 9 November 2019, di mana pengadilan tidak mengatakan bahwa situs Masjid Babri pada awalnya adalah sebuah kuil. Pengadilan hanya memutuskan bahwa situs kontroversial itu harus diserahkan kepada komite yang dibentuk untuk mengawasi pembangunan kuil Hindu dan bahwa sebidang tanah lain dialokasikan untuk umat Islam untuk membangun masjid. Pengadilan dalam putusannya tidak menyebutkan secara spesifik alasan penyerahan situs Masjid Babri kepada umat Hindu. Pengadilan memang mengabaikan pertengkaran apakah situs yang disengketakan itu awalnya adalah masjid atau kuil dan menyatakan secara sewenang-wenang bahwa tanah Masjid secara keseluruhan harus diserahkan kepada Komite untuk mengawasi tugas pembangunan kuil.
Memang, vonis terakhir dalam satu sisi mewakili konsep keadilan, namun di sisi lain lebih condong kepada rekayasa politik, RSS, BJP, dan VHP.*