Oleh: Fahmi Salim
Hidayatullah.com | Konflik global tak akan pernah berhenti jika tidak ada upaya perdamaian dan kerjasama dari semua kalangan untuk menciptakan rasa aman, kesejahteraan dan keadilan. Agama seringkali dijadikan dalih untuk memperkuat semangat permusuhan, padahal konflik diciptakan demi kepentingan ekonomi dan nafsu kekuasaan. Teladan umat terbaik telah ditunjukan oleh para sahabat nabi, yang mendapat pendidikan dan bimbingan langsung dari Rasululloh ﷺ. Merekalah umat yang memiliki karakter ‘ummatan wasathon‘ (tengah, adil dan terbaik) dan menjauhi ekstrimitas. Prinsip-prinsip inilah, yang berusaha kembali ditanamkan dan dipromosikan oleh para alim ulama, termasuk dari Indonesia.
Sebagai contoh, Muhammadiyah, menurut Prof Dr. Syafiq Mughni, telah memperkenalkan konsep Islam Berkemajuan, yang saat ini sudah diterima secara Internasional sebagai wujud Islam rahmatan lil ‘aalamin. “Konsep ini tidak boleh menjadi lokalitas, tidak menjadi Islam Jawa, tidak menjadi Islam Asia Tenggara, tapi Islam yang universal,” jelas Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang saat ini juga dipercaya sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAP).
Prof. Syafiq mengemban mandat untuk mempromosikan Islam kepada dunia, khususnya memperkenalkan umat Islam di Indonesia dengan corak keagamaan yang moderat disertai dengan komitmen untuk menjadi jembatan bagi semua ragam perbedaan agama dan peradaban.
Inilah Islam yang mewarnai kehidupan umat beragama di Indonesia. Tanpa penghayatan yang kokoh terhadap ajaran Islam, maka masyarakat Indonesia akan lebih mudah tercabik-cabik dalam perpecahan, yang berdampak serius pada keutuhan bangsa ini.
Meski demikian, Prof. Syafiq mengingatkan bahwa kemajuan ekonomi dan Iptek seringkali menggerus idealisme kita. Setelah 75 tahun Indonesia merdeka, masih banyak anak bangsa yang berjuang demi orientasi materi dan kekuasaan. Kita harus kembali pada semangat yang awal, untuk memajukan bangsa. Inilah salah satu refleksi 75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, yang disampaikan beliau dalam program Ngaji Syar’ie (NGESHARE), “Ngaji Dulu, Alim Kemudian.”
Tujuan bangsa ini sebagaimana difirmankan Alloh Ta’ala dalam surat Saba ayat 15 adalah mewujudkan negeri yang Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghafur. Sebuah konsep yang disematkan pada negeri Saba yang tetap relevan sampai saat ini, sebagaimana karakter Al-Quran yang bersifat universal dan abadi sepanjang zaman.
“Sungguh bagi Kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Rabb) di kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan:) “Makanlah dari rizki yang dianugerahkan Tuhan kalian dan bersyukurlah kepadaNya!’. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr.” [QS: Saba’ :15].
Saba adalah sebuah negeri yang memiliki peradaban agung, terletak di daerah Yaman, pernah dipimpin oleh raja-raja Tababi’ah dan Ratu Bilqis pada era Nabi Sulaiman. Dulu, mereka berada dalam kenikmatan dan kebahagiaan, kelapangan rizkinya berupa tanaman-tanamannya, dan buah-buahannya. Mereka mengikuti petunjuk para Rasul Allâh, untuk selalu bersyukur, beribadah dan mengtauhidkan Alloh. Bahkan dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyebut di negeri Saba, sama sekali tidak ada lalat, nyamuk, kutu, dan hewan-hewan yang berbisa, karena cuacanya yang baik dan alam yang sehat. Karena Alloh menjaganya.
Namun, seiring dengan zaman, mereka berpaling dari jalan yang lurus. Maka, Alloh Ta’ala menghukumnya. Negeri yang makmur dan indah itu, tiba-tiba lenyap disapu banjir bandang yang menghancurkan negeri mereka. Padahal, sebelumnya Saba disebut Alloh sebagai negeri Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafûr, karena kata ini mencakup semua kebaikan yang dimiliki negeri Saba. Negeri yang baik itu, tidak sekedar diukur dengan kemakmuran dan kemajuan peradabannya, tapi negeri yang penduduknya beriman dan berakhlak mulia, sehingga mendatangkan ampunan dari Alloh.
Kisah negeri Saba, menurut Prof. Syafiq, menjadi pelajaran bagi kita semua. Sebuah kemajuan bangsa yang dtandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pencapaian kemakmuran rakyatnya bisa diwariskan dari masa ke masa. Karena, kemajuan materi itu bersifat akumulatif. Sedangkan, kejayaan sebuah negeri karena keimanan dan akhlaknya bersifat fluktuatif, sebagaimana dialami masyarakat Saba. Mereka yang dulunya beriman dan berakhlak mulia bisa berubah, jika masyarakat tidak berusaha menjaganya.
Tak ada jaminan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu bisa seiring dengan kemajuan sebuah bangsa dalam karakternya yang luhur. Disinilah paradoksnya. Sebuah negeri yang maju ilmu akuntansinya, justru semakin banyak kejahatan dan penyelewengan keuangan. Begitu pula, sebuah negeri yang maju dalam ilmu hukumnya ternyata negeri itu tak mampu menegakan supremasi hukum dan keadilannya. Inilah awal mula kehancuran sebuah bangsa. Karena itulah, menurut Prof. Syafiq, Alloh telah mengingatkan dalam firman-Nya, “Sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, pasti Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan” [QS al-A’râf :96].
Tugas para ulama dan para cendikiawan untuk selalu mengingatkan bangsa ini supaya kembali meluruskan kiblat bangsa. Seperti yang diemban oleh Muhammadiyah dalam mengamalkan surat al ‘Ashr untuk saling berwasiat dalam kebajikan dan kesabaran. Dalam perjuangan menegakan amar ma’ruf nahi mungkar harus memiliki kesabaran yang berlebih, tak boleh pantang mudur dan tidak boleh berputus asa dengan rahmat Alloh.
Muhammadiyah, menurut Prof. Syafiq ikut melanjutkan misi kenabian untuk merawat iman dan akhlak bangsa ini. Indonesia yang ditakdirkan Allah menjadi negeri dengan keragaman suku bangsa, agama, dan adat istiadat tak memberi jaminan kerukunan terwujud selama-lamanya, jika kita tidak memperjuangkannya bersama. Perdamaian tidak akan tercipta jika kita kita tidak saling memahami orang lain, saling menghormati dan memahami perbedaan.
Apa yang dialami Indonesia, menurut Prof Syafiq bisa memberi inspirasi positif bagi negara-negara lain yang saat ini tengah dilanda konflik, seperti di Filipina, Aghanistan dan Thailand. Karena itu, Muhammadiyah telah terlibat aktif sebagai anggota International Contact Group (ICG) untuk membantu proses perdamaian antara pemerintah Filipina dengan pihak Front Pembebasan Islam Moro (MILF). Begitu pula, terhadap minoritas muslim di Pattani, Thailand, Muhammadiyah telah memberikan beasiswa kepada 300 mahasiswa untuk kuliah di Perguruan Tinggi Muhammadiyah.
“Karena, konflik selalu berawal dari ketidakadilan dalam bidang ekonomi dan pendidikan,” ungkap Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Jawa Timur ini.
Sebagai utusan negara, Prof. Syafiq juga terlibat dalam berbagai perundingan untuk menyelesaikan konflik di Aghanistan. Pengalaman Indonesia menyelesaikan konflik di Aceh, misalnya bisa dijadikan rujukan berharga bagi mereka. Pendekatan keagamaan merupakan solusi terbaik untuk menyelesaikan konflik. Karena itu, Presiden Jokowi dalam lawatan ke Afghanistan pada Januari 2018 lalu, pernah mengusulkan dibentuk komite ulama tiga negara, yaitu Afganistan, Pakistan dan Indonesia.
Afganistan adalah negara yang berpenduduk 35 juta orang dan memiliki ragam suku yang banyak. Meskipun semuanya beragama Islam, tidaklah mudah untuk menciptakan perdamaian dan keamanan di negeri ini. Konflik Afghanistan bukanlah konflik domestik yang sederhana, karena terkait dengan perang proxy yang melibatkan sejumlah negara. Beberapa negara mempunyai berbagai kepentingan strategis, politis, dan ekonomis di Afghanistan. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, China dan Rusia punya ambisi besar untuk menguasai migas dan mineral di negeri bekas jajahan Uni Soviet ini. Karena itu, menurut Prof. Syafiq, hambatan terbesar dalam meraih perdamaian di Afghanistan adalah conflict of interest; faktor intervensi kepentingan asing.
Negara mana pun tak bisa lepas dari berbagai kepentingan global, termasuk Indonesia. Negeri yang dianugerahi keindahan dan kekayaan alam ini tentu begitu menggoda. Karena itulah, dalam merayakan hari kemerdekan Republik Indonesia ini, kita harus kembali menghayati makna kemerdekaan ini. Sudahkah kita merdeka? Sudahkah niat kita lurus untuk meraih cita-cita bersama, baldatun thoyyibatun wa robbun ghafur? Wallohu ‘alam.*
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Komisi Dakwah MUI. Artikel ini merupakan ringkasan program Ngeshare Bersama Prof. Dr. Syafiq A. Mughni