Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | MEMBACA judul opini di atas terkesan serem, tidak? Tentu jika membacanya dengan terburu-buru, sehingga yang terbaca “Risma Dikerubuti Lalat”. Membaca terburu-buru, itu tidak baik, sehingga kata “bagai roti” lalu ditanggalkan.
Maka maknanya menjadi bias. Tidak sebagaimana yang diharapkan. Dan bisa salah sangka, bahkan terkesan ngeledek-mengecilkan. Tentu tidak dimaksudkan demikian.
“Risma Bagai Roti Dikerubuti Lalat”, itu tentu kalimat metafora. Kalimat tidak sebenarnya. Kalimat berandai, atau bersayap. Memiliki makna lain dari yang ditulis.
Risma, biasa dipanggil, adalah mantan wali kota Surabaya dua periode. Wali kota yang populer. Nama lengkapnya Tri Rismaharini. Risma saat ini menjabat Menteri Sosial RI.
Risma dalam bangunan metafora, itu ibarat “roti”. Ya setidaknya, setelah dalam sepekan menjabat sebagai Mensos. Maka kemanapun roti berada disitu ditemuinya lalat.
“Lalat” dalam metafora bisa dimaknai tuna wisma dan gelandangan. Atau biasa disebut dengan inisial PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial). Kok jahat amat ya, mereka itu diserupakan lalat. Sekali lagi, ini makna metafora.
Tentu tidak dalam konteks penghinaan. Itu hanya penggambaran saja. Dan itu penggambaran sosok Mensos akhir-akhir ini, yang setiap blusukan bertemu dengan PMKS.
Lalat biasanya mengerubuti roti. Tapi kali ini justru roti yang mendatangi atau menemui lalat. Dan, tentu saat bertemu terjadi dialog antara roti dan lalat.
Baca: Kritik Blusukan Mensos, Fahri Hamzah: Risma Seorang Menteri, Bukan Wali Kota
Metafora bisa dibuat dengan obyek apa saja, yang bisa menggambarkan sosok atau peristiwa yang hendak diungkap. Metafora bunga, kupu-kupu, anjing, ular, burung, atau bahkan lalat bisa jadi bahan cerita yang diserupakan dengan obyek cerita.
Kisah-kisah Sufi acap memakai metafora, itu untuk menggambarkan kisah yang dibangunnya. Maka penyerupaan-penyerupaan makhluk satu dengan lainnya menjadi hal biasa.
Skenario Kedodoran
Jika ditanya, di mana jalan paling elit di Jakarta, maka pastilah orang menyebut jalan Sudirman dan Thamrin. Tentu masih banyak jalan lainnya di Jakarta yang juga elit. Tapi dua nama jalan itu setidaknya yang paling dikenal.
Ternyata di dua jalan itu tidak steril dari lalat, dan lagi-lagi roti mendekatinya. Mengajak bicara, dan seperti biasa menawarkan rumah tempat tinggal, pekerjaan layak dan seterusnya.
Tapi lalat yang ditemuinya itu lebih banyak menolaknya. Mungkin tugas roti selaku Mensos, dicukupkan menawarkan saja. Perkara mau dan tidak mau menjadi tidak masalah. Terpenting ada bangunan dialog di situ, dan lalu bisa diviralkan pada khalayak.
Tapi sayang skenario “roti dan lalat”, itu sudah kerap berulang. Sudah tidak lagi menarik untuk ditonton. Membosankan. Trik-trik dan bangunan ceritanya sudah usang.
Kisah “roti dan lalat” itu memang kisah baru. Tapi kisah serupa sudah cukup banyak ditemui, dan diperankan para calon pejabat. Dimulai dari kisah paling fenomenal, yang masih amat diingat, kisah gorong-gorong.
Maka kisah yang dibawakan Risma itu lalu menjadi tidak menarik lagi, terkesan perulangan dari kisah-kisah sebelumnya. Dan masyarakat DKI Jakarta, di mana skenario kisah itu dipentaskan, sudah pintar memilih kisah mana yang pantas diapresiasi.
Maka, muncul protes-protes atas “aksi roti mendatangi lalat” itu, dan lalu menjadi pemberitaan di mana-mana. Lalu mengatakan, bahwa lalat-lalat yang ditemui roti, itu sebenarnya bukan lalat sebenarnya.
Maka lalat jadi-jadian itu, terbongkar juga karena skenario yang kedodoran. Tidak dipersiapkan secara matang. Dimainkan hanya dengan menggunakan artis abal-abal.
Bagaimana reaksi Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, melihat ulah Risma yang demikian? Anies tidak merespons dengan berlebihan. Apalagi merespons dengan marah-marah, khas Risma. Anies cuma memerintahkan Kepala Dinas Sosial (Kadinsos) DKI Jakarta, untuk memeriksa sosok tunawisma yang ditemui Risma itu.
Saat menjadi Wali kota Surabaya, kita teringat bagaimana kala Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, saat mengkritik bahwa Gelora Bung Tomo (GBT), Surabaya, itu tidak layak dipakai sebagai tempat pertandingan final Sepak Bola Dunia U-20, 2021, karena bau aroma sampah.
Risma lewat para stafnya tidak terima dengan ucapan Khofifah itu. Padahal apa yang dikatakan Khofifah itu hal sebenarnya. GBT itu memang dekat dengan area tempat pembuangan sampah, berjarak hanya 200 meter. Jika angin bertiup ke arah stadion, maka aroma sampah amat menyengat.
Saat ini Risma sudah bukan Wali kota Surabaya lagi. Risma juga bukan salah satu wali kota Jakarta. Risma adalah Mensos RI, bukan Kadinsos DKI Jakarta.
Karenanya, Tri Rismaharani harus menyadari dan memainkan peran yang semestinya. Jangan mengecilkan perannya sebagai Mensos RI.
Sebaiknya hentikan saja blusukan di DKI Jakarta itu. Masa sih kerja selaku Mensos cuma cari “lalat” saja. He-he-hee…
“Lalat” yang ditemui “roti”, hari-hari ini memang ramai dibincangkan di medsos khususnya, menjadi bahan olok-olok, bahwa itu cuma kisah pansos seorang Risma saja.
Tampak Risma memang sedang diskenario untuk membawanya pada pementasan Akbar di 2022, Pilgub DKI Jakarta, dan bahkan Pilpres 2024.
Bangunan kisah belum sampai akhir, tapi penonton sudah memahami alur cerita kemana akan berakhir. Kisah “roti” yang diperankan Risma ini, lalu menjadi tidak menarik.*
Penulis kolumnis, tinggal di Surabaya