Kematian Dulmatin (9/3) menjadikan media massa berlomba-lomba menyiarkan berita tentang ‘teroris’. TVOne dan MetroTV bersaing menyajikan liputan langsung beberapa hari dari Pamulang. Bahkan TVOne telah mendahuluinya dengan siaran langsung operasi polisi di pegunungan Aceh, sebelum terjadinya ‘operasi pembunuhan‘ Densus 88 di Gg Asem dan Gg Madrasah di Pamulang.
Kedua TV ini juga menghadirkan pengamat-pengamat teroris, jaringan Noordin atau jaringan al Qaida. Ada siaran langsung dari TVOne pada 10 Maret yang ‘cukup nakal’ ketika seorang reporternya (perempuan) menyiarkan langsung dari tempat kejadian dengan mewawancarai seorang laki-laki tua di Pamulang, tempat kejadian. Saksi yang melihat kejadian penembakan itu menyatakan melihat langsung bagaimana seorang polisi membekuk korban yang akhirnya terjatuh, kemudian didor tiga kali disitu. Ia mengucapkan kesaksian itu, sambil mempraktikkan penembakannya dengan memegang reporter itu!
Beberapa pengamat menyesalkan operasi tembak langsung di tempat yang dilakukan Densus 88. Karena belum jelas di pengadilan kesalahan-kesalahan mereka. Entah mendapat tekanan siapa, Densus 88 akhir-akhir ini menjadi garang dan cenderung menafikan pengadilan untuk menghukum para ‘teroris’. Beberapa pengamat lainnya membuat stigmatisasi dengan mengaitkan Dulmatin dan kawan-kawannya dengan pengalaman mereka di Afghanistan, Moro, dan Ambon. Seolah-olah adalah perbuatan kriminal yang tak terampunkan bagi mereka yang merelakan dirinya berjihad di ketiga tempat itu. Apa yang dikatakan pengamat, memang tergantung pada ideologi dan keilmuan yang dimiliki mereka.
Menarik apabila kita membandingkan sekilas (untuk detilnya Anda bisa baca sendiri) apa yang diberitakan Kompas dan Republika hari ini (10/3/2010) tentang peristiwa yang menyangkut Dulmatin ini. Dari sini, kita akan melihat bagaimana ideologi sebuah media berjalan dalam meliput atau menyikapi sebuah peristiwa. Seperti kita ketahui, berita adalah laporan suatu peristiwa. Dan lebih jelas lagi, sikap sebuah media semakin terang dengan melihat tajuknya.
Tentang Dulmatin atau teror ini, Kompas di halaman depan membuat tiga artikel di halaman satu (halaman paling bergengsi). Artikel pertama berjudul “Aliansi Susun Taktik Baru (judul besar), Dulmatin Persiapkan Semua Proyek Pelatihan (judul kecil)”. Artikel kedua berjudul “Ada Harapan Hubungan RI dengan Australia Cerah”, dan artikel ketiga bertitel “Teroris Memanfaatkan Kelompok di Aceh”.
Di artikel-artikelnya Kompas terlihat pro dengan tindakan Polri/Densus 88 dalam menangani kasus Dulmatin. Kompas mengutip panjang lebar keterangan dari Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Kepala Desk Antiteror Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Ansyaad Mbai. Dengan Ansyaad Mbai Kompas juga menurunkan artikel wawancara khusus.
Ada satu hal yang menarik ketika Kompas mau mengutip ucapan yang ‘sedikit berseberangan’ dengan keterangan Polri. Meski hanya satu alinea.
Kompas menulis: “Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail, justru menilai, operasi pemberantasan terorisme saat ini masih jauh dari komprehensif. Pemerintah hanya menerapkan cara legal formal melalui operasi kepolisian. Fenomena kembalinya aksi mantan napi teroris adalah cermin kegagalan upaya deradikalisasi.”
Selain menurunkan artikel berita, Kompas juga menurunkan dua artikel opini tentang Dulmatin. Artikel pertama berjudul “Aceh Bukan Rumah Teroris” (Hamid Awaluddin) dan artikel kedua berjudul “Ancaman Terorisme Baru” (Arianto Sangaji).
Dalamn tajuknya, Kompas hari ini menurunkan judul ‘Setelah Tewasnya Dulmatin’. Kita cuplikkan :
“Kepastian tewasnya Dulmatin, satu dari tersangka teroris di Pamulang, setelah Noordin M Top dan Azahari, melengkapi keberhasilan polisi. Polisi perlu kita apresiasi. Mengutip Kepala Polri, masih ada satu target. Namanya dirahasiakan, tetapi diduga Umar Patek –ahli perakit bom berdaya ledak tinggi. Dulmatin dan Umar Patek masuk dalam daftar pencarian orang. Upaya Polri, bahkan sampai tiga personel Densus 88 tewas dalam penyergapan di Aceh, tidaklah sia-sia. Perlu disyukuri. Keberhasilan ini bukanlah titik akhir. Terorisme masih hidup, tidak hanya di Indonesia, juga di berbagai belahan dunia lain. Sebagai gerakan, terorisme bermakna strategis dalam bentuk peledakan bom dan simbolis dalam bentuk penanda keberadaan. Terorisme merupakan bentuk nihilisme dengan ciri matinya kebebasan, dominasi kekerasan dan pemikiran yang diperbudak….”
Di alinera terakhir tajuk Kompas tertulis :
“Apa tindak lanjut konkret? Upaya kuratif perlu dibarengi sikap terus ngeh yang diwujudkan memoderasi pemahaman keagamaan secara progresif dan proaktif! Membangun sikap keberagamaan sebagai sesama peziarah, terbuka dan bersemangat plural, jati diri Indonesia.”
Koran Republika
Republika di halaman depan juga membuat tiga artikel. Artikel pertama berjudul “DNA Dulmatin Cocok (judul besar), The 10 Million Dollar Man (judul kecil).” Artikel kedua berjudul “Presiden SBY: Hilangkan Saling Curiga.” dan artikel ketiga berjudul “Yang Pulang untuk Berpulang.” Republika tidak menurunkan artikel opini tentang Dulmatin.
Berlainan dengan arah Kompas, Republika cenderung kritis dengan tindakan Polri/Densus 88 dalam menangani kasus Dulmatin. Republika menyindir pengumuman terbunuhnya Dulmatin pertama kali ke publik dilakukan Presiden SBY di depan Parlemen Australia. Republika menulis lead beritanya: “Ratusan orang di gedung parlemen Australia menyambut pengumuman itu dengan tepuk tangan” dan memberikan judul gambar Presiden SBY sedang berpidato dengan tulisan: “Makin Mesra”.
Empati Republika kepada Dulmatin (meski Republika tidak setuju dengan aksi teror), makin terlihat di artikelnya yang ditulis oleh wartawannya Darmawan Sepriyosa: “Yang Pulang untuk Berpulang.” Di artikel itu Darmawan menceritakan riwayat hidup Dulmatin, kehebatannya, dan kebohongan pemerintah Filipina yang berulang-ulang mengumumkan kematian Dulmatin.
Di akhir tulisannya, Darmawan menulis: “Sudah lama wanita itu mengaku menyerahkan nasib sang anak kepada Tuhan. Ia bahkan berujar, jika Dulmatin meninggal, tak usah repot membawa jenazahnya pulang ke rumah. “Mati dimana saja tidak masalah karena semua di tangan Allah,” kata dia, wanita tegar itu. “Bila ajal tiba, tak soal tempat berkubur…”
Di tajuknya yang berjudul Sampai Kapan Terorisme? Republika mengritik sikap pemerintah dalam menangani terorisme. Republika menulis:
“Cara Indonesia membasmi terorisme benar-benar mengikuti cara Amerika Serikat. Awalnya penegakan hukum, yaitu tangkap, interogasi dan adili. Kini hanya ada satu cara: tembak di tempat…”
“Selama ini pemerintah menyebut bahwa jaringan terorisme berakar pada pejuang Indonesia di Afghanistan serta mujahidin Muslim di Ambon dan Poso. Mereka awalnya adalah orang-orang yang memiliki semangat membela sesama umat Islam yang dibiarkan dunia internasional terus dijajah Uni Soviet. Mereka juga awalnya orang-orang yang bersemangat membela umat Islam di Poso dan Ambon yang dibiarkan oleh polisi dan tentara dibantai pihak lain. Namun setelah wilayah konflik tersebut damai, mereka tak mampu beradaptasi dengan situasi normal. Sebagai masyarakat sipil, tentu mereka tak memiliki sistem dan prosedur adaptasi. Hal itu berbeda dengan pasukan militer. Selesai bertugas di medan perang, mereka harus mengikuti terapi dan proses adaptasi terlebih dulu sebelum kembali ke keluarganya…”
Selamat membaca!
Penulis adalah Dosen Ilmu Jurnalistik, STID M Natsir