Hidayatullah.com | Saya pernah bertanya kepada para mahasiswa saat memberikan kuliah jurnalistik di hari pertama, “Apakah kalian suka menulis?”
Agar mereka jujur, saya tidak meminta jawaban lisan. Saya minta mereka menuliskan jawaban ke selembar kertas yang saya bagikan. Tak boleh menulis nama. Cukup jawaban saja.
Hasilnya? Sekitar 50 persen mahasiswa menjawab suka. Selebihnya, mereka menulis, “Sebenarnya saya suka, tapi …” Ada juga yang menulis, “Saya ingin belajar dulu, mudah-mudahan nanti suka.” Bahkan, ada pula yang menjawab terang-terangan, “Tidak suka!”
Yang menarik, kebanyakan alasan ketidaksukaan (atau belum merasa suka) kepada aktivitas menulis adalah karena merasa sulit dan bingung. Intinya, menulis bagi mereka tidak membahagiakan!
Dulu, ketika saya masih duduk di bangku sekolah, mata pelajaran Bahasa Indonesia memang tidak membahagiakan. Siswa “dipaksa” menghafal berbagai istilah dan definisi bahasa. Tujuan akhirnya untuk memperoleh nilai tinggi, bukan agar pintar menulis.
Apalagi bila membahas Ejaan Yang Disempurnakan (yang sekarang sudah berubah menjadi Ejaan Bahasa Indonesia). Sekadar menentukan apakah kata “praktik” menggunakan huruf i atau e saja sudah bingung. Apalagi menghafal kapan huruf pertama sebuah kata luruh ketika disisipi imbuhan “me”. Pusing!
Padahal, sejatinya menulis itu membahagiakan. Menulis bisa mengurangi beban di hati ketika sudah terasa amat menghimpit.
Saya teringat Bunda Pipet Senja, seorang penulis sangat produktif. Pada usia 17 tahun, beliau divonis mengidap thalassemia. Beliau harus melewati hari-harinya dengan transfusi darah. Apa yang beliau lakukan menghadapi keadaan berat itu?
“Saya shalat. Kalau sudah shalat, saya akan tenang. Setelah itu saya menulis. Bagi saya, menulis itu terapi jiwa,” ungkapnya. Kini, Bunda Pipiet Senja sudah berusia lebih dari 50 tahun. Ia tetap produktif menulis.
Begitulah sejatinya menulis. Bukan membebani, namun menghibur jiwa. Karena itu, setiap kali ada yang bertanya ke saya, “Bagaimana caranya menulis bagus?”, maka saya akan jawab dengan santai, “Ambil pena, ambil kertas, menulislah. Itu saja!”
Lho, bukankah hasilnya tetap tidak bagus? Ya, memang! Semua orang, ketika pertama kali menulis, juga tidak bagus. Karena itu, jangan berhenti! Menulislah terus sembari belajar memperbaiki kualitas tulisan.
Lantas apa ukurannya sebuah tulisan dianggap berhasil?
Gampang! Pada tahap awal, Anda cukup bertanya kepada orang yang membaca tulisan Anda, apakah dia paham dengan apa yang Anda tulis? Jika dia paham, berarti Anda berhasil. Namun, jika dia harus mengerutkan kening untuk memahami apa yang Anda tulis, maka Anda belum berhasil.
Tapi itu baru tahap awal. Tahap selanjutnya, bagaimana membuat pembaca bereaksi setelah membaca tulisan Anda?
Reaksi menunjukkan ketertarikan. Reaksi bisa berwujud sikap marah, sedih, tertawa, menangis, atau merenung. Jika pembaca bereaksi maka berarti dia tak saja mengerti apa yang Anda tulis, tapi juga terpengaruh dengan apa yang Anda paparkan.
Dalam tahap ini tentu Anda tidak sekadar dituntut bisa menulis benar, tetapi juga menulis indah dan berbobot. Karena itu, Anda sudah harus memperhatikan diksi (pilihan kata), alur cerita, gaya bahasa, dan, yang paling penting, mampu menyajikan data-data yang berbobot.
Di sinilah tantangan seorang penulis. Ia harus banyak melihat, mendengar, membaca, dan mengkaji beragam peristiwa. Ia juga harus tekun mencatat, cermat memperhatikan, dan mampu memprediksi dengan baik.
Banyak orang yang gagal menulis bagus karena terlalu banyak menghabiskan waktu untuk belajar cara menulis, bukan belajar cara mendapatkan data-data yang berbobot. Padahal, cara menulis hanyalah casing. Justru data-data itulah yang menentukan kualitas tulisan. Wallahu alam. *