Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Gonjang-ganjing periodisasi jabatan Presiden dalam pekan-pekan ini mengemuka. Dan menjadi hangat, bahkan panas, karena disentil Pak M. Amien Rais. Setidaknya gelagat itu yang diciumnya.
Maka, istana beramai-ramai menyanggah pernyataan Pak Amien itu. Setidaknya, Fadjroel Rachman, juru bicara Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang lalu berkomentar, “Presiden patuh pada sumpah, masa jabatan sesuai UUD 45.”
Sanggahan Fadjroel, itu sanggahan bersayap. Pastilah Presiden Jokowi patuh pada UUD 45, baik rumusan yang sekarang, juga tentu rumusan yang nantinya jika UUD 45 itu beberapa pasalnya jadi diamandemen.
Pernyataan Fadjroel itu bisa dipercaya, jika ada tambahan kalimat yang jelas dari Presiden Jokowi, “Meski terjadi amandemen tentang jabatan Presiden boleh 3 periode, saya tetap tidak akan bersedia.”
Jika saat ini Presiden Jokowi menyatakan, bahwa ia bersedia dicalonkan lagi menjadi Presiden di 2024, maka itu pelanggaran konstitusi. Karenanya yang muncul dari pernyataannya, ia tidak bersedia dicalonkan. Tapi jika amandenen pada Pasal 7 UUD 45, itu diubah menjadi 3 Periode, ya Jokowi pun, bisa jadi, nantinya akan mengatakan, ia bersedia karena konstitusi membolehkan.
Jadi melihat ucapan Presiden Jokowi yang menolak 3 periode, itu dalam perspektif saat ini. Ini yang tidak dipahami khalayak. Tapi pernyataannya itu bisa berubah, seiring adanya amandemen yang memungkinkan untuk maju lagi untuk periode ke-3 nya.
Maka, kalimat “tidak mau” akan terkoreksi menjadi “mau”, jika konstitusi sudah membuat jalan lempang bagi Pak Jokowi untuk berselancar. Pak Jokowi dikenal spesial selalu di awal menolak, seolah tidak berpikir soal itu. Lalu pada saatnya seolah lupa dengan penolakan yang pernah disampaikan sebelumnya.
Saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, ditanya jurnalis, apa bersedia maju RI-1, yang muncul jawaban ikoniknya, “Copras capres, wes saya gak mikir. Wong mikir banjir dan macet aja sudah pusing.” Terkesan tidak memikirkan itu, lalu ia menyodok dan menjungkalkan Pak Prabowo, dalam Pilpres 2014.
Sikap Jokowi itu tidak bisa dikategorikan inkonsistensi sikap, tapi lebih pada berubah sikap seiring kesempatan itu ada. Begitu pula jika amandemen pada Pasal 7 UUD 45 itu diubah. Artinya, ia boleh untuk mencalonkan lagi jadi Presiden untuk periode ke-3, pastilah kesempatan ini akan diambilnya.
Membaca Jokowi dan istana, itu harus sesuai konteks ucapan itu disampaikan. Jadi kata “tidak” pada saatnya bisa berubah “ya”, atau sebaliknya. Pak Amien lah yang mampu membaca itu dengan baik.
Pasal 7 UUD 45 jelas mengatakan: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Jadi jelas jabatan Presiden juga Wakil Presiden itu hanya 2 periode.
Tapi semua bisa diamandemen, sesuai keinginan. Namun, menjadikan jabatan Presiden dan Wakil Presiden cukup 2 periode, itu sebenarnya amanah reformasi, agar tidak terulang penyalahgunaan kekuasaan karena menjabat terlalu lama.
Pak Amien Rais, mantan Ketua MPR-RI, itu tentu tidak asal bicara. Ia bicara bersandar pada kecenderungan adanya amandemen perubahan pada Pasal 7 UUD 45. Tanda-tanda itu sudah dibacanya dengan baik. Tanda yang hanya bisa dibaca dengan terawangan politisi senior yang bersih hati.
Sekalian Saja 4 Periode
Semua bisa terjadi di parlemen, saat oposisi tidak sebagai penyeimbang. Apalagi dengan adanya begal Partai Demokrat, yang kasat mata akan makin melemahkan oposisi.
PKS sebagai satu-satunya partai oposisi, jika saja Partai Demokrat jadi tercaplok, tidak akan bisa berbuat banyak, cuma akan terdiam melihat mayoritas yang pro rezim memainkan kehendak sesuai yang diinginkan.
Maka jalan mulus untuk perubahan/amandemen pada pasal-pasal yang ada bukan hal mustahil. Perangkat untuk itu sudah tersedia, tinggal kemauan saja yang berbicara.
Adalah hal wajar jika lalu istana cepat-cepat membangun narasi, bahwa Presiden tidak berpikir untuk mencalonkan diri lagi. Presiden lebih berpikir pada penanggulangan Covid-19, dan pertumbuhan ekonomi.
Lalu bersamaan dengan itu Pak Amien Rais ramai-ramai dihajar. Bahkan, Tenaga Ahli Utama Kepala Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin, sampai bersikap “galil adab” dengan menguzur-uzurkan Pak Amien. Dan tentu para buzzerRp seolah mendapat proyek baru, memperlakukan Pak Amien tidak selayaknya. Disebut Sengkuni lah, dan sebutan-sebutan lain yang tidak layak untuk disampaikan.
Demokrasi menjadi tidak sehat, siapa yang berbeda langgam dengan rezim dihajar habis. Maka, Pak Amien dan Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hari-hari ini diperlakukan dengan nista. Bayangkan dua tokoh nasional, yang satu lokomotif reformasi dan mantan Ketua MPR-RI, dan satunya mantan Presiden RI ke-6, untuk masa jabatan 2 periode, diperlakukan demikian.
Jabatan memang menggiurkan, apalagi jabatan Presiden. Sampai-sampai saking menggiurkannya, lalu ada yang ingin menjabat seumur hidup, meski akhirnya tidak kesampaian. Ada pula yang menjadi Presiden sampai 32 tahun, lalu jatuh tersungkur jadi sumpah serapah.
Tabik pada Pak SBY, yang menyudahi kepemimpinan nasionalnya dengan mulus, tanpa tergiur untuk mencoba mengamandemen UUD 45. Ia patuh pada konstitusi, paham pada amanat dan semangat reformasi. Sehingga ia bisa landing saat waktunya tiba dengan baik. Karenanya, Pak SBY patut diapresiasi sebagai Bapak Demokrasi Indonesia.
Untuk menyudahi tulisan ini, izinkan menawarkan satu pemikiran, jika saja Pasal 7 UUD 45 itu diamandemen, sekalian saja teksnya diubah menjadi demikian: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk tiga kali masa jabatan.” Artinya, Presiden dan Wakil Presiden bisa dipilih sampai 4 periode.
Sekalian saja, nanggung kalau cuma 3 periode. Kalau nanti ingin jabat lagi, maka tidak harus mengamandemen lagi. Jadi Presiden dan Wakil Presiden, bisa menjabat maksimal sampai 20 tahun. Bagaimana dengan usulan ini, logis kan?! (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya