Qatar “diserang” islamofobia selama penyelenggaran Piala Dunia, karena melarang kaum LGBTQ masuk negaranya
Hidayatullah.com | MEDIA satir Prancis, Le Canard Enchainé, mengacau dengan provokasi berupa karikatur yang menampilkan tujuh pria brewokan dengan tulisan Qatar berikut nomor layaknya nomor punggung pemain bola.
Para pemain digambarkan mengejar bola di padang pasir sambil membawa golok, senjata, dan peluncur roket. Salah seorang tampak mengenakan ikat pinggang yang penuh dengan peledak.
Dua di antaranya berbaju hitam dengan balaclava atau penutup wajah. Jelas tergambar image yang ingin dipaksakan melekat pada Qatar, negara Arab pertama yang akan menjadi tuan rumah Piala Dunia” “teroris”, “radikal” ekstrimis” dan labelling semacamnya.
Sebetulnya, ini bukan kali pertama media Perancisyang tentu saja leluasa melakukan provokasi karena pembiaran pemerintahnya mengacaukan ketertiban dunia. Masih tertanam di ingatan publik bagaimana media Perancis lain, majalah Charlie Hebdo, melukai umat Islam dengan rilis kartun Nabi.
Selain image radikal, isu lain yang digunakan untuk menyerang Qatar sebagai penyelenggara Piala Dunia, adalah isu hak kaum LGBTQ Pernyataan Khalid Salman, selaku Duta Piala Dunia 2022, yang tegas menyebut homoseksualitas haram karena merusak pikiran dinilai peneliti Human Rights Watch sebagai sikap berbahaya dan tidak bisa diterima.
Karena ketegasan Qatar, menyebabkan kalangan LGBTQ sampai menyerukan “travel warning” dan ajakan untuk memboikot Piala Dunia.
Sejak dinobatkan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 yang merupakan salah satu ajang paling bergengsi dalam dunia olahraga, Qatar terus menerus diserang. Sepanjang sejarah Piala Dunia, tidak ada negara lain yang mendapatkan intensitas kecaman seintens ini.
Sebenarnya, kritik demi kritik yang dilontarkan kepada Qatar telah disikapi dengan arif pada taraf tertentu. Kritik ini konstruktif bagi kemajuan Qatar sendiri.
Sayangnya, kampanye negatif yang mengganas pada Qatar sudah menjurus pada kebohongan dan standar ganda. Hal ini muncul pertanyaan, apa sejatinya yang menjadi motif utama serangan tak biasa pada Qatar?
Secara psikologis, bayangkan jika Anda sudah berusana keras menjadi tuan rumah ajang olahraga bergengsi. Anggaplah kita menyelenggarakan Moto GP Mandalika, tapi pihak-pihak tertentu di luar sana terus menerus menyerang dengan isu-isu lain hingga dengan sendirinya prestasi Mandalika tenggelam. Ujungnya, yang tersisa semuanya buruk dan negative.
Untuk menjawab ini, ada baiknya menyertakan analisa yang dipaparkan oleh Mahmoud Al Rantisi, peneliti SETA, lembaga think-tank Turki. Menurut Rantisi, sebelum menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, dan kelak tuan rumah piala AFC 2030 atar telah menjadi tuan rumah hampir 500 event olahraga internasional sejak 2005 yang mencakup beragam jenis olahraga dan usia.
Misalnya 2006 Asian Games, 2015 World Men’s Handball Championship, World Handball Championship for Intercontinental Champions Clubs, 2019 Club World Cup, dan Club World Cup 2020. Qatar juga menjadi tuan rumah 2021 FIFA Arab Cup bulan Desember dan Turkish Super Cup Final di Januari 2022.
Tahun 2021 saja, Qatar menjadi tuan rumah untuk 63 event olahraga, termasuk enam kejuaraan dunia. Artinya, ada upaya sangat serius dari Qatar dalam bentuk investasi di bidang olahraga.
Dan sukses FIFA 2021 Arab Cup merupakan variabel yang sangat penting. Setelah hampir dua puluh tahun, akhirnya ajang ini diselenggarakan dan lokasinya d Doha, Qatar.
Untuk pertama kalinya, semua negara Arab berpartisipasi dalam ajang ini. Arab Cup diadakan pertama kali di Lebanon tahun 1963, tapi karena instabilitas kawasan Timur-Tengah, hanya berlangsung selama 10 kali.
Artinya, isu instabilitas kawasan dapat ditepis dengan Qatar sebagai aktor pentingnya. Ada yang tak senang?
Presiden FIFA, Gianni Infantino mengatakan bahwa Arab Cup, yang untuk pertama kalinya terselenggara di bawah payung FIFA, akan menyatukan dunia Arab.
“The FIFA Arab Cup 2021… will be a great opportunity to unite the Arab world through football besides testing Qatar’s operational readiness for the prestigious FIFA World Cup in 2022.”
(FIFA Arab Cup 2021 … akan menjadi kesempatan emas untuk menyatukan dunia Arab lewat sepakbola di smaping menguji kesiapan operasional Qatar untuk ajang bergengsi FIFA World Cup 2022)
Al-Rantisi melanjutkan, FIFA Arab Cup juga menjadi momen untuk mengekspresikan solidaritas pada Palestina yang menyatukan bangsa Arab di seluruh dunia. Arab Cup membuktikan bahwa isu Palestina masih ada dan terus menyala.
Saat pembukaan ajang tersebut, semua lagu kebangsaan negara peserta diperdengarkan. Namun, momen diperdengarkannya lagu kebangsaan Palestina-lah yang paling mendapatkan sambutan hangat di seluruh penjuru stadium.
Sekali lagi, adakah yang tidak senang? Bendera Palestina bahkan muncul di pertandingan yang tidak dimainkan oleh kesebelasan Palestina.
Pendukung Aljazair, Tunisia, Maroko mengibarkan bendera Palestina di stadium, dan ketika Aljazair memenangkan ajang ini, para pemainnya mengibarkan bendera Palestina bersama bendera Aljazair. Pelatih Aljazair pun mendedikasikan tropi kejuaraan kepada penduduk Gaza.
Penting digarisbawahi bahwa salah satu variabel rekonsiliasi Timur-Tengah adalah harapan tetangga Qatar untuk mendapatkan manfaat dari Piala Dunia 2022 di mana maskapai Uni Emirat Arab (UEA) dan Saudi akan menjadi penghubung para penggemar Piala Dunia dari seluruh penjuru dunia ke Qatar.
Qatar telah mengorganisir ajang olahraga kelas dunia dengan profesional berikut dengan instrumen dan teknologi modern nan mutakhir. Misalnya dengan penggunaan teknologi hologram yang pertama kalinya di Arab Cup.
Kecanggihan teknologi ini dibarengi dengan kehadiran artis-artis yang menyerukan persatuan, persaudaraan, dan toleransi. Semua ini, mendatangkan pujian dari publik mancanegara dan bermuara pada reputasi dan citra Qatar di mata publik mancanegara dan Timur-Tengah.
Qatar dengan demikian berhasil menjadi pemersatu sekaligus trend setter. Kembali ke serangan pada Qatar. Provokasi ala media Prancis sejatinya hanya menampakkan wajah asli sebagian kalangan di Barat yang tidak bisa move on dari watak Islamofobianya.
Semoga kalangan ini sudah membaca temuan Pew Research Center (tahun 2015 dan di-update tahun 2017) yang menempatkan Islam sebagai agama dengan perkembangan paling pesat di dunia. Pun isu diskriminasi ala “pejuang HAM” LGBT juga menampakkan standar ganda.
Mereka menuntut hak LGBTQ-nya diterima atas nama hak asasi, tapi di saat yang sama hak asasi Qatar untuk mempertahankan jati diri keislamannya, termasuk di antaranya anti-LGBTQ, juga direcoki. Siapa tamu, siapa tuan rumah?
Umat Islam, khususnya kalangan jurnalis, perlu meniru model solidaritas ala Turki. Media nasional Turki, TRT, merilis berita bagaimana Qatar memamerkan mural di area objek wisata terkenal Qatar, Pearl.
Mural-mural tersebut berisi hadits-hadits Rasulullah ﷺ. Dengan inovasi ini, para penggemar Piala Dunia dari berbagai penjuru dunia akan bersentuhan dengan pesan-pesan Rasulullah ﷺ.
Postingan TRT bisa dibaca di tautan berikut: “Permudahlah dan jangan mempersulit, dan jadikan suasana yang tenteram, jangan menakut[1]nakuti.” (HR: Muslim)
“Hendaknya yang lebih muda terlebih dahulu memberi salam kepada yang lebih tua. Orang yang berjalan (yang sedang lewat). Hendaknya memberi salam kepada yang duduk. endaknya kelompok yang berjumlah sedikit terlebih dahulu memberi salam kepada kelompok yang jumlahnya banyak.” (HR”: Bukhari – Muslim)
“Tiada seorang muslim yang menanam pohon atau tumbuhan lalu dimakan oleh seseorang, hewan ternak, atau apapun itu, melainkan ia akan bernilai sedekah bagi penanamnya.” (HR: Muslim)
“Kalian akan mendapati seburuk-buruk manusia adalah orang-orang yang bermuka dua. Dia mendatangi kelompok yang ini dengan satu wajah, dan mendatangi kelompok lainnya dengan wajah lain pula.” (HR: Bukhari-Muslim).*
Penulis mahasiswa Social Sciences University of Ankara