Oleh: Muhammad Syafii Kudo
Hidayatullah.com | ISOLASI mandiri atau Isoman adalah sebuah istilah yang sering dipergunakan dalam obrolan publik belakangan ini. Sebuah ungkapan yang jika diartikan secara sederhana adalah perilaku membatasi diri dari lingkungan sekitar.
Isolasi mandiri biasanya dilakukan secara sendiri-sendiri maupun berkelompok seperti satu keluarga misalnya. Tujuannya seperti yang disebutkan di awal, agar tidak terpapar maupun memaparkan virus penyakit.
Melihat begitu getolnya manusia dalam upaya menjaga dirinya dari serbuan virus penyakit jasmani, timbul pertanyaan dalam benak kita sebagai orang beriman, sudahkah hal serupa kita lakukan pada ruhaniah kita. Terutama di akhir zaman ini dimana akidah yang merupakan hal paling penting bagi orang beriman kian mengalami serbuan berbagai virus penyakit.
Seperti diketahui bahwa para salaf mulai dari para Nabi hingga ulama sangat keras dalam perkara menjaga akidah. Selain menjaga kemurnian akidah diri sendiri, mereka juga memagari akidah keluarganya mulai dari masa kanak-kanak.
Bahkan sebelum wafat pun wasiat yang diulang-ulang adalah agar anak keturunannya tetap berpegang teguh pada akidah Islam. Di dalam Al Qur’an disebutkan wasiat Lukman Al Hakim kepada anaknya,
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (QS. Lukman : 13).
Lukman Al Hakim menjadikan masalah tauhid sebagai materi pelajaran pertama (paling awal) kepada anaknya sebab inilah pondasi utama dalam hidup orang beriman. Kemudian di dalam Al Qur’an juga dijelaskan bagaimana para Nabi sangat menjaga akidah anak keturunannya. Hingga menjelang ajal pun mereka masih meminta persaksian dari para anak keturunannya mengenai kesanggupan menjaga akidah mereka. Disebutkan di dalam Al Qur’an,
أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي قَالُواْ نَعْبُدُ إِلَـهَكَ وَإِلَـهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَـهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ
“Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Ya’qub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.”(QS. Al Baqoroh : 133).
Seperti yang diketahui bahwasanya penyebab manusia masuk ke dalam neraka secara kekal adalah perbuatan menyekutukan Allah karena hal itu merupakan kedzaliman yang paling besar (QS. Lukman : 13). Maka dari sinilah kita diperintahkan oleh Allah agar menjaga diri dan keluarga kita dari api neraka dengan mengajarkan akidah yang benar kepada keluarga seperti yang dilakukan oleh para Nabi Alaihim Salam.
Isoman Ala Salaf
Setelah melihat bagaimana getolnya para Salaf seperti Lukman Al Hakim dalam mendidik akidah bagi anaknya sejak dini hingga bagaimana kuatnya upaya Nabi Ya’qub Alaihis Salam dalam menjaga akidah anak keturunan bahkan hingga menjelang kematiannya. Kita lantas bertanya bagaimana cara terbaik mendidik dan menjaga akidah diri dan keluarga kita di zaman ini yang mana di dalamnya serangan fitnah kepada akidah kian terstruktur, sistematis, dan masif?
Caranya adalah dengan mengikuti semaksimal mungkin langkah mereka. Allah yang menceritakan teladan mereka tentu tidak akan menjadikan mereka sebagai contoh yang tidak bisa diikuti. Untuk lebih jelas tentang bagaimana teknisnya dalam pendidikan dan pembentangan akidah yang benar, tentu panduan ulama sangat kita butuhkan. Bahkan Allah sendiri yang menyuruh kita untuk meminta panduan dari para ulama (QS. An Nahl : 43).
Dan salah satu cara dalam membentengi akidah adalah nasihat yang diberikan oleh Al Imam Habib Abdullah Bin Alwi Al Haddad. Beliau berkata di dalam salah satu kitabnya,
وأوصـيك : بـترك مجالـسة أهـل الـزمـان ومخـالطتهم ومعـاملتهم والتعرف إلى من تنكره منهم إلا عند الحاجة، مع غاية الاحتراز والحذر ليسلموا من شرك، وتسلم من شرهم، وتكون هذه نيتك في مجانبتهم
فلا تجالس إلا من تنفعك مجالسته في دينك. فإن تعذر عليك ففـر مـن مجالسة من تضرك مجالسته في الدين فرارك من الشبع الضاري وأشـد، فإن الشبع إنـا يجرحك في ظـاهـرك الـذي هـو طعمـة لهـوام الأرض. وأمـا هـذا الشيطان فإنه يضرك في قلبك، الذي تعرف به ربك وفي دينك الذي تنجو به في
آخرتك
Dan aku menasehati kamu untuk meninggalkan kegiatan berkumpul bersama orang-orang di zamanmu, bergaul dengan mereka, berurusan dengan mereka, dan mengenal orang-orang yang kamu tidak setuju (ingkar) pada mereka kecuali sesuai keperluan, disertai dengan kewaspadaan yang tinggi (maksimal) agar mereka selamat dari keburukanmu dan engkau selamat dari keburukan mereka. Dan hendaknya hal inilah yang menjadi niatmu dalam menjauhi mereka.
Maka janganlah duduk (bergaul) kecuali dengan orang yang engkau mendapatkan manfaat dengan perkumpulan itu bagi agamamu. Maka jika engkau mustahil melakukannya, larilah dari perkumpulan yang membahayakan bagi agamamu seperti larimu dari binatang buas. Maka sesungguhnya binatang buas hanya melukai dhohirmu saja yang mana dhohirmu itu adalah makanan daripada belatung. Dan adapun setan ini membahayakan hatimu yang mana dengan hati itu engkau mengetahui Tuhanmu. Dan setan tersebut juga membahayakan agamamu yang mana dengannya engkau akan selamat di akhirat.” (Al Washoya An Nafi’ah Hal. 24).
Habib Abdullah Al Haddad memberikan nasihat agar kita mengisolasi diri kita (uzlah) dari pergaulan dengan manusia di zaman ini. Maksudnya di sini adalah menjaga jarak dari mereka. Meminimalisir berkumpul dan bergaul dengan mereka kecuali jika ada keperluan belaka yang itupun dengan syarat harus disertai kewaspadaan yang tinggi. Hal ini dimaksudkan agar mereka bisa selamat dari paparan keburukan kita dan kita pun bisa selamat daripada terpapar keburukan mereka.
Inilah bentuk saling menjaga keselamatan antar sesama manusia yang paling efektif dan jitu. Dan yang dimaksud menjaga keselamatan di sini tentunya adalah dalam perkara akidah agama. Sebab sudah menjadi rahasia umum jika semakin berganti zaman maka (perilaku) manusianya (Ahlus Zaman) akan menjadi semakin buruk. Dan keburukan itu bisa saling menular antara satu orang dengan yang lainnya.
Hal ini seperti yang sudah disabdakan oleh Rasulullah ﷺ
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang tergantung agama teman dekatnya, maka hendaknya kalian memperhatikan siapakah teman dekatnya.” (HR. Ahmad).
Dalam hadis yang lain Rasulullah ﷺ bahkan membuat sebuah permisalan bahwasanya bergaul dengan orang baik seperti bergaul dengan penjual minyak wangi yang mana efek terkecilnya adalah kita bisa terciprat bau wanginya. Sedangkan bergaul dengan orang yang buruk ibarat bergaul dengan tukang pandai besi yang mana efek terkecilnya adalah kita bisa terciprat bau tidak sedap darinya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka urgensi memilih kawan bergaul secara selektif adalah wajib hukumnya bagi setiap orang beriman. Apalagi di akhir zaman seperti saat ini. Sahabat Abu Darda’ Ra. pernah berkata bahwa di antara bentuk kecerdasan seseorang adalah selektif dalam memilih teman berjalan, teman bersama, dan teman duduknya.
Habib Abdullah Al Haddad melanjutkan nasihatnya agar kita tidak turut bergabung dengan sebuah perkumpulan kecuali perkumpulan itu membawa manfaat bagi agama kita. Dan jika tidak bisa melakukannya maka larilah dari perkumpulan yang tidak membawa manfaat bagi agama seperti kita lari dari binatang buas yang siap menerkam.
Imam Al Haddad mengatakan bahwa binatang buas hanya bisa melukai dhohir (jasad) saja sedangkan pergaulan dengan kebanyakan manusia (Ahlus Zaman) yang tidak membawa kebaikan bagi agama kita bisa merusak hati dan agama kita. Padahal hati dan agama itulah instrumen utama kita untuk bisa mengetahui Allah dan selamat di akhirat kelak.
Di sini bahkan Imam Al Haddad memakai istilah setan untuk menyebut orang yang kita dilarang bergaul dengannya akibat pengaruh buruknya bagi agama kita. Apakah hal itu berlebihan. Tentu tidak, sebab dampak yang ditimbulkannya sangat besar sekali. Hingga Imam Al Haddad memakai tamsil binatang buas hanya melukai jasad saja yang mana jasad jelas tidak kekal sebab hakikatnya ia hanyalah makanan belatung yang tidak ada imbasnya kepada akhirat kita sama sekali. Sedangkan dampak dari pergaulan dengan setan dari kalangan manusia tersebut adalah kerusakan pada hati dan agama yang tentu bersifat kekal abadi hingga akhirat kelak.
Perkataan Imam Al Haddad mengenai penggunaan frasa setan untuk menyebut kelompok manusia yang bisa merusakkan agama seseorang tersebut sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi, “Demikian, Kami jadikan untuk setiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan dari jenis manusia dan jin. Sebagian mereka membisikkan perkataan indah kepada sebagian lain sebagai tipuan. Kalau Tuhanmu menghendaki, pasti mereka tidak akan melakukannya. Maka, biarkanlah mereka bersama kebohongan yang mereka ada-adakan,” (QS. Al-An’am: 112).
Jika para Nabi yang ma’shum saja memiliki musuh berupa setan dari kalangan manusia, apatah lagi bagi manusia biasa. Pernyataan Imam Al Haddad itu juga sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ dalam sabdanya. Dari Abu Dzar Ra. berkata, “Aku mendatangi Rasulullah ﷺ pada saat beliau berada di masjid. Aku duduk (di dekatnya). Maka beliau bersabda, ‘Hai Abu Dzar, apakah kamu sudah melakukan shalat?’ Aku berkata, ‘belum’, Beliau bersabda, ‘Berdirilah, lalu shalatlah!’ Maka, aku pun berdiri dan melakukan shalat. Kemudian, aku duduk, maka beliau bersabda, ‘Hai Abu Dzar, berlindunglah kepada Allah dari kejahatan setan manusia dan jin,’ Aku berkata ‘Wahai Rasulullah apakah dari golongan manusia ada setan?’ Beliau bersabda, ‘Ya’,” (HR. Ahmad).
Wal Hasil inilah urgensi Isoman (uzlah) di akhir zaman yang harus dijalankan oleh setiap orang beriman demi menyelamatkan agama mereka dari paparan virus yang bisa merusakkan akidah. Jikalau mayoritas manusia (Ahlus Zaman) bisa sangat patuh kepada petunjuk para pakar kesehatan atau lembaga kesehatan dunia demi menjaga kesehatan jasad mereka yang hakikatnya berakhir sebagai makanan belatung di dalam tanah (kuburan) kelak, harusnya manusia yang beriman lebih dari itu. Seyogyanya selain menjaga kesehatan jasmaninya, mereka juga wajib menjaga kesehatan akidahnya karena hal itulah bekal menuju keselamatan kehidupan di akhirat kelak. Wallahu A’lam Bis Showab.*
Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan