Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | KASIHAN Presiden Joko Widodo, yang disodori naskah untuk dibaca, tapi justru menjerumuskannya. Ada yang bertanya, Apa naskah sebelum dibacakan pada publik, itu tidak terlebih dulu dibacanya untuk dimengerti apa maksudnya?
Mungkin Jokowi tidak sempat lagi, dan cuma percaya saja dengan pembantunya, yang pastilah menyiapkan materi dengan narasi yang mau dibacanya dengan baik dan benar. Lalu beliau nyambar saja, tanpa tahu apa isi yang dibacanya.
Pastilah tahu kalau yang dibaca itu bagian dari mempromosikan produk-produk Indonesia, yang digagas Kementerian Perdagangan. Tidak ketinggalan sekaligus promosi kuliner nusantara. Tapi tentang substansi yang akan disampaikan pada publik, khususnya pada mereka yang tidak mudik, tidak difahaminya.
Niatnya sih baik, itu agar siapa saja yang tidak mudik, sesuai anjuran pemerintah, jika kangen pada makanan daerahnya bisa dipesan lewat online.
Begini pidatonya:
“Untuk bapak ibu dan saudara yang rindu kuliner khas daerah, atau yang biasanya mudik membawa oleh-oleh, tidak perlu ragu untuk memesannya secara online.
Yang rindu makan gudeg Jogya, bandeng Semarang, Siomay Bandung, empek-empek Palembang, bipang Ambawang dari Kalimantan dan lain-lainnya tinggal pesan, dan makanan kesukaan akan diantar sampai ke rumah,” ujar Presiden Jokowi mantab tanpa tertatih-tatih.
Bahkan juga tampak tidak ada ekspresi kegelisahan darinya saat menyebut bipang Ambawang. Entah ia faham apa yang diucapkan atau justru tidak faham.
Bukankah ia bicara juga masalah mudik, dan tentu itu identik dengan umat Islam. Sedang bipang “babi panggang” Ambawang, itu makanan yang diharamkan umat Islam. Halo… Apa iya tepat, tho Pak?
Seharian kemarin video Jokowi “bipang Ambawang” viral, dan tentu jadi bahan olok-olok bahkan kegeraman tersendiri. Masa sih gak peka pada umat Islam, kok mempromosikan makanan yang diharamkan, apalagi di bulan Ramadhan.
Bahkan tidak sedikit yang berasumsi, bahwa itu memang disengaja Jokowi untuk ngetes kepekaan umat Islam. Gaklah, rasanya itu cuma kesalahan yang dibuat pembantunya. Karena itu dalam rangka promosi produk Indonesia, yang digagas Kementerian Perdagangan, maka kemungkinan naskah yang dibacanya disiapkan mereka.
Apa naskah yang akan dibaca Presiden itu tidak dikoordinasikan dengan Sekretariat Negara untuk diperiksa substansinya pas atau ada yang perlu dirapikan. Tidak persis tahu, cara kerja pembantu-pembantunya. Seperti terkesan jalan sendiri-sendiri, bagai orkestra tanpa panduan dirigen.
Maka Pak Pratikno, Menteri Sekretaris Negara, yang lalu disasar JokMan, sebuah kelompok yang membela Jokowi mati-matian. Berharap Presiden Jokowi mencopotnya. Dianggap kesalahan itu ada pada Pak Pratikno.
Lain lagi dengan pembelaan Fadjroel Rachman, jubir Presiden, yang coba pasang badan dengan mengatakan bahwa yang dimaksud Presiden Jokowi itu jipang, bukan bipang. Memang ada ya jipang dari Ambawang itu. Pembelaan Fadjroel ini ngaco kelewatan.
Juga pembelaan Menteri Perdagangan, yang memang hobi pasang badan. Saat yang lalu soal rencana impor beras, lalu jadi ramai. Bagaimana bisa saat petani panen, kok malah impor beras. Maka sang menteri, Muhammad Lutfi, pasang badan. Katanya, kesalahan ada pada saya. Heroik. Termasuk pada bipang Ambawang ini, ia meminta maaf.
Sejarah mencatat, biasanya pejabat yang suka aneh-aneh, bahkan lebay pasang badan segala ini akan lari duluan, jika rezim yang ditumpanginya jatuh. Masing-masing cari selamat, takut dimintai pertanggung jawaban. Model beginian ini sudah banyak contohnya, gak aneh.
Oh iya, soal bipang Ambawang, tidak banyak yang tahu sebelumnya, sebelum itu “disentil” Presiden Jokowi. Maka, para pengusaha bipang Ambawang berterima kasih karena Jokowi ikut mempromosikan.
Bipang Ambawang, adalah makanan kuliner khas Kalimantan Barat, terutama Pontianak. Kalau kita kenal sate cempe, artinya sate kambing muda. Sehingga dagingnya empuk. Maka, bipang juga demikian, yang dipilih adalah babi muda usia 3-5 bulan. Konon itu yang menjadikan dagingnya lembut.
Manajemen Amburadul
Kesalahan yang tidak perlu akan terjadi jika manajemen pemerintahan tidak dikelolah dengan baik. Dan kesalahan demikian bukan baru sekali ini dialami Presiden Jokowi. Misal, meneken atau tanda tangan sesuatu yang tidak disadari, atau mungkin disadari, dan lalu karena respons penolakan masyarakat yang dahsyat, maka dicabutnya Peraturan pemerintah (Perpres) yang dibuatnya.
Paling anyar, yang masih ada diingatan kita, adalah Lampiran Perpres Nomor 10, Tahun 2021, terkait Pembukaan Investasi Baru dalam Industri Minuman Keras (miras). Setelah muncul protes keras masyarakat, maka dengan “terengah-engah” Perpres itu dicabutnya.
Ada lagi, Presiden Jokowi meneken produk Undang-undang, yang isinya belum terkoreksi dengan baik, meski sudah diketok palu oleh DPR-RI. Kok bisa? Ngawur apa yang gak bisa terjadi di negeri ini, apalagi jika sesuatu itu dilakukan terburu-buru karena motif tertentu, itu semacam sinetron kejar tayang.
Dan, itu saat Presiden Jokowi teken UU Nomor 11, tahun 2020, tentang Cipta Kerja. Ternyata setelah ramai dikritisi pengamat dan bahkan masyarakat umum, ada yang bermasalah pada Pasal 6 nya. Bermasalah karena Pasal 6 itu merujuk pada ayat-ayat pada Pasal 5. Padahal Pasal 5 sebenarnya tidak memiliki satu ayat pun. Hehehee…
Presiden Jokowi main teken saja, tanpa pembantunya yang berkompeten memeriksa apa yang akan diteken presiden itu. Bukan setelah diteken, masyarakat ramai, baru gelagapan salah menyalahkan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Pada periode pertama Presiden Jokowi menjabat (2014), dan di tahun 2015 ada juga peristiwa teken jokowi yang bermasalah. Itu saat ia mencabut Perpres Nomor 68, Tahun 2010, tentang Fasilitas Uang Muka Kendaraan Per orangan, yang diberikan pada Pejabat negara.
Ia menggantinya dengan Perpres Nomor 39, Tahun 2015, isinya sih kurang lebih sama dengan Perpres yang dicabutnya. Hanya besaran nominal uang yang diberikan ada penambahan nilai. Yang tadinya (Perpres No 68, 2010) Rp 116.650.000,- menjadi (Perpres No 39, 2015) Rp 210.890.000,-.
Setelah itu muncul reaksi berbagai pihak menyerang kebijakan yang tidak pro rakyat, di tengah pencabutan subsidi harga bahan bakar minyak dan kenaikan harga-harga kebutuhan hidup.
Melihat reaksi yang ditimbulkan, Presiden Jokowi gelagapan, seperti orang twrkaget terbangun dari tidur karena mimpi buruk. Lalu komennya, “Tidak semua hal saya ketahui 100 persen. Hal seperti itu harusnya di kementerian sudah menscrening apakah bersifat baik dan tiidak untuk negara.”
Itu masa jabatannya belum genap setahun, maka Jokowi ya rada kaget lihat reaksi yang muncul. Tapi pada kasus “bipang Ambawang” pastilah sikap Presiden Jokowi biasa-biasa saja, cuek… emang gue pikirin. Paling-paling cuma reaksi sesaat, dan setelah itu akan hilang seperti debu disapu angin.
Biasanya kalau demikian, akan dicarikan “lagu sumbang” lainnya, sebagai skenario lain untuk menutup kasus “bipang Ambawang” yang ketiban populer. Soal itu sih perkara mudah. Halo… sampai di sini, faham?! (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya