Oleh: Arya Sandhiyudha & Abdul Hadi Ilman
DALAM pantauan MaCDIS (Madani Center for Development and International Studies) banyak tulisan di sosmed berisi ragam perspektif apa sebenarnya menjadi motif dan faktor utama yang menggerakkan pemerintahan Arab Saudi dan “kontingen” besarnya berkunjung ke Indonesia untuk pertama kalinya setelah 47 tahun berlalu.
Banyak tulisan tentang Arab Saudi, selalu dikaitkan dengan sektarianisme Wahabi, sentimen agama, kontra China atau lainnya. Maka ulasan MaCDIS berargumentasi bahwa ekonomi utamanya “minyak” merupakan induk alasan yang melahirkan banyak argumentasi lainnya.
Diantara penjelasan atas argumentasi “minyak” tersebut ada tujuh kesimpulan atau faktor yang dapat diuraikan:
Polugri AS dan Melemahnya Kartel
Sebagai awal, kita perlu melihat aspek makro yang bisa jadi menjelaskan ragam faktor setelahnya.
Faktor pertama, bahwa kondisi dinamis Saudi sekarang sebenarnya dalam rangka mengantisipasi perubahan arah polugri Amerika Serikat (AS). Sejak pemerintahan Obama (US Pivot to Asia) yang kemudian berlanjut pada pemerintahan Trump yang memberikan sinyal perubahan fundamental kecenderungan kepada US Pivot to America.
Baca: Pentingnya Kunjungan Raja Salman bagi RI dan Arab Saudi
Perubahan arah polugri AS ini disebabkan melemahnya ‘monopoli’ kartel terhadap harga. Beberapa tahun lalu, produksi minyak dikuasai kartel (OPEC). Karakter kartel bisa mengendalikan harga pasar minyak dunia, karena mereka relatif memonopoli produksi. Mereka biasanya bersepakat berapa target jumlah produksi di dunia, yang akhirnya akan menentukan harga minyak. Berdasar hukum permintaan dan penawaran di ekonomi: barang tersedia banyak, harga jadi murah, dan sebaliknya.
Akan tetapi, 3 tahun terakhir di AS terjadi boom produksi minyak dan gas. AS bisa mengaplikasikan teknologi baru yang dapat memproduksi minyak lebih banyak dengan biaya produksi yang juga lebih rendah. AS punya potensi minyak yang sangat besar, namun selama ini karena alasan teknologi belum bisa dieksploitasi. Sekarang semua itu menjadi mungkin, dan sampai dapat mempengaruhi produksi minyak dunia. AS bukan anggota kartel, sehingga tidak terikat kesepakatan jumlah produksi dari OPEC. Artinya, AS dapat memproduksi sebanyak-banyaknya demi keuntungan AS sendiri, selaras slogan Presiden Trump: “America First!”
Ketika produksi meningkat, harga minyak dunia turun sampai pernah menyentuh pada level $20-an per barrel. Tertingginya pernah kita rasakan sampai $120-an per barrel. Sekarang mulai naik kembali sekitar $50.
Dampak dari harga yang murah, banyak produsen minyak tutup karena harga jual lebih murah dari biaya produksi. Tentu dengan catatan kaki, bahwa biaya produksi minyak per negara dan produsen beda-beda. Kabarnya Saudi membiayai sekitar belasan Dollar per barel. Jadi bagi Saudi, harga $20 per barrel masih menguntungkan, meski sedikit. Akan tetapi, Saudi tetap merugi secara fiskal. Inilah yang terjadi 3 tahun terakhir, Saudi (sebagai produsen OPEC terbesar) mengalami defisit fiskal, belanja lebih besar dari pemasukan.
Di AS pun ada juga produsen yang tutup karena “perang harga” ini. Disebut “perang” sebab tidak ada yang mau menurunkan produksi. Inilah sejatinya permainan yang terjadi. Kalo ada satu pihak yang menurunkan produksi, harga menjadi naik, dan yang diuntungkan adalah B yang tidak menurunkan produksi. Jadi masing-masing akan bertahan sampai ada yang harus terpaksa tutup.
Dampak Langsung ke Saudi dan Kebutuhan ke Indonesia
Maka faktor kedua hingga ketujuh dapat disebutkan merupakan rincian kesimpulan dari dampak tren global terhadap Saudi yang kemudian membuatnya sangat membutuhkan kunjungan ke Indonesia.
Kedua, saat ini, sepertinya Saudi sudah tidak tahan dengan harga rendah ini. Saudi butuh mengembalikan pemasukan APBN yang ‘normal’ dari minyak dan melanjutkan rencana go public Aramco sebagai BUMN minyak.
Ketiga, sebagai langkah mengembalikan harga, Saudi mendesak negara anggota OPEC dan non OPEC (seperti Rusia) untuk bersama-sama menurunkan produksi, agar harga naik kembali. Hanya saja, ini kartel, yang dalam karakter alamiahnya memiliki kelihaian untuk tidak disebut dengan istilah tricky. Sudah sepakat akan menurunkan, namun kenyataannya masih ada yang belum 100% sesuai kesepakatan. Apalagi yang non OPEC, lebih susah lagi untuk diajak.
Baca: Investasi 300 Trilyun, Kunjungan Raja Saudi Dinilai Kuatkan Hubungan Bilateral
Saudi sebagai negara pemimpin organisasi kartel dan produsen minyak terbesar itu terus mengambil langkah-langkah dalam mengurangi/membatasi output produksi. Saudi menawarkan penurunan produksi tertinggi dalam kesepakatan OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries /Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi) pada 30 November 2016 lalu. Bagi produsen besar minyak OPEC hingga 90% sementara, bagi negara non-OPEC yang menandatangani perjanjian OPEC diminta mengurangi sekisar 48%.
Dalam situasi dimana negara-negara dunia sulit untuk diajak menurunkan produksi, maka pada awal tahun 2017 Saudi akhirnya memangkas produksi minyaknya dengan harapan anggota OPEC dan 11 non anggota OPEC menurunkan produksinya sebagaimana kesepakatan.
Pasca Indonesia Keluar dari OPEC
Keempat, kebijakan 30 November 2016 adalah momentum yang sangat berpengaruh, yaitu ketika Indonesia memilih untuk (kembali) keluar dari OPEC. Ini kali kedua Indonesia keluar setelah sebelumnya sempat keluar pada Mei 2008 lalu kembali bergabung di awal era Presiden Jokowi. Keputusan ini jelas diambil karena lebih menguntungkan bagi Indonesia. Di sisi lain, OPEC tetap dapat berjalan sesuai dengan kesepakatannya.
Kelima, Saudi berfokus mempersiapkan IPO (Initial Public Offering) Aramco yang pada tahun 2018 dibuka 5% saham Aramco untuk publik. Melalui upaya ini, Saudi hendak menjadikan dirinya penyuplai minyak utama di Asia.
Keenam, Pertamina dan Saudi Aramco pada akhir Desember 2016 telah menandatangani Joint Venture Development Agreement (JVDA), tonggak awal pengembangan dan pengoperasian Refinery Unit IV Cilacap, Jawa Tengah. Kerja sama ini merupakan kelanjutan dari Heads of Agreement (HoA) November 2015 lalu. Artinya, Indonesia dan Saudi akan mengembangkan dan memperkuat infrastruktur energi, yaitu proyek kilang minyak.
Baca: Atase Saudi: Raja Salman ke Indonesia Atas Undangan Presiden Jokowi
Upgrade dan perluasan Kilang Cilacap akan meningkatkan daya saing usaha hilir Pertamina melalui penciptaan produk kilang yang bernilai tinggi dan ramah lingkungan Melalui investasi yang signifikan dan pasokan bahan baku yang kompetitif, perjanjian ini berpotensi untuk memenuhi kebutuhan energi Indonesia. Refinery Cilacap sebagai bagian dari Refinery Development Master Plan (RDMP) Pertamina, kapasitasnya akan ditambah menjadi 400.000 barel per hari dan dirancang untuk memroses minyak mentah yang disediakan oleh Aramco.
Hal ini juga akan menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi Euro V, petrokimia dasar (basic petrochemical), dan Group II Base Oil untuk pelumas. Selain untuk memenuhi meningkatnya permintaan bahan bakar, kemitraan antara Pertamina dan Saudi Aramco akan meningkatkan daya saing kilang-kilang di Indonesia dan berkontribusi dalam upaya meningkatkan ketahanan energi. Adapun struktur kepemilikan Kilang Cilacap yang di-upgrade nanti, Pertamina akan memiliki saham 55% dan Saudi Aramco sebesar 45%. Sampai saat ini konfigurasi kilang telah selesai dan berproses untuk memilih licensor teknologi dengan pekerjaan Basic Engineering Design yang ditargetkan selesai kuartal pertama 2017 ini. Penandatanganan kesepakatan tersebut adalah pembuka jalan ke tahap Front End Engineering Design (FEED) pada kuartal kedua tahun 2017, dan startup proyek ditargetkan pada 2021.
Ketujuh, penjelasan argumentasi minyak inipula yang menjelaskan kenapa Saudi bertambah gigih mencari peluang investasi dan pembangunan ekonomi sektor non-migas. Sektor-sektor tersebut seperti infrastruktur, proyek air, dan pariwisata. Jadi, Asia Tour ke Malaysia, Jepang, China, selain mereka importir minyak Saudi yang penting, namun juga untuk aplikasi renstra Saudi dalam diversifikasi investasi.
Maka, tentunya selama pertemuan antara Raja Salman dan Presiden Jokowi diduga akan menjadi pembahasan yang semakin menambah optimis penguatan bilateral Saudi-Indonesia.*
Arya Sandhiyudha, PhD, pengamat politik internasional, Direktur Eksekutif MaCDIS. Abdul Hadi Ilman, M.P.P., pengamat ekonomi MaCDIS, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Teknologi Sumbawa (UTS)