“Kita dihina,” cetus Ridwan Saidi, Budayawan Betawi, dengan nada tinggi saat menyampaikan orasinya pada acara Tabligh Akbar dan Konferensi Pers Forum Ummat Islam (FUI) bertema, “Menolak Perwakilan Dagang Israel di Indonesia”, pertengahan bulan Agustus tahun lalu di Masjid Al Azhar, Jakarta.
Ridwan berang. Pasalnya, media, baik cetak maupun elektronik, menurut dia, telah satu kata dalam memberikan stigma buruk terhadap Islam.
“Dulu waktu stasiun televisi baru satu, suaranya hanya satu. Sekarang televisi sudah banyak, ternyata mereka juga tetap satu suara,” kata Ridwan.
Memang, pascaledakan bom yang mengguncang dua hotel di bilangan Mega Kuningan Jakarta tahun lalu itu, hampir semua media arus utama sibuk memberitakan peristiwa tersebut.
“Tak ubahnya pertandingan bola. Reporter tak henti-hentinya melaporkan kejadian demi kejadian. Ujungnya-ujungnya ya kita, Islam yang didiskreditkan,” tambah Ridwan.
Hanya beberapa media Islam yang sempat mengangkat kemesraan tersebut, selebihnya pemberitaan di media arus utama lebih kepada isu ”teroris” yang pelakunya kerap dilekatkan kepada mereka yang berjenggot, celananya cingkrang, istrinya pakai cadar, atau mereka yang rajin ibadah dan tak doyan dugem. Sebuah pencitraan yang begitu sistematis.
Dari silaturrahmi menuju ’konspirasi’
Baru-baru ini, media Israel memberitakan tentang dibukanya secara gelap kantor kamar dagang Israel di Jakarta. Entah karena sengaja atau masih sibuk “mendesain” pemberitaan tentang serangan ”terorisme”, media arus utama tampaknya tak terlalu perduli untuk berita-berita seperti ini.
Berawal dari kunjungan Kamar Dagang Indonesia (KADIN) ke Israel 2006 lalu, bulan Agustus lalu sekitar 8 pengusaha Israel yang diorganisasi Israel Export and International Cooperation Institute dan Kementerian Industri, Perdagangan, dan Tenaga Kerja Israel, balik mengunjungi ”sahabatnya” di Indonesia.
Ada yang istimewa dalam kunjungan balasan tersebut. Dalam agenda itu, Israel sedang berupaya memperluas jaringan dan hubungan ekonominya dengan negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Dan, secara diam-diam Israel telah membuka kantor kamar dagangnya di Jakarta. Hal ini terungkap dari laporan Orah Korn, koresponden pada desk ekonomi di harian Dza Marker berbahasa Ibrani yang terbit di Israel. Dalam laporannya harian tersebut menulis, tujuan dibukanya kantor dagang Israel di Jakarta adalah untuk memulai babak baru hubungan ekonomi antara Israel dan Indonesia.
“Oleh karena Israel tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia, maka diperlukan tiga tahun untuk membangun infrastruktur yang diperlukan untuk menciptakan sebuah hubungan dagang secara langsung, yang bisa diakui dan diperbolehkan secara hukum di kedua Negara,” ujar Atase Perdagangan Israel di Singapura, Ana Katz, sebagaimana dikutip Hidayatullah.com dari harian Israel The Jerusalem Post.
Setali tiga uang dengan Katz, Kepala Kantor Dagang Israel-Asia, Ran Kohin, mengungkapkan bahwa sebelum kantor dagang Israel itu dibuka di Jakarta, hubungan diam-diam antara Indonesia dan Israel telah berlangsung sejak beberapa tahun lalu.
Kohin menegaskan, dibukanya kantor dagang Israel di Jakarta merupakan hasil perkembangan yang baik dalam hubungan ekonomi antara Indonesia dan Israel yang telah berlangsung sejak beberapa tahun lalu, meskipun tidak ada hubungan diplomatik antara keduanya.
Sesungguhnya, jalinan diam-diam ini sudah berlangsung lama. Pada tahun 2001, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Luhut Binsar Panjaitan, meneken Surat Keputusan Memperindag No.23/MPP/01/2001 tertanggal 10 Januari 2001 yang melegalkan hubungan dagang antara Indonesia dengan Zionis-Israel.
Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gusdur) itulah secara resmi dibuka hubungan dagang RI dengan Israel.
Tak ayal, jalinan ini menuai kecaman berbagai kalangan di Indonesia. Ketua Umum Pergerakan Islam untuk Tanah Air (PINTAR), Alfian Tanjung, menilai bahwa ada lima kesimpulan yang dapat diretas atas diakuinya kantor kamar dagang Israel di Indonesia oleh pemerintah.
Pertama, menurut Alfian, adalah berarti Indonesia telah mengakui kedaulatan negara Israel yang selama ini diperjuangkan. Kedua, bangsa Indonesia telah melegalkan operasi Zionist State. Ketiga, bukti bahwa Indonesia membiarkan zionis Israel mencaplok kekayaan negeri ini. Keempat, hal ini akan sangat melukai sejarah perjuangan umat Islam di Indonesia. Dan, kelima, ini menunjukkan secara jelas akan lemahnya negara Indonesia atas segala kedurjanaan gerakan zionis-Israel dan dominasi mereka.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Sehingga, lanjut Alfian, umat Islam harus menolak secara sadar atas segala bentuk penjajahan yang dimakari Zionis-Israel.
Kita sangat sangat menyayangkan sikap pemerintah Indonesia yang mengizinkan bangsa penjajah zionis-Israel membuka kantor perwakilan kamar dagang di Jakarta. Sebab selain tindakan itu sangat inkonstitusional, juga bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 yang memiliki sikap tegas bahwa penjajahan di atas bumi harus dihapuskan.
Jika media sibuk mengangkat bahaya ’terorisme’, seharusnya mereka juga tidak melupakan bahaya terorisme negara, seperti yang telah dilakukan Zionis-Israel atas bangsa Palestina.
Lebih dari 60 tahun lamanya, Zionis-Israel telah menebar teror di tengah kedamaian rakyat Palestina. Tanah mereka dirampas, dan hak-hak asasi mereka dizalimi.
Kita jangan lupa, Zionis-Israel adalah penjajah. Dan melawan penjajah adalah salah satu bagian yang diamanahan dalam Pembukaan UUD 1945. Adalah suatu yang aneh, kita sibuk melawan ”terorisme”, sementara di pihak lain kita (atas nama pemerintah) malah menjadi erat dengan pelaku ”teror”?
Penulis pengamat masalah keagamaan, kini tinggal di Depok, Jawa Barat