Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | JULUKAN tengil memang pas dikenakan pada Ade Armando, dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia (UI). Menjadi tengil tampaknya jadi pilihan hidupnya. Dan ia tampak menikmatinya.
Melihat Ade Armando, tidak perlu mesti baper, apalagi direspons berlebihan. Justru ia senang jika lalu muncul respons bergelombang. Biarkan saja. Mengabaikannya, itu sama dengan kita tidak memberi panggung untuk ia bisa menari sesukanya.
Biarkan saja Ade terus menari dengan tarian seronok sekalipun, jika tidak digubris maka lama-lama ia akan masuk angin, sakit-sakitan dan mati merana.
Tengil itu pilihan hidup, yang tidak bisa dilawan dengan kewarasan akal budi. Menjadi tengil itu haknya, meski setiap hak seseorang dibatasi dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Mustahil Ade tidak tahu soal sederhana ini.
Meski tahu, bahwa semua ada batasannya, ia tetap memilih jalur yang sudah dipilihnya. Tetap bersikap tengil, bahkan sampai mengaduk perasaan tidak saja pada pilihan politik seseorang atau kelompok, bahkan lebih dari itu agama yang sensitif coba dibenturkan. Agama yang sakral disasarnya.
Lewat status Facebook-nya, Ahad (1 Agustus), Ade mengunggah sesuatu yang tidak sepatutnya. Cabang olah raga, khususnya bulu tangkis pada ajang Olimpiade, yang itu diharapkan mampu mempersatukan masyarakat yang terbelah pada pilihan politik, itu dikotori dengan unggahannya.
Eh Ginting itu Islam atau kristen?
“Ya Kristenlah…”
“Oooooh…”
Apa yang diunggahnya sama sekali hal tidak semestinya. Olah raga itu mempersatukan anak bangsa, tanpa membedakan agama dan ras. Itu pandangan yang dianut manusia beradab, tapi coba ia gugat.
Mempersoalkan agama seseorang, dalam konteks unggahan Ade di atas, dengan “mengecilkan” agama lain (Islam), itu masuk kategori rasis. Tidak persis tahu, itu hal disadarinya atau memang ia terjebak lebih mendahulukan sikap tengilnya, sehingga ia alpa dengan apa yang dilakukannya.
Tapi melihat laku Ade selama ini, pastilah itu memang disengaja. Tampaknya pada suatu saat ia bisa menganut rasisme, dan itu demi memuaskan hasrat tengilnya. Ade akan terus melontarkan sikap-sikap tengilnya memancing emosi publik. Skenario yang dimainkannya akan terus demikian.
Bahkan jika respons publik melemah atau mengabaikannya, bisa jadi ia akan tingkatkan lagi narasi provokatifnya. Jika respons meledak, justru ia akan menikmatinya. Itu yang diharapkannya. Sekali lagi, Ade menikmati itu semua, dan itu memang lapaknya.
Tentu Itu Bukan Gratis
Kita memang bisa menjadi apa saja, dan itu pilihan. Bahkan seseorang bisa menjalankan profesi terhormat, tapi pada saat bersamaan mampu pula menjadi bajingan.
Geisz Chalifah, seorang pegiat media sosial, pernah menyebut Ade Armando itu dengan sebutan sarkastik, “bajingan berselimut dosen”. Tamparan Geisz itu tampak “kasar”, tapi setidaknya ia berupaya menampakkan watak sebenarnya sosok Ade Armando.
Profesi dosen yang nyambi sebagai influencer atau buzzer. Dua profesi yang sebenarnya tidak mungkin bisa bertemu. Tapi itu bisa dimainkan oleh Ade. Itu yang ditangkap Geisz dan lalu menampolnya dengan narasi bajingan berselimut dosen. Tidak ada yang salah dengan apa yang diungkap Geisz, apalagi yang disasar hanyalah tabiat Ade.
Meski terkesan “kasar”, Geisz mampu mendefinisikan manusia Ade Armando itu. Maka, temuan narasi yang disampaikan Geisz, itu mampu beri pemahaman watak yang akan terus dimainkan Ade Armando.
Karenanya, menyikapi Ade Armando itu biasa-biasa saja. Tidak perlu berlebihan. Ini sekadar masalah periuk, lalu seseorang mampu menjadi apa saja, bahkan mengolok-olok agama ibunya sekalipun. Itu bukan hal yang tidak disadarinya, justru itu yang akan terus dimunculkan, guna meraih apa yang diharapkan. Semua tidak ada yang gratis… Sampai di sini, faham kan?! (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya