DALAM sebuah forum training yang diikuti murid-murid SMP di Depok, saya menemukan satu fakta yang sebenarnya berdampak serius bagi masa depan generasi muda. Tapi tidak begitu disadari sebagai masalah serius oleh kita pada umumnya, apa itu? Berpikir.
Ada beberapa bukti mengenai hal ini. Coba tanyakan kepada mereka tentang pemain sepak bola, sekejap pun mereka bisa menjawab. Tetapi, tanyakan kepada mereka tentang Umar Bin Khattan, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sultan Muhammad al Fatih, atau siapapun tokoh penting dalam sejarah Islam, satu jam pun mereka tidak akan bisa mengutarakan jawaban.
Mengapa bisa?
Sederhana jawabannya, indera dan akal mereka banyak diisi oleh hal-hal yang populer sekarang. Sementara di kelas, mereka tak lebih dari sekadar menjadi pendengar yang baik dari paparan guru tentang segala macam pelajaran. Di sisi lain, guru pada umumnya juga tidak mengajarkan bagaimana membangun tradisi berpikir.
Sangat berbeda dengan apa yang terjadi pada zaman Nabi. Sekalipun masih remaja, kemampuan berpikir mereka sudah sangat luar biasa.
Keislam-an Ali bin Abu Tholib
Suatu kisah menuturkan. Suatu saat Ali yang kala itu masih berusia di bawah 10 tahun melihat Rasulullah dan Siti Khadijah melaksanakan shalat. Melihat itu, Ali terusik pikirannya, lalu memberanikan diri bertanya kepada mereka berdua. “Apa yang Anda berdua lakukan?”
Maka Rasulullah menjawab, “Kami sedang melaksanakan shalat.” Kemudian Ali bertanya lagi “Lalu kepada siapakah kalian menyembah?” Rasul menjawab, “Kepada Allah Ta’ala, Rabb semesta alam.”
Rasul pun bertanya, “Wahai Ali tidakah engkau pernah berpikir bahwa Allah Maha Esa itu lebih baik dari berhala-berhala yang disembah?”
Ali menjawab, “Aku sangat tertarik kepada apa yang Anda berdua lakukan, tetapi izinkan aku untuk bertanya dahulu kepada ayahku yaitu Abu Thalib”.
Sekejap kemudian Ali beranjak. Dan, ketika baru tiga langkah Ali beranjak, Ali berbalik, seraya berucap kepada baginda Nabi, “Ya Rasulullah sesungguhnya Allah Ta’la ketika menciptakan aku tidak bermusyawarah dengan Abu Thalib. Lantas untuk menyembah Allah, mengapa aku mesti bermusyawarah dengan Abu Thalib.”
Ini ungkapan yang sangat cerdas. Kita mungkin dibuat bertanya-tanya, bagaimana pada usia yang belum genap 10 tahun, seorang Ali bisa berpikir sedemikian dalam?
Pergaulan
Kalau kita bertanya, mengapa Sayyidina Ali bisa seperti itu? Jawabannya sederhana, karena putra Abu Thalib itu bergaulnya memang bersama Nabi. Dalam benaknya mungkin tersirat pertanyaan, mengapa Nabi Muhammad tidak sama dengan masyarakat umumnya, menyembah berhala dan melakukan tradisi-tradisi jahiliyah.
Perilaku Nabi menjadi pemicu Ali terus bertanya-tanya. Sampai pada saat melihat beliau mendirikan sholat. Dan, itu tentu tidak dilihat secara kebetulan, tetapi sudah amat sering, sehingga semakin dilihat semakin menambah rasa penasarannya.
Bandingkan dengan remaja masa kini. Mereka mungkin melihat orang tua atau gurunya sholat. Tetapi, waktu mereka bersama televisi, smartphone, internet, game-online, teman dan sebagainya jauh lebih intens, sehingga ketertarikan mereka lebih pada apa yang menyenangkan. Akibatnya, mereka tidak pernah terpancing untuk mendalami masalah penting dalam agama ini.
Bagaimana mereka bisa berpikir, waktu kecilnya banyak dihabiskan nonton film, tragisnya, film yang dilihat adalah Doraemon, yang menyajikan kehidupan begitu mudah dengan adanya kantong ajaib. Sepintas seperti tidak berhubungan, tetapi bukankah manusia akan berpikir dari apa yang paling sering dilihatnya.
Benarlah ungkapan yang mengatakan bahwa, “Satu kesalahan yang dipresentasikan terus-menerus akan dianggap sebagai kebenaran. Dan, satu kebenaran yang tidak pernah dipresentasikan secara intens akan dianggap sebagai kesalahan.”
Sayyidina tidak melihat melainkan perilaku Nabi, maka akalnya pun terangsang berpikir hal-hal mendalam. Wajar jika kemudian Sayyidina Ali disebut sebagai Babul ‘ilm (Pintunya Ilmu.” Ketajamannya berpikir sangat luar biasa.
Dengan kata lain, penting bagi semua pihak, utamanya orang tua dan guru untuk menjaga pergaulan anak-anak kita. Latih mereka untuk berpikir dengan mendiskusikan sejarah dan membandingkan kondisi zaman Nabi dengan saat ini. Bahkan orang tua atau guru harus sabar, telaten dan serius menjawab pertanyaan-pertanyaan anak-anak itu, terutama jika yang ditanyakan adalah hal-hal yang substansial.
Mungkin, pernyataan entrepreneur muda seperti Muhammad Assad perlu disampaikan kepada remaja masa kini. Berteman silakan dengan siapa saja. Tetapi bergaul harus dengan yang bisa menjamin masa depan kita (dunia-akhirat).
Silakan pegang smartphone tapi Al-Qur’an harus selalu dibaca, ditadabburi, dan diamalkan. Silakan berselancar ria untuk menambah wawasan di internet, tetapi sholat jangan pernah ditinggalkan. Silakan berkunjung kemana-mana, tetapi masjid harus menjadi yang favorit. Seandainya ini menjadi tradisi remaja kita, Insya Allah kemampuan berpikir mereka akan sangat luar biasa.
Latihan
Namun demikian menghidupkan tradisi berpikir itu tidak mudah. Jangankan kepada remaja, orang dewasa saja butuh waktu. Tetapi, kita bisa mengembangkan metode bagaimana mendidik akhlak dan moral mereka dengan memerintahkan mereka untuk biasa bertanya, terutama dalam pergaulan mereka sehari-hari bersama temannya.
“Nak kalau ada temanmu ngajak pergi, tanyakan padanya, “Pergi kemana, untuk apa, dan apakah ini diridhoi Allah atau tidak? Jadi jangan asal ikut, pastikan itu baik bagi kamu dan Allah ridho ya nak.” Sepertinya sederhana, tetapi tidak ada yang luar biasa yang tak berawal dari hal sederhana. Dengan begitu anak tidak mudah ikut-ikutan.
Kemudian, ajak mereka untuk segera meningkatkan level belajarnya. Misalnya, “Nak, Alhamdulillah kamu sudah bisa mengaji. Sekarang saatnya kamu pelajari terjemahan apa yang sudah bisa kamu baca dari Al-Qur’an, sehingga kamu bisa lebih memahami makna dan kandungannya.”
Tentu masih bisa dikembangkan pada aspek lainnya. Prinsipnya, mari ajari remaja dan generasi muda kita untuk bisa berpikir, sebagaimana remaja dan pemuda berpikir di zaman Rasulullah. Jika, kehebatan itu pernah tampil di pentas sejarah dunia, bukan mustahil kita mengikutinya. Wallahu a’lam.*
Penulis aktiv menulis di berbagai media massa