Kamis, 13 Juni 2005
Oleh: Asiandi *)
Pro dan kontra seputar legalisasi aborsi yang hendak di atur dalam RUU Kesehatan mengemuka beberapa waktu terakhir. Pihak yang pro terhadap upaya legalisasi (mengatur melalui sistem hukum) berpendapat bahwa masalah aborsi adalah masalah kesehatan perempuan yang juga merupakan kesehatan masyarakat.
Sehingga praktik aborsi perlu dilegalkan karena alasan banyak perempuan yang menjadi korban praktik aborsi ilegal, tidak aman, dan tidak bertanggungjawab sebagaimana opini yang dituliskan Kartono Mohamad, dokter dan mantan ketua Ikatan Dokter Indonesia(IDI) pada Harian Kompas (27/8/2005). Sementara di pihak lain –terutama pendapat mayoritas umat Islam—sangat menentang praktik aborsi dengan alasan janin yang ada dalam kandungan seorang ibu sangat mulia.
Seberapa pun kecilnya janin adalah ciptaan Allah yang mulia. Islam melarang pembunuhan hanya karena takut melarat karena Allah yang akan memberikan rezeki. Menurut ajaran Islam setiap janin yang terbentuk adalah rencana Allah, tidak terjadi secara kebetulan dan oleh karena itu Islam menganjurkan untuk tetap mempertahankan kehamilan sampai melahirkan terhadap hubungan di luar nikah sekalipun.
Makna aborsi
Aborsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengguguran kandungan (Moeliono, 1997). Makna aborsi lebih mengarah kepada suatu tindakan yang disengaja untuk mengakhiri kehamilan seorang ibu ketika janin sudah ada tanda-tanda kehidupan dalam rahim.
Kata aborsi dan abortus sering digunakan secara bergantian walaupun sesungguhnya ada perbedaan dari keduanya. Makna abortus sendiri lebih menjelaskan kepada proses terpencarnya embrio (cikal bakal janin) sehingga tidak memungkinkan lagi hidup, sering juga disebut keguguran, atau terhentinya pertumbuhan yang normal.
Pada kenyataannya orang lebih sering menggunakan kata abortus dalam arti keguguran (pengguguran kandungan).
Abortus sendiri terbagi dua yaitu abortus spontan dan abortus provocatus. Abortus spontan sering disebut dengan keguguran. Sedangkan abortus provocatus sendiri terbagi menjadi dua. Pertama, abortus provocatus artificial adalah pengguguran kandungan menggunakan alat-alat medis dengan alasan kehamilan membahayakan dan dapat membawa maut bagi ibu, misalnya karena ibu berpenyakit berat tertentu.
Tindakan abortus ini lebih sering disebut abortus terapeutik, diizinkan menurut ketentuan profesional seorang dokter untuk menyelamatkan ibu yang mengandung. Kedua, abortus provocatus criminalis adalah pengguguran kandungan tanpa alasan medis yang sah dan dilarang oleh hukum. Termasuk dalam abortus jenis ini adalah abortus yang terjadi atas permintaan pihak perempuan kepada seorang dokter untuk menggugurkan kandungannya.
Menurut pengertian tersebut di atas maka sangat jelas upaya untuk melegalkan praktik aborsi (kecuali aborsi terapeutik) adalah melanggar hukum dan tidak dapat dibenarkan demi hukum apapun juga rasionalisasinya. Sehingga alasan Kartono Mohamad (Kompas, 27/8/2005) yang mendukung aborsi dengan pengaturan sistem hukum sangat tidak beralasan, apalagi hanya sekedar untuk mengatasi problema maraknya kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) yang terus menerus terjadi dewasa ini.
Mahkamah Agung Amerika Serikat (US Supreme Court Decision) sendiri sebagai contoh hanya memperkenankan pelaksanaan aborsi untuk menyelamatkan hidup ibu yang disebut sebagai aborsi terapeutik, sedangkan semua aborsi non terapeutik yang sengaja dilakukan digolongkan sebagai abortus criminalis—yang dilarang oleh hukum.
Lalu apakah di negara Indonesia akan melakukan langkah-langkah yang lebih progresif dibanding negara lain untuk melegalkan aborsi? Tentu saja hal ini tidak dapat diterima pun atas alasan hak asasi manusia atau humanisme sekalipun.
Sedangkan dari sudut pandang Islam aborsi—khususnya abortus criminalis—dilarang dengan tegas karena alasan hak asasi manusia itu sendiri. Dalam pandangan Islam permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota tubuhnya adalah setelah melewati 40 hari atau 42 malam.
Berarti suatu tindakan yang dapat membahayakan janin tersebut merupakan tindakan penganiyaan terhadap janin yang sudah mempunyai tanda-tanda kehidupan. Seorang ibu janin, bapaknya, atau dokter atau siapa saja dilarang dan diharamkan menggugurkan kandungan ibu tersebut bila kandungannya telah berumur 40 hari.
Dampak aborsi
Melakukan aborsi apapun alasannya mengandung suatu persoalan yang mengancam kesehatan dan keselamatan seorang ibu. Aborsi dapat menimbulkan risiko terhadap keselamatan secara fisik dan dapat menimbulkan risiko gangguan psikologis.
Menurut Reardon (1990) komplikasi fisik karena aborsi kemungkinan terjadi lebih dari seperlima. Komplikasi yang terjadi dapat berupa komplikasi minor, seperti infeksi ringan, perdarahan, demam, nyeri perut kronis, gangguan saluran pencernaan, perdarahan, muntah dan sensitisasi rhesus (Rh).
Sedangkan komplikasi mayor, dapat berupa infeksi, perdarahan berlebihan, embolisme, perobekan atau perforasi rahim, komplikasi anestesi, kejang, cedera servikal dan syok endotoksik.
Tindakan melegalkan aborsi diyakini bukan merupakan solusi yang baik dalam menanggulangi meningkatnya angka kematian ibu (AKI), sebab akibat dari aborsi itu sendiri amatlah merugikan menurut sudut pandang keamanan dan keselamatan bagi seorang ibu.
Terbukti dari penelitian Reardon terhadap serangkaian 1.182 aborsi yang tercatat di rumah sakit, 27 persen mengalami infeksi bawaan paska aborsi pada hari ketiga atau lebih. Pada wanita paska aborsi yang dilakukan steril akan mengalami kehamilan ektopik (kehamilan di luar kandungan) dua sampai sembilan kali lipat. Dan di AS pada rentang tahun 1970-1983 angka kehamilan ektopik meningkat empat kali lipat dan 12 persen dari kematian ibu disebabkan oleh kehamilan ektopik ini.
Di negara-negara lainnya yang telah melegalisasi praktik aborsi juga menunjukkan adanya peningkatan kehamilan ektopik secara dramatis.
Berdasarkan telaah Reardon terhadap beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa tindakan aborsi juga dapat menyebabkan laserasi dan kerusakan pada serviks (mulut rahim). Kerusakan serviks karena aborsi ini dapat meningkatkan risiko keguguran, kelahiran prematur dan komplikasi persalinan pada kehamilan akhir mencapai 300 – 500 persen.
Risiko reproduksi karena aborsi ini terjadi secara akut khususnya pada wanita yang melakukan aborsi pada trimester pertama.
Morbiditas laten aborsi seperti lahir prematur, komplikasi persalinan dan perkembangan plasenta abnormal dapat mengarahkan kepada terjadinya kecacatan pada bayi baru lahir setiap tahunnya. Lebih berat lagi, menurut Reardon pada wanita yang telah melakukan aborsi 58 persen berisiko meninggal pada kehamilan terakhirnya.
Selain dampak risiko secara fisik, wanita yang melakukan aborsi juga akan mengalami risiko psikologis seperti adanya konflik dalam mengambil keputusan sehingga kesulitan membuat keputusan, bersikap mendua dan ragu-ragu dalam membuat keputusan memilih aborsi, merasa ditekan atau dipaksa, merasa tidak kuasa memutuskan (merasa hanya berhak memilih) dan sebagainya.
Oleh karena itu WHO pada tahun 1970, menyebutkan bahwa wanita yang melakukan aborsi legal cenderung akan mengalami risiko tinggi gangguan kejiwaan paska aborsi (post abortion syndrome). Post abortion syndrome (PAS) merupakan masalah kejiwaan yang terjadi karena adanya sikap mendua dalam melakukan aborsi tetapi terlanjur dilakukan, sehingga akan menggunakan dua mekanisme pertahanan kejiwaan, yaitu represi dan denial (pengingkaran diri).
Sehingga wanita yang mengalami PAS ini akan mengalami perasaan bersalah, merasa harga diri rendah, malu, insomnia dan mimpi-mimpi disertai mimpi buruk, sering melakukan kilas balik, merayakan peristiwa aborsi (anniversary abortions), adanya sikap bermusuhan dan mengarahkan kesalahan pada pria, menjerit, berputusasa dan depresi, dan adanya usaha-usaha bunuh diri. Dilaporkan juga adanya psikosa paska aborsi yang serius, berlangsung lama dan cenderung berulang.
Aborsi bukan penyebab utama
Dampak yang timbul akibat aborsi itu sendiri terbukti lebih membahayakan bagi jiwa seorang ibu dalam waktu singkat atau pun menyusul dikemudian hari. Oleh karena itu justru sangat tidak efektif apabila aborsi dilegalkan pelaksanaan hanya karena alasan untuk mengatasi masalah maraknya praktik ilegal yang mahal dan membahayakan—sebagaimana pembelaan Kartono Mohamad.
Upaya Kartono Mohamad untuk menafikan kemungkinan menggunakan kaidah suatu agama untuk menjadi undang-undang bagi seluruh bangsa juga tidak beralasan. Sebab jika terbukti dapat memberikan kemaslahatan bagi seluruh umat dan dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah tentunya tidak ada alasan apapun yang dapat menolaknya.
Aborsi bukan satu-satunya penyebab yang menimbulkan terjadinya peningkatan angka kematian ibu (AKI) di Indonesia. Penyebab langsung yang mendukung tingginya AKI berturut-turut adalah perdarahan (28 persen), eklampsia (13 persen), aborsi (11 persen), dan sepsis (10 persen). Sedangkan penyebab tidak langsung berupa anemia pada ibu hamil (51 persen) dan anemia pada ibu nifas (45 persen), kekurangan energi kronik (KEK) pada wanita usia subur (17,6 persen), 3 terlambat (3T) yaitu terlambat mengambil keputusan, terlambat ke fasilitas kesehatan, dan terlambat mendapatkan pertolongan.
Dengan demikian maka sistem kesehatan secara keseluruhanlah yang harus dibenahi di kemudian hari dan bukannya menetapkan legalisasi aborsi yang justru tidak efektif bahkan merugikan keselamatan seorang ibu yang mengandung anaknya.
Dengan sendirinya berdasarkan penjelasan yang lebih ilmiah, maka upaya legalisasi aborsi seharusnya ditolak dengan alasan kemanusian dan kesehatan seorang ibu itu sendiri.
Dosen Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Jawa Tengah, Mahasiswa S2 Asia University Taiwan