Oleh: M. Kamil Pasha
PERJALANAN Islam di Indonesia selalu menarik dikaji dan dibahas, seolah tidak pernah ada habisnya. Islam pernah dibungkam zaman Orde Lama dan Orde Baru. Di era Orde Lama, Islam –terutama dalam politik, Islam disingkirkan– karena dianggap penghalang nyata Bung Karno yang terobsesi kekuasaan (akhirnya menjadi Presiden seumur hidup) ditambah lagi adanya Partai Komunis Indonesia (PKI), salah satu pemain utama jargon Nasional Agama Komunis (NASAKOM), yang nyata menjadi musuh Islam, bahkan ikut membungkam organisasi pelajar dan mahasiswa Islam. Organisasi seperti HMI dan PII pernah jadi korban, ditekan habis, para aktivisnya tidak bisa dengan tenang menjalankan roda organisasi karena ancaman rezim dan organisasi underbouw PKI.
Ulama, para kiai dan aktivia Islam yang dianggap menentang jargon NASAKOM pun dipenjarakan tanpa pengadilan meskipun begitu setelah kejatuhan Orde Lama, Islam politik memaafkan kesalahan Orde Lama yang disimbolkan Buya Hamka mengimami shalat jenazah Bung Karno yang pernah memenjarakan dan berkalu zalim padanyaa.
Zaman Orde Baru, harapan bangkitnya Islam politik sempat muncul, namun akhirnya pupus setelah adanya penggabungan paksa, partai-partai Islam yang ada difusikan menjadi satu partai saja yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Orde baru dengan The Centre for Strategic and International Studies (CSIS) sebagai think tanknya, mulai membuka keran investasi asing dan mulai melakukan pembangunan ekonomi dalam skala yang tidak pernah dilakukan sebelumnya di Indonesia.
Gerakan-gerakan apapun yang “dianggap” menghambat pembangunan, termasuk Islam politik- pasti dilibas, yang paling terkenal adalah tragedi Tanjung Priok (ditengarai 400 umat Islam tewas dibantai termasuk tewasnya tokoh Islam setempat Ustadz Amir Biki). Sampai saat ini jejak mereka hilang tidak jelas, semua aparat serentak tutup mulut. Akibat musibah ini, pengajian-pengajian gerakan Islam pada jaman Orde Baru juga harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi, ceramah dan khotbah diawasi materinya.
Namun pada era akhir 80-an atau awal 90-an, setelah kejatuhan Jenderal LB Moerdani, Orde Baru lebih dekat dengan Islam. BJ. Habibie seorang intelektual Muslim dengan Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI) menjadi pengganti think tank baru bagi Orde Baru. Presiden Soeharto menyetujui pendirian Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama (walaupun saat itu masih disebut bank bagi hasil) disusul dengan berdirinya Asuransi Takaful sebagai asuransi syariah pertama. Masjid-masjid dibangun diseluruh penjuru tanah air, acara pengajian dan keagamaan marak diaiarkan di televisi, namun yang paling monumental adalah Pak Harto, Ibu Tien sekeluarga berangkat ke Kota Makkah naik haji. Nama Pak Harto ditambahkan dengan Muhammad menjadi Haji Muhammad Soeharto dan nama Ibu Tien ditambahkan dengan Siti menjadi Hajjah Siti Hartienah Soeharto.
Kisah ini menjadi tonggak perubahan, dari yang pada masa awal Orde Baru jauh dari Islam, menjadi Orde Baru yang dekat dengan Islam sampai dengan kejatuhannya.
Fenomena ini pernah diulas Harian Kompas 30 September 1992 dalam rubkri ‘pojok’ dengan ungkapan “ijo loyo-loyo” plesetan “ijo royo-royo”. Plesetan ini banyak membuat orang Muslim tersinggung.
Hari ini, umat Islam telah “dengan sengaja lupa” atau lebih tepatnya memaafkan Bung Karno dan Pak Harto atas kebijakan mereka di masa lalu yang pernah mendiskreditkan umat Islam dan sebaliknya mengingat jasa-jasa mereka.
Bahkan “seolah” umat Islam mencari tumbal lain supaya tidak menyalahkan Bung Karno dan Pak Harto, antara lain ideologi komunis PKI yang menggerogoti rezim Orde Lama dan korupsi yang menghancurkan rezim Orde Baru, meskipun tidak 100% tepat jika dikatakan sebagai tumbal karena baik PKI dan korupsi, keduanya adalah benar fakta yang terjadi di Indonesia.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat sejarah para pendahulunya, “never leave history“, kata Bung Karno.
Mengambil ibrah dan hikmah dari perjalanan Orde Lama, Orde Baru, atau Orde Informasi, umat Islam di Indonesia terbukti sebagai umat yang pemaaf dan mudah melupakan kesalahan orang lain, serta cenderung mengingat jasa dan kebaikkan pihak lain atas dirinya.
Persoalannya bukan itu, yang perlu ditanyakan adalah apakah kekuasaan yang ada di negeri ini, baik yang nampak maupun yang di belakang layar, pada masa sekarang atau masa yang akan datang, mau mengakui kesalahan dan mendekat kepada umat yang pemaaf ini? Atau terpaksa menunggu dimaafkan ketika ulama sedang berdiri di hadapannya sebagai imam shalat jenazah. Wallahualam.*
Penulis adalah pengacara