Oleh: Indramayu, S.H
Hidayatullah.com | PADA 4 Januari 2022, Presiden Joko Widodo membuat pernyataan terkait Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) melalui Youtube Sekretariat Presiden. Di video tersebut, Presiden Joko Widodo mengamanatkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk segera melakukan koordinasi dan konsultasi dengan DPR agar pengesahan RUU Tindak Pidana Kejahatan Seksual (TPKS) dapat dipercepat.
Selain itu, Presiden Joko Widodo juga memerintahkan Gugus Tugas Pemerintah yang menangani RUU TPKS untuk segera menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terhadap draf RUU yang sedang disiapkan oleh DPR. Namun, nampaknya langkah Presiden Joko Widodo yang diapresiasi banyak kalangan tersebut perlu ditinjau kembali, pasalnya sejak RUU Tindak Pidana Kejahatan Seksual (TPKS) diusung di tahun 2016 (baca: RUU PKS) selalu menimbulkan perdebatan masyarakat dari berbagai kalangan dan daerah di Indonesia.
Sampai hari ini perdebatan tersebut masih berlangsung, hal ini disebabkan oleh substansi yang diatur dalam RUU TPKS secara filosofis memberikan celah bagi kebebasan dan penyimpangan seksual di Indonesia. Pasalnya konsep kekerasan seksual yang ada dalam RUU TPKS hanya memerlukan paksaan atau ketiadaan persetujuan dari salah satu pihak sebagai unsur utama dalam menjustifikasi kejahatan yang berkaitan dengan aktivitas seksual.
Jika Presiden Joko Widodo belum mengetahui, upaya penolakan dan diskusi terkait RUU TPKS ini telah dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat melalui diskusi publik, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), aksi simbolik, konten media sosial, dst. Berbagai kalangan juga telah menyampaikan pendapatnya dari praktisi, akademisi, hingga mahasiswa telah bersuara.
Aliansi Cerahkan Negeri bersama dengan Satgas RUU Tindak Pidana Kejahatan Seksual (TPKS) KAMMI juga telah merumuskan DIM RUU TPKS guna membantu DPR untuk menguraikan permasalahan substantif dalam RUU TPKS yang kami anggap bertentangan dengan Pancasila serta nilai-nilai berdasarkan agama dan moral yang selama ini menjadi pedoman hidup dalam bermasyarakat.
Meskipun RUU Tindak Pidana Kejahatan Seksual (TPKS) kerap mengalami revisi, namun berdasarkan draft RUU TPKS per tanggal 8 Desember 2021, ACN dan Satgas RUU PKS KAMMI tidak menganggap RUU TPKS mengalami kemajuan substantif, karena dalam upaya mengakomodasi sederet kritik dan masukan tentang masalah ambiguitas frasa dalam sejumlah pasal, konsep konsensus seksual yang menjadi nafas dari RUU PKS, konsep relasi kuasa/gender sebagai satu-satunya penyebab terjadinya kekerasan seksual, jenis tindak pidana kekerasan seksual yang tidak mengakomodasi permasalah seksualitas di Indonesia, unsur-unsur pembentuk dalam tindak pidana kekerasan seksual, penentuan alat bukti, definisi saksi, jumlah hukuman pidana yang tidak adil, hingga penolakan intervensi terhadap integritas para penegak hukum, Baleg DPR tidak kunjung menindaklanjuti masukan dan kritik tersebut.
Baleg DPR hanya mengurangi jenis tindak pidana kekerasan seksual, menghapuskan relasi kuasa/gender sebagai satu-satunya penyebab terjadinya kekerasan seksual, serta menambahkan beberapa poin yang berkaitan dengan penanganan korban kekerasan seksual. Hal ini menunjukkan Tim Panja RUU Tindak Pidana Kejahatan Seksual (TPKS) di Baleg DPR mengabaikan poin krusial yang memberikan ruang bagi kebebasan dan penyimpangan seksual yang selalu disampaikan oleh banyak pakar dalam setiap kesempatan melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), diskusi publik dan DIM RUU TPKS yang telah kami sampaikan.
Ketika menyoal permasalahan seksualitas di Indonesia, kurang tepat jika pemerintah hanya merujuk kepada Catatan Tahunan Komnas Perempuan, karena permasalahan seksualitas tidak hanya terbatas pada permasalahan perempuan, tetapi juga permasalahan lingkungan sosial dan moralitas. Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia” yang berdasarkan kepada Pancasila.
Dalam konteks permasalahan seksualitas hendaknya data yang menjadi basis landasan empiris RUU ini menggunakan data permasalahan seksualitas lain, misalnya mengenai penyimpangan seksual, seks bebas dan lain sebagainya. Dengan demikian akan menemukan permasalahan seksualitas di Indonesia yang seutuhnya guna merumuskan materi RUU ini secara komprehensif.
Memang menjadi suatu keharusan pemerintah untuk memberantas kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, namun masalah kekerasan seksual adalah sebagian kecil dari permasalahan kejahatan seksual, malah dengan adanya RUU TPKS justru akan menambah permasalahan kejahatan seksual.
Kasus-kasus pelecehan dan kejahatan seksual yang kerap terjadi akhir-akhir ini di institusi pendidikan dan keluarga menjadi fenomena yang sangat mengkhawatirkan. Kami yakin bahwa masyarakat juga setuju untuk menindak para pelaku perbuatan keji tersebut dengan hukuman yang seberat-beratnya. Namun, akar permasalahan yang menimbulkan kejahatan seksual tersebut tidak menjadi sentral masalah dalam RUU Tindak Pidana Kejahatan Seksual (TPKS).
Seks bebas, pornografi, penyimpangan seksual yang menjadi sebab keruntuhan rumah tangga dan keluarga diabaikan dalam RUU tersebut, padahal jika individu-individu dalam keluarga tersebut rusak akan menimbulkan kerusakan di keluarganya yang kemudian berdampak pada masyarakat dan keluarga masa depan individu tersebut.
Sebagai contoh kasus NW yang bunuh diri akibat dipaksa melakukan aborsi oleh kekasihnya. Belajar dari kasus tersebut, selain hanya berfokus pada penanganan korban dan menindak pelaku seberat-beratnya, saya pikir perlu juga mengkaji apa yang menjadi sebab terjadinya pemaksaan aborsi tersebut. Tentu saja bukan untuk menghakimi dan mengkriminalisasi korban, melainkan untuk mencegah orang lain mengalami kejadian serupa.
Kemudian kasus pelecehan seksual berkedok penelitian oleh salah satu mahasiswa PTN di Surabaya yang dikenal dengan kasus “Kain Jarik”. Pelaku melakukan pelecehan seksual tersebut karena pelaku memiliki perilaku menyimpang yakni fetish. Namun, seakan-akan yang dilihat hanya pelecehan seksual yang disebabkan oleh ketiadaan persetujuan dari para korban saja. Penyimpangan seksualnya diabaikan sehingga pelaku masih mungkin melakukan hal yang sama jika bebas dari hukuman.
Sangat disayangkan, kita semua selalu sepakat dalam menuntut hukuman seberat-beratnya bagi pelaku dan perlindungan bagi korban. Namun dalam menguraikan permasalahan yang menjadi sebab kekerasan seksual kita tak kunjung menemukan titik temu tersebab beberapa pihak menganggap penyimpangan seksual dan aktivitas seksual berdasarkan persetujuan sebagai hak privat yang tidak boleh diatur oleh negara. Padahal banyak sekali hal privat yang diatur oleh negara.
Peristiwa tersebut harusnya menjadi evaluasi bahwa materi muatan dalam RUU Tindak Pidana Kejahatan Seksual (TPKS) juga hendaknya memberantas penyebab utama terjadinya kekerasan seksual dan kejahatan seksual, sehingga menghasilkan payung hukum yang komprehensif. Banyak pihak mengatakan bahwa RUU TPKS ini fokus dan hanya mengatur kekerasan seksual saja.
Atas argumen tersebut, saya mengutip pernyataan Prof. Mudzakkir, Guru Besar Hukum Pidana UII, apabila pengaturan kekerasan seksual dibiarkan terpisah atau berdiri sendiri di luar pengaturan kejahatan seksual dan penyimpangan seksual, maka hal itu dapat menimbulkan potensi membuka peluang bagi maraknya kebebasan seksual, apalagi di Indonesia tidak ada hukum yang mengatur kebebasan dan penyimpangan seksual.
Di kondisi seperti ini, semangat yang dibangun hendaknya bukan untuk segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Kejahatan Seksual (TPKS) secara formal, melainkan semangat agar substansi RUU TPKS sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia yang selama ini sudah menjadi pedoman hidup masyarakat. Pemangku jabatan dan kekuasaan harusnya tidak hanya mengakomodasi kritik dan saran dari pihak-pihak yang pro terhadap RUU TPKS, tetapi juga harus membuka ruang akan masukan-masukan pihak-pihak yang kontra terhadap substansi RUU TPKS yang ada saat ini.
Presiden memiliki kedudukan yang paling strategis dan politis, sehingga hendaknya menjadi penengah terhadap pertentangan yang sedang terjadi di masyarakat, bukan hanya mendorong dari satu pihak saja. Namun, sekali lagi kami sampaikan, kami masih meyakini bahwa bapak Presiden RI dan DPR RI menolak kebebasan seksual dan kami berharap penolakan tersebut dimuat dalam RUU TPKS.*
Ketua Aliansi Cerahkan Negeri