Oleh: Syamsuddin Arif
TULISAN ini tidak bermaksud menggurui, apalagi menghakimi. Tatkala menyaksikan drama penangkapan terduga teroris di televisi dan mengikuti liputannya di berbagai media, tentu timbul berbagai pertanyaan dalam benak pikiran kita. Maka sudah sewajarnya kita teliti lagi konsep dan manifestasi terorisme serta praktek penanggulangannya secara rasional (bukan emosional), adil (bukan se-‘enake dhewe’), manusiawi (mengacu pada sila kemanusiaan yang beradab) dan indonesiawi (sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa). Amma ba‘du:
Masalah Definisi
Terror artinya takut. Dalam bahasa Inggris, ‘terrorize’ berarti menakuti-nakuti, mengancam orang lain supaya takut. Namun, seperti kata Wittgenstein, makna suatu kata ditentukan oleh pemakaian (“Let the use of a word teach you its meaning”), bukan oleh kamus. Orang tua yang menakut-nakuti anaknya tidak disebut ‘terrorist’. Begitu pula sekelompok remaja yang mengancam teman sekolahnya dengan senjata tajam tidak disebut teroris. Lalu, bagaimana dengan aparat bersenjata yang mengancam warga sipil tak berdaya, atau pejabat yang menekan wartawan dengan ancaman bunuh, misalnya, apakah mereka teroris? Di sinilah letak persoalannya.
Jika siapapun yang memakai kata itu bisa dan boleh menentukan sendiri maksudnya, maka terjadilah kekacauan, kezaliman, penindasan, penganiayaan terhadap orang lain akibat penyalah-gunaan istilah (misuse of the term). Apakah orang itu disebut teroris karena: (i) tindakannya, (ii) karena motivasinya, (iii) karena afiliasinya, atau (iv) hanya karena namanya?
Kalau terorisme adalah aksi kekerasan seperti memukul, menyiksa, menyakiti, melukai, dan membunuh, maka siapapun yang terbukti melakukannya –kapan dan dimanapun– patut disebut teroris. Maka preman, copet, algojo penjara hingga tentara pun akan disebut teroris. Kalau terorisme adalah aksi kekerasan yang bermotif politik (any form of politically-motivated violence), dan kalau politik dimaknai sebagai urusan kekuasaan dan penguasaan dengan cara apapun, maka siapapun yang melakukan kekerasan terhadap orang lain demi kepentingan politik apapun adalah teroris. Kalau terorisme adalah aksi kekerasan yang dilakukan oleh orang dari kelompok A dan B saja, maka para pelaku kekerasan dengan motif politik dari kelompok lain atau dari satuan, organisasi, atau aparat negara tidak dianggap teroris.
Padahal kita semua tahu bahwa banyak kekerasan terhadap rakyat dilakukan justru oleh aparat kepolisian atau militer –fenomena yang disebut dengan ‘terorisme negara’ (state terrorism). Contohnya aksi penangkapan, penembakan, penculikan, penyiksaan, pembunuhan yang dilakukan oleh aparat negara di Russia zaman Stalin, di Jerman zaman Hitler, atau di Aceh zaman Orde Baru. Inilah yang dinamakan “terrorism from above” yang dikontraskan dengan “terrorism from below”. Dan tentunya yang paling kita sesali apabila orang disebut teroris lantaran namanya atau penampilannya.
‘Terorisme negara’ berupa tindakan kekerasan oleh oknum pemerintah terhadap warganya (terrorism perpetrated by governments against their own citizens) memang baru sekitar satu dasawarsa belakangan ini ramai dibicarakan. Di antara referensi pentingnya adalah buku berjudul Contemporary State Terrorism: Theory and Practice (London: Routledge, 2010) yang disunting oleh Richard Jackson dan kawan-kawan. Berbeda dengan terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok separatis seperti di Irlandia (IRA) atau Kurdistan, terorisme oleh negara jelas lebih sistematis, lebih terencana dan lebih ‘awet’ karena sumber dana maupun senjatanya nyaris tak terbatas. Namun, korbannya seringkali sama, yaitu orang-orang yang belum tentu bersalah. Mereka menjadi korban keganasan aparat negara semata-mata karena ‘kemungkinan’, ‘dicurigai’, ‘diduga’, ‘disangka’, ‘dianggap’, ‘dituduh’ atau ‘dicap’ teroris lantaran tidak sependapat, tidak sealiran, tidak mendukung atau ‘dijuluki’ pemberontak, anti-pemerintah, dan sebagainya.
Meminjam ungkapan Hoffman (Inside Terrorism, 1998, hlm. 31): “terrorism is a pejorative word that is generally applied to one’s enemies and opponents, or to those with whom one disagrees”.
Di panggung sejarah modern, terorisme oleh negara yang paling mengerikan, sadis, dan sangat tidak manusiawi terjadi pada zaman Revolusi Prancis. Periode yang dikenal sebagai ‘Pemerintahan Teror’ itu merupakan masa penuh kekerasan selama 11 bulan, dimana orang-orang yang tidak mendukung revolusi (penggulingan raja) dipenggal lehernya dengan pisau raksasa (guillotine) di depan khalayak ramai. Korban ‘teror resmi’ ini termasuk Louis XVI (Raja Perancis), Marie Antoinette, Girondin, Louis Philippe II, Madame Roland, serta sejumlah tokoh lain, seperti saintis terkenal Antoine Lavoisier (‘bapak kimia modern’).
Pemerintahan Teror itu bermula pada tanggal 5 September 1793. Kekerasan berlangsung semakin kentara pada bulan Juni dan Juli 1794, pada suatu masa yang dikenal sebagai ‘La Grande Terreur’, yang berakhir pada tanggal 27 Juli 1794, ketika beberapa pimpinan penting Pemerintahan Teror justru akhirnya dihukum mati, termasuk Louis Antoine Léon de Saint-Just dan Maximilien Marie Isidore de Robespierre. Terorisme pemerintah ini telah merenggut nyawa manusia sebanyak 18.500-40.000 jiwa (Lihat: Jean-Clément Martin, La Terreur, part maudite de la Révolution, Paris: Découvertes/Gallimard, 2010).
Namun, menariknya, orang-orang yang sama bisa disebut ‘teroris’ dan ‘pahlawan’ tergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Bagi pemerintah Inggris, misalnya, para pelaku pemboman untuk membunuh Margaret Thatcher (Perdana Menteri) itu adalah teroris, sementara menurut sebagian penduduk Irlandia mereka itu adalah pahlawan. Begitu juga orang-orang Sikh yang melakukan tindakan kekerasan di Kanada dan Inggris dipandang teroris oleh pemerintah, akan tetapi disebut sebagai pahlawan oleh para pendukungnya. Contoh lainnya adalah aksi kekerasan yang dilakukan oleh pasukan bersenjata Israel terhadap penduduk Palestina yang juga membalas dengan kekerasan sekenanya. Masing-masing mencap yang lain sebagai teroris dan menyebut diri mereka sendiri sebagai pejuang dan pembela Tanah Air. Sebagaimana dikatakan orang Inggris: ‘One man’s terrorist is another man’s patriot’. Sebelum republik ini berdiri, Jenderal Sudirman dan Gatot Subroto dianggap teroris oleh pemerintah kolonial, sementara di mata rakyat waktu itu mereka adalah pahlawan pejuang kemerdekaan (freedom fighters). Ini sama halnya dengan George Washington dan kawan-kawannya yang dianggap sebagai pembangkang, pemberontak dan sebagainya oleh Kerajaan Inggris, tetapi dihargai sebagai pahlawan pendiri negara Amerika Serikat. *(BERSAMBUNG), menyoal justifikasi…
Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) Jakarta