Hidayatullah.com–Puisi ini memang membakar. ‘’Masjid barak kami, kubahnya helm kami, menaranya bayonet kami, umat serdadu kami…’’ Karena membacakan puisinya ini, Desember 1997, Walikota Istambul, Recep Tayyip Erdogan, ditangkap tentara, lalu divonis 10 bulan oleh pengadilan. Aktivis Islam itu dipecat sebagai Walikota, bahkah sempat menjalani hukuman 4 bulan penjara di tahun 1999. Tapi kemudian partainya memenangkan Pemilu dan Erdogan menjadi Perdana Menteri Turki.
Kini di Swiss atau Switzerland, negeri kecil di Eropa Barat, puisi Erdogan dijadikan salah satu bukti bahwa menara masjid adalah entitas politik. Di dalam berbagai debat televisi, Ulrich Schluer, anggota parlemen dan salah satu ketua dari partai sayap kanan SVP mengatakan bahwa dari puisi Erdogan itu jelas menara adalah simbol nafsu politik untuk berkuasa serta menjalankan hukum syariah. ‘’Menara masjid tak ada hubungan dengan agama. Itu adalah simbol bahwa di suatu tempat hukum Islam sudah ditegakkan,’’ katanya di sebuah televisi setempat.
Kampanye anti-menara masjid pun meluas di negeri jam tangan Rolex itu. Dengan Partai SVP sebagai penggerak utama, berbagai tempat umum diramaikan poster atau billboard yang menggambarkan seorang wanita mengenakan burqa warna hitam. Di latar belakang terlihat 7 menara masjid mirip rudal menghunjam dan menembus bendera nasional Swiss yang berwarna merah dihiasi tanda salib.
Poster seperti itu tentu menghasut dan memancing kemarahan orang Swiss terhadap menara masjid dan Islam. Pemerintah kota di Basel, Lausanne, dan Fribourg, sempat melarang pemasangan poster atau billboard itu sebab dianggap rasis, menghina, dan membahayakan citra Islam. Tapi di kota dan daerah lain, poster itu terpampang di mana-mana di tempat umum. Poster lain, bergambar domba putih menanduk domba hitam dengan bendera Swiss. Di internet ada game yang mengasah kemahiran orang menembaki menara masjid.
Semua atribut tadi memang ingin mengingatkan rakyat bahwa Islam mengancam mereka. Televisi tiap pagi menyiarkan acara mendiskusikan Islam, tapi terutama dengan angle Islam sebagai ancaman terorisme dan ekstremisme.
Hasil kampanye itu segera terlihat. Referendum nasional yang dilakukan Minggu, 29 November lalu, dimenangkan proposal yang melarang pembangunan menara masjid di negeri itu. Sebanyak 57,5% suara mendukung pelarangan tersebut. Dukungan juga dimenangkan oleh 22 dari 26 canton (daerah otonomi). Hasil referendum ini akan ditulis di dalam konstitusi, karena itu kemenangan baru dianggap sah dengan perolehan mayoritas suara pemilih dan suara canton. Maka dengan hasil referendum itu, sekarang Swiss menjadi satu-satunya negara di dunia yang mencantumkan larangan membangun menara masjid di dalam konstitusinya.
Terdapat sekitar 400.000 Muslim di antara 7,5 juta penduduk negeri itu. Dengan demikian Islam menjadi agama kedua paling banyak dianut penduduk setelah Kristen. Mereka umumnya imigran dari Turki dan bekas Yugoslavia (terutama Kosovo). Sebagaimana halnya negeri di Eropa Barat lainnya, pertumbuhan penduduk Muslim di sana terbilang cepat. Di tahun 1980, misalnya, baru terdapat 50.000 Muslim yang tinggal di kota seperti Geneva dan Basel.
Karena pertumbuhan jumlahnya yang cepat maka kebutuhan tempat ibadah pun meningkat. Bekas pabrik, gudang, atau bekas lapangan parkir dijadikan tempat ibadah. Di ibu kota Berne, misalnya, masjid terbesar adalah bekas parkir mobil bawah tanah.
Sejauh ini dari sekitar 150 tempat ibadah yang ada, baru terdapat 4 masjid yang memiliki menara: di Zurich, Geneva, Winterthur, dan Wangen bei Olten. Tapi tak satu pun dari masjid itu mengumandangkan azan pada saat datang waktu shalat. Kendati konstitusi melarang, menara di 4 masjid ini tetap diperbolehkan karena ia telah lebih dulu ada sebelum referendum.
Xenofobia
Sebagai negara sekuler, konstitusi Swiss mencantumkan kebebasan beragama dan semua agama bisa berkembang. Namun sebagaimana negara Eropa Barat lainnya, Swiss pun tampak khawatir akan serbuan imigran Muslim, terutama dari Turki dan bekas Yugoslavia.
‘’Para penggagas pelarangan menara masjid itu berhasil menciptakan hubungan dan integrasi sosial penduduk Muslim dengan penduduk lainnya menjadi buruk. Kami khawatir situasi seperti ini menumbuhkan semangat anti-Islam, menyebabkan penduduk Muslim menjadi tak merasa aman,’’ kata Taner Hatipoglu, Ketua Federasi Organisasi Islam di Zurich, Switzerland.
Di berbagai negara lain, sebenarnya terjadi gejala serupa. Prancis membuat peraturan yang antara lain melarang siswa berjilbab di sekolah. Dan itu oleh pemerintah dianggap tak melanggar hak azasi warga (untuk memakai jilbab karena keyakinannya). Di Cologne, Jerman, pembangunan menara masjid menimbulkan protes dari masyarakat dan pimpinan umat Katolik setempat. Secara sporadis, terjadi protes dalam pembangunan masjid di Swedia, Prancis, Italia, Austria, Yunani, Jerman, dan Slovenia.
Insiden pertama di Swiss bermula dari rencana pembangunan menara masjid setinggi 6 meter di Pusat Kebudayaan Turki di Wangen bei Olten pada 2005. Warga setempat keberatan pada rencana itu dan membentuk kelompok untuk menantangnya. Sejak itu terjadi pro dan kontra. Tapi setelah pertarungan panjang melalui birokrasi tingkat bawah sampai atas, dan kemudian berlanjut ke pengadilan, akhirnya Mahkamah Agung mengizinkan pembangunan menara. Setelah makan waktu 4 tahun, Juli 2009, menara itu berhasil didirikan.
Menara itu merupakan ke-4 di Swiss. Tapi tampaknya itulah menara terakhir. Kasus itu rupanya dilihat oleh Partai SVP (Swiss People’s Party atau Partai Rakyat Swiss) sebagai peluang politik. Bersama sebuah partai Kristen kecil, SVP memanfaatkan isu menara di Wangen bei Olten untuk membangkitkan sentimen anti-asing (xenofobia) dan sikap rasis yang rupanya sangat potensial di tengah masyarakat.
Sejak itu, SVP menggerakkan kampanye. Mereka membentuk panitia guna mempengaruhi rakyat agar keberatan atas pembangunan menara masjid. Target mereka adalah mengumpulkan 100.000 tandatangan sebagai pengusul referendum pelarangan pembangunan menara masjid.
Menurut undang-undang di sana referendum bisa dilakukan secara nasional bila diusulkan sedikitnya 100.000 penduduk dalam tempo paling lama 18 bulan. Dan ternyata SVP berhasil mengumpulkan 113.000 tandatangan. Itu sebabnya referendum pelarangan menara masjid dilaksanakan 29 November lalu.
Daniel Bolomey, pimpinan Amnesty International di Swiss, mengatakan para penggagas mengklaim gerakan mereka untuk mempertahankan Switzerland dari serbuan Islamisasi. ‘’Tapi nyatanya yang mereka lakukan adalah mendiskreditkan dan memfitnah orang Islam,’’ kata Bolomey kepada kantor berita AFP. Pimpinan LSM pendukung HAM itu melihat kekhawatiran masyarakat pada perkembangan Islam dan xenofobia telah dimanfaatkan SVP untuk kepentingan politis.
Kutukan internasional pada referendum ini pun bermunculan. Sekjen Dewan Eropa Thorbjom Jagland mempertanyakan bagaimana bisa hak-hak fundamental individual yang dilindungi oleh hukum internasional dijadikan subjek referendum. Dia berpendapat, Pengadilan HAM Eropa akan bisa menyatakan Swiss telah melanggar asas kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama, serta melakukan diskriminasi.
Menteri Luar Negeri Prancis Bernard Kouchner menuduh hasil referendum itu sebagai penindasan terhadap agama. ‘’Saya harap Swiss bisa cepat melakukan perbaikan. Apa yang terjadi jelas ekspresi dari sikap tak toleran, dan saya benci sikap tak toleran,’’ kata Kouchner kepada Radio RTL Prancis.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Investigator Khusus untuk Kebebasan Beragama PBB, Asma Jahangir, berpendapat pelarangan pendirian menara masjid itu adalah jelas tindakan diskriminasi terhadap anggota komunitas Muslim di Switzerland. Sementara Sekjen Organisasi Konferensi Islam (OKI) Ekmeleddin Ihsanoglu menyebutkan apa yang terjadi sebagai contoh konkret tumbuhnya hasutan anti-Islam di Eropa oleh kaum politisi ekstrimis, anti-imigran, rasis, xenofobia, yang bertentangan dengan akal sehat dan nilai-nilai internasional.
Clive Church, pengamat politik Swiss dari Kent University, Inggris, melihat apa yang terjadi sebagai pertanda kebangkitan kaum ultra-kanan di negeri yang secara tradisional menganut sistem yang harmoni. Pada Perang Dunia II, misalnya, Swiss menyatakan diri netral. Tapi kemudian ada semacam krisis identitas. Itu bisa dilihat dari kian berkibarnya partai ultra-kanan SVP sejak tahun 1980-an. Partai yang mengusung isu rasis, dan paling gencar berkampanye anti-imigran, sekarang merupakan partai terbesar di Swiss.
Kampanye Partai SVP untuk melarang menara masjid mendapat angin segar oleh insiden penangkapan dua pebisnis warga Swiss di Libya sebagai ekor penangkapan Hannibal, putra pemimpin Libya, Muammar Khaddafi, oleh polisi di Geneva, 15 Juli 2008. Hannibal berurusan dengan polisi karena dituduh menganiaya dua pembantunya warga Swiss.
Insiden itu menyebabkan hubungan kedua negara berantakan. Libya menutup pelabuhannya sehingga mengancam ekspor minyak ke Swiss. Padahal 90% kebutuhan minyak Swiss dari Libya. Kondisi mereda setelah Hannibal dilepas. Ia sempat mendekam dua hari di sel polisi.
Maka Daniel Warner, pengamat politik dari Graduate Institute di Geneva mengatakan, mulai sekarang turis-turis kaya Arab dari Timur Tengah akan berpikir dua kali mengunjungi Geneva dan kota-kota Swiss lainnya. Selain itu Swiss akan kehilangan identitas sebagai negeri netral sehingga dia, misalnya, tak bisa terlibat mendamaikan konflik Timur Tengah.
Tapi yang terpenting, peristiwa ini menunjukkan betapa sikap rasis dan xenofobia bisa tercantum di dalam konstitusi sebuah negara di Eropa yang selama ini selalu merasa lebih paham dan menggurui kita dalam soal hak azasi manusia, kebebasan atau toleransi beragama.
Keterangan ilustrasi: Menara Masjid Khadijah di Berlin
*)Penulis adalah Direktur Institute For Policy Studies (IPS) dan kolumis hidayatullah.com