Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | TENTU ini bukan badai dalam makna sempit. Badai yang menerjang Partai Demokrat (PD) lebih pada kemelut yang dimunculkan, menggugat kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Badai dalam makna struktural, yang menyelimuti PD ini kasat mata memang sengaja dimunculkan oleh kelompok pendiri dan senior partai. Mereka yang lama tidak terdengar suaranya, itu tiba-tiba bisa berkumpul dan menyatakan keprihatinan pada partai yang sudah lama dilihat sayup-sayup dari kejauhan.
Mendongkel AHY lewat Kongres Luar Biasa (KLB) yang ingin mereka gelar, seolah mendapat momentum. Mereka berkumpul itu tentu ada yang mengondisikan. Bahkan bisa jadi ada sponsornya.
Pak Moeldoko, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), konon pihak yang “menghendaki” PD itu. Pertemuan-pertemuan dengan para senior atau bahkan dengan pendiri partai acap dilakukan. Pak Moel sendiri yang mengistilahkan “ngopi-ngopi” dengan mereka. Tentu istilah ngopi-ngopi tidak sekadar nongkrong-ngobrol tanpa tujuan.
Konon Pak Moel menghendaki PD itu untuk kendaraannya di 2024, dan itu saat Pilpres. Bahkan ia sudah sampaikan ada beberapa partai yang akan berkoalisi mendukungnya untuk maju Pilpres. Digadang-gadang sebagai Cawapresnya antara Cak Imin (PKB), atau Kang Emil (Gubernur Jabar).
Baca: Copot AHY Lewat KLB, Itu Irrealitas Tanpa Pijakan
Kenapa PD Harus Direbut
Susilo Bambang Yudhoyono, dalam hari-hari ini dikuyo-kuyo oleh para pendiri dan senior PD, yang cukup lama tertidur pulas dan tiba-tiba bangun bersamaan buka-bukaan masa lalu SBY, tentu yang disampaikan hal-hal negatif.
Diantaranya, bahwa PD ini bukan didirikan SBY. Ia dilamar untuk memimpin partai PD. Memang itu benar. Tapi logo bintang mercy, itu hasil kreasi Pak SBY, bukannya begitu? Dan PD menjadi besar disebabkan SBY Effect, apa ada yang menyanggah? Apa jika yang dilamar itu, misal Pak Wiranto, apa PD bisa besar, dan bisa mendudukkan Marzuki Alie jadi Ketua DPR-RI?
Membuka hal-hal tidak semestinya, hal-hal negatif, itu tentu tidaklah elok, sembari melupakan sejarah yang baru seumur jagung ditorehkan, bahwa PD ini menjadi partai besar, itu karena nama besar SBY.
Mengorek-ngorek hal negatif yang tampak diada-adakan, itu bukanlah sikap ksatria. Saat bersama dulu apa yang dilakukan SBY dianggapnya baik, lalu kini ramai-ramai mengoreksinya. Sangat kekanak-kanakan, dan, sekali lagi, terkesan mengada-ada.
Baca: Mubahalah dan Etika Politik: Marzuki Alie dan Nasihat Bang Haji Rhoma
Soliditas PD saat ini tengah diuji. Diharap pemilik hak suara untuk bersikap pemihakan pada hasil Kongres V, yang mengangkat AHY sebagai Ketua Umum PD. Jika soliditas itu ada, maka sekuat apa pun badai menerjang, tidak akan mampu menggoyahkannya.
Mereka mau adakan KLB itu dengan cara apa, bersandar pada apa, itu harus jadi perhatian pemerintah. Meluluskan izin KLB tanpa prosedur yang diatur dalam AD/ART PD, itu sama saja pemerintah berharap, atau bahkan bisa dituduh ada di balik kudeta itu sendiri.
SBY tentu tidak akan tinggal diam melihat semua ini. Pidatonya selaku Ketua Majelis Tinggi PD, yang diunggah dalam video, mengisyaratkan secara lantang, bahwa PD tidak akan dijual. Artinya, ia akan pertahankan dengan segenap jiwa raga.
Pilpres masih sekitar tiga tahun lagi, tapi persiapan sudah dimulai sejak dini. Dan melumat PD bisa jadi salah satu bagian dari persiapan itu. Maka analisa bisa dibuat dengan mudah, kenapa PD harus direbut paksa, dan itu kasat mata bisa terbaca. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya