Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | PARA senior dan pendiri Partai Demokrat (PD), tentu tidak semuanya, ngotot minta diadakannya Kongres Luar Biasa (KLB), untuk mencopot Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Memangnya kenapa?
Mengadakan KLB, apa pun organisasinya, termasuk organisasi partai politik, itu tentu diatur dalam aturan AD/ART nya. KLB bisa dilakukan jika aturan dan syarat-syaratnya sudah dipenuhi.
Dalam aturan yang ditetapkan PD, KLB bisa diselenggarakan atau dianggap sah, jika diikuti sedikitnya 2/3 jumlah DPD dan 1/2 jumlah DPC yang ada.
Itu baru satu persyaratan untuk bisa adakan KLB. Tentu ada persyaratan-persyaratan lainnya, yang setiap organisasi/partai politik memiliki persyaratan-persyaratan khusus, yang sekali lagi, itu diatur dalam AD/ART nya. Semua punya aturan dan mekanismenya masing-masing.
Mereka yang menamakan diri para senior atau pendiri PD sekalipun, tidak boleh sekehendak hati untuk meluluskan apa yang diinginkan dengan melanggar aturan partai yang ada. Sebagai senior seharusnya memberi teladan kepatutan, bukan sebaliknya semau gue dan tabrak aturan yang ada.
Para senior dan pendiri PD, mestinya disisa umur yang ada berlaku mengayomi partai yang pernah didirikannya. Menjaga marwah partai dengan sebaik-baiknya. Bukan malah “usia lanjut” dengan syahwat politik yang justru bergelora.
Menggoyang AHY sebagai Ketua Umum PD, memang salahnya apa? Apakah AHY melakukan pelanggaran serius terhadap partai? Atau ditemukan indikasi membawa partai ke jurang kehancuran? Atau apa?
Dalam pernyataan para senior dan pendiri PD, dan itu bisa dilihat dari pernyataan Hengky Luntungan. Sebagai pendiri partai–maaf– pernyataannya tampak “gagap” dan tidak nyambung.
Baca: Mubahalah dan Etika Politik: Marzuki Alie dan Nasihat Bang Haji Rhoma
Terkesan “pokoknya” ganti AHY. Katanya, jika ada dari unsur eksternal yang baik kenapa tidak bisa menggantikan AHY. Dia sebut Pak Moeldoko, lalu Hengky Luntungan mengundat sejarah, bahwa dulu Pak SBY juga kita lamar menjadi Ketua Umum partai. Kenapa sekarang kita mengundang Pak Moeldoko lalu keberatan.
Memang sih benar, bahwa Pak SBY dulu dilamar oleh Hengky Luntungan cs untuk pimpin Partai Demokrat. Itu dulu, dimana aturan masih memungkinkan. Setelah dibuat aturan dan mekanisme lewat kongres-kongresnya, hingga Kongres ke-V, yang memilih AHY sebagai Ketua Umum PD, maka aturan “ugal-ugalan” itu tidak dikenal lagi.
Saat Pak SBY dilamar menjadi Ketua Umum PD, kan tidak banyak yang tahu nama-nama pendiri partai itu. Maka jika boleh pakai rumus “ngundat” sejarah juga, apakah bisa besar PD jika tidak mendaulat Pak SBY jadi Ketua Umumnya?
Partai Demokrat itu cuma sebuah nama saja. Bahkan jika saja namanya saat itu Partai Sontoloyo, akan tetap menjadi partai besar, dan itu karena dipimpin Pak SBY. PD menjadi besar, itu karena SBY Effect, bukan sebaliknya. Memang apa bisa besar PD itu, jika bukan Pak SBY yang pimpin?
Mestinya para senior dan pendiri PD memahami itu. Jangan dibalik seolah Pak SBY besar karena PD. Itu sesat pikir namanya.
Apa Pak Moeldoko di Balik Rencana Kudeta Itu?
Ada juga dari para senior/pendiri yang ingin mengoreksi partai. Menurutnya PD berubah menjadi partai dinasti, dan itu ditandai dengan terpilihnya AHY di Kongres ke-V Partai Demokrat, (15 Maret 2020).
Soal tuduhan sebagai partai dinasti, tentu itu debatable yang mudah dipatahkan. Ketua Umum PD pernah juga dijabat Anas Urbaningrum, yang tidak ada hubungan kekeluargaan dengan Pak SBY. Apa kalau bapaknya pernah jabat sebagai Ketua Umum, lalu anaknya terlarang untuk juga bisa menjadi Ketua Umum?
Adalah hal biasa dan manusiawi, sebuah jabatan yang pernah dijabat seseorang, apa pun jabatan itu, bisa dijabat anak turunannya, jika itu dipilih di forum yang semestinya. Dan di AD/ART hal itu juga tidak dianggap terlarang.
Jangankan cuma jabatan pimpinan partai, bahkan anak presiden pun berhak jadi presiden, asal terpilih secara konstitusional. Hayo…
Ketidaksukaan dan melarang-larang AHY, yang terpilih di Kongres ke-V PD, itu tentu tidak punya dasar pijakan yang bisa diterima. Bukan lalu melakukan hal naif hendak mengkudeta segala. Harusnya saat di kongres itulah ketidaksukaan itu disampaikan.
Bukan lalu mengeleminir keterpilihan AHY, karena jumawa sebagai senior/pendiri partai, lalu menganggap bisa berbuat sesukanya. Tindakan memaksa yang tidak diatur dalam AD/ART itu irrealitas, itu sama dengan upaya kudeta dari dalam.
Benar apa yang dikatakan Pak Moeldoko, bahwa kudeta itu jika ada, itu dari dalam, maksudnya internal partai. Disampaikan saat ia mengelar konferensi pers menanggapi isu kudeta yang menyeret namanya, Senin, (1 Februari).
Tentu orang akan juga bisa berasumsi, bahwa kudeta dari dalam itu juga bisa disulut dari luar. Dan memang Pak Moeldoko sebagai pihak yang menurut temuan PD adalah pihak yang coba mengambil alih partainya lewat KLB.
Temuan itu menemukan, bahwa para “pensiunan” partai yang tidak punya kuasa atas partai digunakan sebagai “pasukan” yang akan membawa partai ini menuju KLB.
Baca: Berkat “Kudeta” Itu, Berkah Bagi Partai Demokrat
Muncul nama-nama mereka yang mengaku senior dan pendiri partai yang selama ini entah kemana, lalu tiba-tiba muncul berlagak sebagai penyelamat partai, menghendaki diadakannya KLB.
Langkah yang dilakukan para senior/pendiri PD dengan mengundang pihak eksternal, Pak Moeldoko, untuk mengambil alih kepemimpinan AHY, tentu itu bukan ujuk-ujuk. Pastinya sudah diperhitungkan, meski harus melawan aturan (AD/ART) partai.
Apakah mungkin KLB itu bisa digelar, itu tergantung dari apakah pemerintah memberi izin pelaksanaannya. Jika izin didapat, maka KLB yang tidak memiliki pijakan itu akan digelar. Lalu siapa pesertanya? Soal peserta bisa dibuat seadanya atau diada-adakan, tentu dibuat khusus untuk mengikuti KLB.
Lalu KLB mengangkat, misal Pak Moeldoko, sebagai Ketua Umum. Dan, jika saja, lalu pemerintah mengakui bahwa yang sah adalah PD dibawah Pak Moeldoko. Maka keberadaan PD dibawah AHY dinyatakan tidak sah, tidak diakui pemerintah.
Dampaknya akan sampai ke Cabang-cabang di seluruh wilayah Indonesia, yang lalu akan diambil alih PD hasil KLB. Maka konstelasi politik di daerah pun akan berkecamuk tidak menentu.
Semua diputuskan oleh sikap bijak pemerintah untuk tidak bermain-main dengan putusan yang akan diambil, dan itu dimulai dengan tidak memberi izin KLB yang tidak berdasar pada AD/ART PD.
Pemerintah diharap menjadi wasit yang adil, tidak ikut bermain dalam persoalan internal sebuah partai. Meski Pak Moeldoko, yang menjabat sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), itu ada dalam lingkaran istana.
Tentu semua akan menanti ujung dari “drama” dengan tema yang tidak diinginkan ini akan berakhir ke mana, dan membawa konsekuensi serius atau tidak. Semua akan dicatat sejarah, dan semuanya akan tersibak pada saatnya… Wallahu a’lam. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya
Rep: Admin Hidcom