Azami melacak sumber-sumber yang digunakan Joseph Schacht, menemukan orientalis ini inkonsisten dalam penggunaan sumber-sumber referensinya
Hidayatullah.com | MUHAMMAD Mustafa Azami, seorang professor di Universitas King Saud, Riyadh, dalam karyanya On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, telah menggugat pemikiran Joseph Schacht (m: 1969). Orientalis kawakan ini adalah murid Bergstrasser dan Snouck Hurgronje, seperti dia ungkapkan dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence (London: Oxford University Press, Amen House, 1950).
Berbagai kesalahan fatal Schacht diungkapkan secara terperinci oleh Azami. Misalnya, Schacht tidak merujuk kepada beberapa literatur lain yang berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan; ia menyalahpahami teks yang dikutip; menyebutkan contoh-contoh yang bertentangan dengan argumentasi yang dikemukakannya sendiri; menyebutkan hal-hal di luar teks dan konteks. Metodologinya memang menggiring kepada kesimpulan yang salah.
Karya Schacht ini telah dipuji oleh beberapa pemikir Orientalis terkemuka lain seperti H.A.R. Gibb dan N.J. Coulson. Karyanya juga cukup mempengaruhi orientalis lain seperti J. Robson, Fitzgerald, J.N.D. Anderson dan C.E. Bosworth. Pengaruh pemikiran Schacht tidak terbatas kepada para Orientalis saja, tapi juga mempunyai dampak yang cukup besar juga kepada pemikir Muslim terkemuka lainnya seperti: Fazlur Rahman dan A.A.A. Fyzee (hlm 1).
Dalam konteks keindonesiaan, pemikiran Rahman dan Fyzee, cukup mewarnai kelompok pemikir Indonesia yang menolak keberadaan syariah. Jadi, implikasi utama dari pemikiran Schacht ialah pengingkaran kepada keberadaan syariah dan juga menyumbang kepada munculnya pemikiran inkar sunnah. Bahkan lebih dari itu, kesimpulan dari karya Schacht ini, adalah mengingkari sunnah Nabi ﷺ. Jadi, Schacht bisa dipandang sebagai orientalis inkar-sunnah.
Schacht menyebutkan secara eksplisit alasan-alasan yang bisa digunakan untuk menjustifikasi pemikiran inkar-sunnah (hlm. 75-76). Selain menjustifikasi telah wujudnya kelompok inkar-sunnah pada zaman Syafii, Schacht bahkan juga menganggap Muktazilah sebagai inkar-sunnah.
Bagi Azami, menganggap muktazilah sebagai kelompok inkar-sunnah sangat keliru karena mereka membangun aliran teologi, bukan aliran hukum. Di antara mereka juga terdapat banyak ahli hadis dan mereka juga menggunakan hadis dalam argumentasi mereka dengan lawan debatnya (hlm. 74).
Isu utama bagi Azami dalam penolakan kritisnya kepada Schacht adalah mengenai konsep sunnah. Bagi Schacht, sunnah adalah “living tradition”, bukan merujuk langsung kepada perilaku Rasullullah ﷺ, tapi kepada praktek-praktek yang ideal dari masyarakat sebagaimana telah diungkapkan dan di terima di dalam mazhab fikih paling awal seperti mazhab Madinah, mazhab Suriah dan mazhab Iraq.
Jadi, bagi Schacht, sunnah adalah konsep yang kemudian dan bagi generasi awal sunnah bermakna tingkah-laku mereka sendiri. Shacht menuduh Syafii dari mazhab Madinah pada abad kedua Hijrah yang mengubah makna sunnah terebut dan kemudian memaknainya dengan makna baru yaitu perilaku Rasullullah ﷺ.
Disebabkan hal ini, Schacht memfokuskan kritikannya kepada Syafii dan menggunakan polemik pemikiran Syafii sebagai referensi utama. Schacht juga memanfaatkan argumentasi lawan debat Syafii sebagai bukti bahwa sunnah itu adalah “living tradition,” bukan perilaku Rasulullah ﷺ.
Sebagai hasilnya Schacht menolak bahwa Rasulullah ﷺ bermaksud membuat sistem baru dalam bidang hukum. Apalagi, tradisi hukum itu muncul pada abad kedua hijrah.
Schacht juga menganggap, mazhab-mazhab fikih yang paling awal ikut menimbulkan munculnya kelompok-kelompok oposisi yang merujuk kepada hadis. Nabi untuk menjustifikasi mazhab dan kelompok mereka.
Akibatnya, menjadi suatu kebiasaan dalam abad kedua dan ketiga Hijrah untuk selalu mengatas-namakan pendapat-pendapat mereka kepada Rasulullah ﷺ. yang mengakibatkan, hampir tidak ada yang otentik dari tradisi hukum dari Rasullullah ﷺ.
Selain itu, sistem periwayatan berantai (isnad) itu juga tidak memiliki nilai sejarah karena sistem tersebut diformulasikan oleh para sarjana yang mengatas-namakan doktrin-doktrin mereka kembali kepada para otoritas sebelumnya.
Menyadari implikasi dari penolakan makna sunnah sebagai perilaku Rasullullah ﷺ, maka Azami melacak, menggali dan membongkar referensi yang digunakan Schacht untuk menyimpulkan bahwa sunnah itu tidak bisa dimaknai sebagai perilaku Rasulullah.
Dalam pelacakannya, Azami menemukan banyak sekali kelemahan-kelemahan pemikiran Schacht. Menurut Azami, sekalipun terdapat beragam makna tentang sunnah, namun makna yang utama adalah merujuk kepada perilaku Rasullullah ﷺ dan makna lain adalah kepanjangan dari makna utama itu. Jadi, memisahkan perilaku Rasullullah ﷺ. dari makna sunnah, sebagaimana pendapat Schacht, adalah pendapat yang sangat keliru.
Azami mencatat, Schacht keliru besar ketika beralasan bahwa mazhab Madinah, mazhab Suriah dan mazhab Iraq juga berpendapat bahwa sunnah itu adalah tradisi yang berlaku pada masyarakat, bukan perilaku Rasulullah ﷺ. Bacaan yang lebih kritis dan lebih komprehensif terhadap Malik, Auza’i, dan Abu Hanifah justru menunjukkan bahwa mereka berpendapat, sunnah itu adalah perilaku Rasulullah ﷺ.
Jadi, Schacht mengambil sebagian saja dari pendapat mereka dan tidak mengambil pendapat yang lain. Bukan sekedar itu, Schacht juga salah memahami apa yang di maksud oleh mereka, padahal mereka sudah menyebutnya secara eksplisit.
Selain itu, mengelompokkan mereka menjadi nama mazhab Madinah, Suriah dan Iraq juga tidak tepat karena menyamaratakan perbedaan internal di dalam masing-masing mazhab. Jadi, lebih tepat untuk menyebut mazhab Maliki, mazhab Auza’i dan mazhab Abu Hanifah.
Dalam kasus “mazhab Madinah” misalnya, Schacht menggunakan sumber-sumber anti-Madinah dan kemudian menyatakan itu pendapat mazhab Madinah. Schacht ketika memformulasikan teorinya, merujuk kepada polemiknya Syafii, tidak juga merujuk kepada sumber-sumber asli pemikiran lawan debat Syafii.
Jadi, Schacht tidak kritis karena referensi yang digunakan tidak merujuk kepada sumber-sumber asli. Schacht juga salah karena menyimpulkan bahwa syariah itu terjadi pada abad kedua Hijrah.
Banyak sekali bukti literatur yang menunjukkan bahwa pada abad pertama Hijrah, sudah banyak sekali para hakim yang di tunjuk untuk mengatur hukum-hukum yang diantaranya telah tertulis. Selain itu, literatur juga menunjukkan bahwa syariah Islam itu sudah dirumuskan pada zaman Rasulullah ﷺ.
Oleh sebab itu, Schacht keliru ketika berpendapat bahwa literatur hadis di susun oleh para sarjana pada abad kedua dan ketiga hijrah untuk menjustifikasi pendapat mereka dengan mengatas-namakan sumbernya kepada Rasulullah ﷺ. Maka, simpul Schacht, tidak ada tradisi hukum dari Nabi ﷺ yang bisa di anggap otentik.
Azami yang melacak kembali sumber-sumber yang digunakan Schacht, menemukan bahwa orientalis ini inkonsisten dalam penggunaan sumber-sumber referensinya. Ia mengambil pendapat sebagian-sebagian saja dari para ulama terdahulu.
Dia juga menyalahpahami maksud mereka. Azami memberikan 24 contoh yang dikemukakan Schacht sendiri dan kemudian menunjukkan secara terperinci kekeliruan pemikiran Schacht. (hlm.122-153).
Mengenai isnad, Schacht tidak menghiraukan pendapat Horovits, sekali pun Schacht juga merujuk kepadanya. Sebaliknya, Schacht merujuk kepada kepada Leone Caetani, padahal Horovits pun sudah mengkritik pendapatnya Caentani. (hlm. 167).
Contoh-contoh yang dikemukakan Schacht sendiri justru menunjukkan bahwa Schacht gegabah dengan kesimpulannya. Misalnya, mengenai hubungan antara Nafi, guru Imam Malik dan Malik sendiri.
Bagi Schacht, dikarenakan Nafi meninggal tahun 117 Hijrah dan Malik meninggal tahun 179 Hijrah, maka Malik yang meriwayatkan hadis dari Nafi, pastilah seorang anak kecil karena tidak diketahui kapan sebenarnya Malik lahir.
Schacht menyebutkan di catatan kaki, bahwa tidak diketahui secara pasti kapan Malik lahir. Pendapat ini keliru karena dari berbagai literatur sejarah tentang biografi Malik, disebutkan bahwa ia lahir tahun 90, 93, 94, atau 97 Hijrah dan tidak ada referensi yang menyebutkan lebih dari tahun 97 Hijrah. Jadi, seandainya pun Malik lahir tahun 97 Hijrah, maka saat Nafi’ meninggal, umur Malik adalah 20 tahun.
Malik di dalam Muwatta’ meriwayatkan hanya 80 hadis. Disebabkan Nafi’ dan Malik hidup bersama di Madinah, dan usia Malik bisa jadi 20, 23, 24, atau 27 tahun, maka sangat keliru untuk mengatakan bahwa Malik tidak belajar dari gurunya Nafi’.
Karya Azami ini sangat baik dibaca oleh pelajar studi keislaman dan kaum Muslim pada umumnya. Karya Azami ini menelanjangi kekeliruan seorang orientalis terkenal di dalam bidang hukum Islam.
Intinya, karya Schacht menolak otentisitas hadis, atau dengan kata lain, Schacht dengan secara “pseudo-ilmiah” telah membangun fondasi inkar-sunnah. Untuk menghadapi usaha-usaha orientalis seperti Scahcht – juga ribuan orientalis dan kaki tangannya – diperlukan usaha intelektual yang serius seperti yang dilakukan Azami.*/Adnin Armas
Judul buku : On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence
Penulis : M. Mustafa al-Azami
Penerbit : Oxford Centre for Islamic Studies, 1996 (237 halaman)