Oleh: Zarnuzi Ghufron*
SELAIN mengatakan bahwa tentang sesat yang tahu hanya Tuhan, kaum Islam liberal-pluralis juga mengatakan bahwa kebenaran adalah relatif. Dengan ini, seolah-olah mereka ingin menyimpulkan: bahwa manusia itu tidak bisa membedakan mana yang sesat dan mana yang benar, karena yang sesat tak dapat diketahui dan yang benar juga tak jelas yang mana. Akibat cara berpikirnya ini, maka tak aneh jika mereka tak pernah khawatir kalau berbuat salah.
Ada sebuah pertanyaan yang yang meski dijawab oleh mereka: jika Tuhan dengan tegas memerintahkan umat manusia untuk menghidari kesesatan karena akan dibalas neraka bagi pelakunya dan Tuhan juga memerintahkan untuk mengikuti kebenaran dengan balasan surga dan neraka bagi yang menolaknya, lalu bagaimana jika kesesatan dan kebenaran itu sendiri tidak bisa dimengerti dan diketahui oleh manusia. Dengan demikian, bagi Allah, perintah tersebut menjadi sia-sia, dan bagi manusia hal itu adalah tanggung jawab yang tidak akan sanggup mereka lakukan (taklif bima la yutoq), karena mereka diberi perintah dan akan diberi sanksi jika melanggar, tapi tak jelas isi perintahnya.
Jika sesat dan kebenaran tak jelas maksudnya, maka bagi manusia keduanya ibarat sebuah nama tanpa ada pemiliknya (al Ismu biduni al musamma) atau sifat tapi tak ada yang disifati (as sifat biduni al mausuf) atau lafadz tak bermakna.
Hal semacam ini sebenarnya bertentangan dengan pernyataan kaum liberal sendiri; bahwa lafadz adalah pertanda dari sebuah realitas atau ma’na dan realitas itu lebih dahulu ada dari lafadznya tsb.
Mencari Kebenaran
Faham relativisme kebenaran adalah bagian dari pluralisme agama yang mengatakan bahwa kebenaran pemahaman tentang Tuhan bagi setiap pemeluk agama adalah relatif, karena mereka sama-sama ingin mencari Tuhan, tapi Tuhan bersifat metafisik dan transendental, hingga akhirnya manusia menjadi beragam dalam memahami Tuhan yang absolut tersebut. Pemahaman manusia ini kemudian diwujudkan dengan nama-nama dan simbol-simbol yang saling berbeda antara pemeluk agama yang satu dengan yang lainnya.
Agama-agama, menurut Fritjhof Schuon, penggagas faham Kesatuan Transenden Agama-agama (transcendent unity of religions) dibagi menjadi dua: tingkat eksoterik (lahiriyah) dan esoterik (batiniyah). Pada tingkat eksoterik agama-agama mempunyai Tuhan, teologi, ajaran yang berbeda. Namun pada tingkat esoterik agama-agama itu menyatu dan memiliki Tuhan yang sama yang abstrak dan tak terbatas.
Dari keterangan di atas dapat kita fahami bahwa kaum pluralis mengangap bahwa akidah semua agama adalah hasil karya manusia, dan pemahaman tentang Tuhan adalah hasil pencarian dan spekulasi manusia sendiri, tidak ada sumber dari Tuhan sendiri yang menjelaskan atau kalau boleh dikatakan manusialah yang menciptakan Tuhan-Tuhan mereka sendiri. Karena setiap agama membuat definisi sendiri-sendiri tentang siapa Tuhan, seperti apa sifat dan nama-Nya, sehinngga wajar jika hasilnya berbeda-beda.
Jika anggapan mereka demikian, maka teori pluralisme agama ini sebenarnya sudah dengan sendirinya tidak berlaku bagi agama Islam, karena asumsi kaum pluralis adalah bahwa pemahaman Tuhan oleh semua agama adalah hasil ciptaan manusia, dan asumsi tersebut ternyata berbeda dengan kenyataan yang ada di dalam agama Islam. Pengetahuan umat Islam tentang Allah, dengan nama-nama-Nya dalam asmaul husna dan segala sifat-Nya adalah bersifat “tauqifiyah”, yaitu dari Allah sendiri yang diperkenalkan ke manusia lewat wahyu yang Dia turunkan kepada para Nabi yang Dia utus, mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad. Bukan ciptaan umat Islam atau Nabi itu sendiri, dan di dalam agama Islam tidak ada lahan spekulasi untuk berkata tentang Tuhan
Oleh karena itu, Allah swt. dalam Al-Quran mengatakan bahwa orang yang berkata tentang Tuhan tanpa ada landasan wahyu adalah orang yang berkata tentang Tuhan tanpa pengetahuan.
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa Kitab (wahyu) yang bercahaya (yang menjelaskan antara yang hak dan yang batil).” (QS, Al Hajj:08)
“Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS, Al Baqoroh:169)
“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: “Allah mempuyai anak”. Maha Suci Allah; Dia-lah yang Maha Kaya; Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?.” (QS, Yunus:68)
Orang yang ingin memahami sesuatu tanpa didasari ilmu pengetahuan maka tiada cara kecuali dengan mengira-ngira, berhipotesa atau bersepekulasi, karena kalau sudah ada ilmu pengetahuan yang meyakinkan pasti tidak perlu bersepekulsi. Dan orang yang meyakini sesuatu dari hasil spekulasi maka sebenarnya dia telah meyakini sesuatu yang dia sendiri sebenarnya tidak yakin dengan hal tersebut. Meyakini sesuatu yang tidak meyakinkan adalah keyakinan problematik, lalu kenapa diyakini?!
Dari masalah ini dapat kita metahui pula tentang pentingnya diuutusnya seorang Rasul sebagai penerima wahyu Tuhan. Keyakinan awal umat manusia adalah sama, bahwa alam dunia ini memiliki sang pencipta, yang menciptakan dan yang mengatur alam dunia ini atau mereka sebut Tuhan. Tapi, manusia tak bisa mengetahui secara pasti tentang siapa itu Tuhan, siapa nama-Nya dan bagaiman sifat-sifat-Nya. Akhirnya mereka saling berspekulasi tentang Tuhan. Dengan ini menjadi pentinglah diutusnya Rasul sebagai utusan Tuhan yang menujukan tentang siapa sebenarnya itu Tuhan, dan segala hal terkait dengan keberadaan-Nya agar manusia tidak terus-menerus bersepekulasi.
Selain itu para Rasul lewat wahyu memberi tahu umat manusia bahwa di balik alam nyata ini ternyata ada alam lain, alam yang sekarang tak mampu diketahui oleh panca indera, tapi hal itu ada dan ternyata mempunyai hubungan dengan manusia, yaitu alam ghaib, seperti malaikat, jin, syaitan, surga, neraka, surga, alam mahsar, hisab. Dari semua hal yang bersifat transendental dan metafisik tersebut semuanya tidak bisa diketahui kecuali dengan informasi yang dapat dipercaya(al khobar as shodiq), yaitu wahyu dari yang Maha Mengetahui (Allah swt.) yang diturunkan kepada orang yang jujur, terpercaya dan terjaga dari kesalahan, yaitu para Rasul. Jika tidak, maka tiada pilihan lain bagi manusia kecuali tidak mengakui adanya yang transenden dan metafisik tersebut atau mengakuinya tapi dengan jalan hipotesa atau spekulasi dan hal ini tidak meyakinkan karena hipotesa tidak bisa dipastikan kebenarannya.
Bukti Kebenaran
Telah kita kita ketahui sebelumnya bahwa pengetahuan umat Islam tentang Tuhan dan yang lain yang bersifat metafisik adalah dari al khobar as shodiq, karena manusia tidak bisa mengetahui secara langsung dengan panca indera. Dan di antara hal yang membuktikan bahwa isi khobar tersebut adalah benar-benar meyakinkan, di antaranya sebagai berikut:
Khobar tersebut. telah diterima dari sekian banyak Rasul yang dapat dipercaya, mulai dari Nabi Adam as. Sampai Nabi Muhammad saw. dan kondisi antar satu Nabi dengan Nabi yang lainnya adalah sangat plural baik dari segi masa, tempat atau negara, tabiat umat mereka, kondisi sosial dan budaya waktu itu, dan lain-lain. tapi khobar tersebut tetap sama isinya. Hal ini bisa terjadi karena yang menurunkan wahyu tersebut adalah satu (Allah swt.) dan yang menerima(para Rasul) orang yang jujur, dan isi sebuah berita, selama tetap asli, berita tersebut tidak terpengaruh oleh kondisi waktu, tempat, sosial, dan kultur sang penerima berita, dan juga bila ada sebuah berita yang dikabarkan kepada semisal “si A”, kemudian diberitakan lagi yang lain semisal ke “si B”, tapi isinya ternyata berbeda, berarti ada salah satu dari keduanya yang dibohongi. Dan mustahil Allah swt berbohong kepada Rasulnya.
Dan sangat mustahil seandainya setiap Nabi dan Rasul berspekulasi secara sendiri-sendiri, tapi mampu menghasilkan hasil spekulasi yang sama dari segala sisi dari masalah yang dispekulasikan.
Masalah akidah adalah nauu’ al khobar (jenis berita), oleh karena itu akidah para Nabi dan Rasul adalah sama. Berbeda dengan syari’at, syari’at adalah nuu’ al insa (jenis pengadaan) sehingga bisa berbeda-beda, karena untuk mengatur kehidupan umat yang berbeda-beda.
Kesimpulan
Relativitas kebenaran pengetahuan tentang Tuhan oleh umat beragama hanya bisa terjadi bila seluruh umat beragama “tanpa terkecuali” memperoleh pengetahuan tersebut lewat akal budi mereka, dengan berhipotesa, spekulasi atau sejenisnya, tanpa ada wahyu yang dapat dijadikan petunjuk, hingga tidak bisa dipastikan mana yang benar dan mana yang salah, seperti yang dianggap kaum pluralis sendiri. Tapi, telah kita ketahui bahwa pengetahuan tentang yang transendental tersebut tidak dapat diketahui dengan benar kecuali dengan al khobar as shodiq dan sejak dahulu para Rasul telah menerima khobar tersebut.
Maka dengan ini, dari sekian banyak pengetahuan tentang Tuhan yang tadinya mungkin relatif, menjadi tidak relatif lagi, karena yang lain masih berhipotesa, dan belum bisa memastikan benar tidaknya dan al khobar as shodiq yang pasti benar telah memastikan hipotesa-hipotesa tersebut salah.
Dan realitas yang ada bahwa dari sekian banyak pemahaman umat beragama tentang Tuhan semuanya saling kontradiksi, dan sifat di antara dua hal atau lebih yang saling kontradiksi adalah saling membatalkan di antara yang satu dengan yang lainnya, tidak bisa benar secara bersamaan. Dan al khobar as shodiq telah menunjukan mana yang benar.
Di dalam akidah Islam tidak ditemukan dan diterima keyakinan yang kontradiksi, karena hal itu tidak rasional. Pluralisme agama adalah keyakinan penuh kontradiksi dan problematik, maka tidak selayaknya diyakini oleh orang yang masih mampu berpikir rasional. Dan pernyataan kaum liberal/pluralis yang mengatakan bahwa akidah Islam terpengaruh sosial dan kultur waktu turunnya wahyu adalah pernyataan yang keluar karena tidak faham objek masalah.
Ingat! Kondisi sosial dan kultur antarsatu Nabi dengan yang lainnya adalah lebih plural dari kondisi sekarang, tapi kenapa tidak berpengaruh, hal ini yang harus mereka jawab. Dan seandainya mereka mengatakan bahwa relativitas kebenaran terletak pada pemahaman wahyu tersebut, bukan pada kebenaran wahyunya, maka dengan ini ilmu matematika bukan lagi ilmu pasti lagi bagi mereka, karena wahyu mengatakan Tuhan itu hanya satu. Jika pemahaman hanya satu masih relatif kebenarannya, maka satu tambah satu belum tentu dua, tapi masih relatif, mungkin dua, tiga, dan seterusnya. Wallahu a’lam bisshowab.
*)Penulis adalah mahasiswa Fakultas Syari’ah Univ. Al Ahgaff, Hadramaut, Yaman. Dan sekarang menjadi Ketua Forum Diskusi Mahasiswa Indonesia (FoKus-Indo)di Unv. Al Ahgoff