Oleh: Dr. Dinar Dewi Kania
KONON, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum dan UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik telah memberi angin segar bagi kaum perempuan untuk menyalurkan aspirasinya melalui jalur politik. Kedua undang-undang tersebut telah memberi mandat kepada partai politik untuk melibatkan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dari daftar caleg yang diusulkan partai politik peserta pemilu.
Namun, agenda feminisme liberal diduga berada di balik kelahiran undang-undang ini dan juga pemberlakuan sanksi terhadap parpol yang tidak mampu memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan. Pasal 27 ayat 2 huruf b PKPU Nomor 7 Tahun 2013 menyatakan bahwa apabila parpol tidak berhasil memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan maka akan ditolak dan dihapus dari dapil terkait.
Adanya sanksi dalam Peraturan KPU tersebut tidak lepas dari peran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam rangka Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender (PUG) di bidang politik dengan penandatanganan nota kesepahaman bersama KPU pada Juli 2012. Nota kesepahaman tersebut dianggap telah sejalan dengan upaya KPP-PA ketika menghadiri sesi persidangan Committee on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) di Markas Besar PBB, New York, pada 11 Juli 2012, yang mengangkat “partisipasi perempuan dalam politik” sebagai topik utama dalam dialog tersebut.
Tujuan utama peningkatkan partisipasi perempuan dalam politik dapat ditelusuri dari sejarah keterlibatan kaum perempuan di Kongres Amerika Serikat. Dalam sebuah buku yang ditulis berdasarkan penelitian tentang pengaruh keterlibatan perempuan dalam Kongres disebutkan, “They suggest that women’s presence not only reshapes the agenda, but also can slowly begin to regender institutions.” (Debra L Dodson, The Impact of Women in Congress, 2006: 249). Artinya, keterlibatan perempuan di Kongres Amerika bukan hanya untuk membentuk atau meloloskan agenda-agenda perempuan, namun lebih dari itu, secara perlahan mereka berharap dapat melakukan regender terhadap institusi politik—yang memang dalam pandangan kaum feminis – didominasi oleh budaya partiarki dan sarat dengan kepentingan kaum laki-laki.
Seksis dan Antagonis
Walaupun Indonesia telah meratifikasi CEDAW ke dalam UU No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, tidak berarti Indonesia harus tunduk pada semua aturan internasional tersebut, terutama apabila bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan adat istiadat serta norma-norma agama yang berlaku. UUD 1945 Pasal 28 (J) memberikan pembatasan bahwa pemenuhan hak-hak seseorang harus menghormati hak kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
Umat Islam seharusnya dapat lebih jeli menilai bahwa aturan tentang kuota caleg perempuan berpotensi mengalihkan perhatian perempuan dari peran utama mereka sebagai ibu dan pendidik anak-anak di rumah. Bahkan, dalam paham ini, tugas dan peran sebagai ibu rumah tangga dipandang sebelah mata, dianggap tidak lebih mulia ketimbang aktif di parlemen. Apakah mereka berpikir bahwa dengan “memaksa” perempuan aktif di ruang publik dan meninggalkan keluarga maka laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dapat lebih leluasa bergaul sampai larut malam demi “kemajuan bangsa”? Sementara, suami harus menjaga anak-anak bersama pembantu di rumah, menunggui istrinya pulang dari raker berhari-hari di luar kota?
Pakar feminisme, Dr Ratna Megawangi, menulis bahwa agenda feminis mainstream sejak awal abad ke-20 adalah mewujudkan kesetaraan nominal antara laki-laki dan perempuan di ruang publik. Agenda ini bahkan terinspirasi pemikiran Marxis yang memandang peran ibu rumah tangga sebagai bentuk penindasan laki-laki terhadap perempuan. Para feminis masih percaya bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah produk budaya, bukan karena adanya perbedaan biologis atau perbedaan nature. Karena itulah, para feminis yakin dapat mewujudkannya melalui perubahan budaya, legislasi, ataupun praktik-praktik pengasuhan anak. (Ratna Mega wangi, Membiarkan Berbeda?, 1999).
Jadi, pokok masalahnya, adalah pemaksaan kuota tertentu bagi perempuan. Keterlibatan perempuan dalam kancah politik akhirnya lebih mencerminkan sebuah bentuk “keterpaksaan” daripada “kesadaran” yang akhirnya menjadikan perempuan sebagai pihak yang rentan terhadap eksploitasi dari partai politik yang ingin “memanfaatkan” perempuan dalam rangkamemenuhi kuota yang dipersyaratkan.
Aturan tersebut juga dapat memicu tindakan diskriminasi terhadap kaum laki-laki yang memiliki kapabilitas, namun harus tergusur oleh caleg perempuan yang mungkin kualitasnya jauh lebih rendah guna memenuhi tuntutan kuota. Padahal, dalam ajaran Islam, seorang perempuan yang lemah iman dan berakhlak buruk tidak layak mewakili kepentingan kaumnya. Juga, sebuah penghinaan martabat perempuan bahwa seorang perempuan menduduki jabatan publik atas dasar kuota.
Seharusnya kualifikasi utama dalam memilih wakil rakyat dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini adalah faktor iman, keluhuran akhlak, kapabilitas, serta keikhlasan mengemban misi perjuangan dan bukan dilihat dari jenis kelaminnya. Seorang pria beriman yang meneladani akhlak Rasulullah SAW akan selalu berada di garda terdepan dalam memperjuangkan harkat dan martabat laki-laki, perempuan, anak-anak, dan kaum dhuafa.
Tidak ada dalil atau fakta empiris yang menunjukkan bahwa keterwakilan seseorang akan lebih baik jika diwakili sesama jenis kelamin. Bahkan, cara berpikir seksis seperti ini sangat berbahaya sebab sejak awal sudah menciptakan suasana antagonis dan kecurigaan antara laki-laki dan perempuan.
Islam mengajarkan pemeluknya agar berperilaku adil kepada seluruh umat manusia tanpa memandang harta, kedudukan, atau jenis kelamin. Allah SWT telah berfirman di surah al-Hujurât ayat 13, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Dengan ayat ini, ajaran Islam secara tegas menetapkan bahwa nilai kemuliaan seorang manusia diukur dari iman, ketinggian akhlak, dan perbuatan-perbuatan baiknya.
Islam tidak mengekang kebebasan perempuan dalam menyalurkan pendapatnya terhadap permasalahan politik dan pemerintahan. Dalam sejarah kehidupan Rasulullah dan para sahabat Nabi dapat ditemukan besarnya kontribusi Muslimah dalam membangun peradaban Islam. Padahal, dalam kurun waktu yang sama, di Barat, kedudukan perempuan tidak lebih tinggi dari binatang. Dalam salah satu riwayat diceritakan bahwa dahulu ada seorang Muslimah yang berani mengkritik keputusan Khalifah Umar bin Khatab ra, yang melarang perempuan berlebih-lebihan dalam mengambil mahar pernikahan dan membatasinya dengan jumlah tertentu.
Muslimah tersebut secara terbuka mengajukan keberatannya terhadap keputusan Umar dan melafazkan surah an-Nisa ayat 20 sebagai dalil dalam argumentasinya. Umar pun menyimak dengan saksama pandangan perempuan tersebut dan kemudian berkata, “Perempuan ini benar dan Umar telah memutuskan yang salah.”
Menurut Muhamad ‘Ali Hasyimi, kejadian tersebut telah menorehkan tinta emas dalam sejarah di mana seorang perempuan Muslim telah berani mengkritisi seorang pemimpin mulia yang saat itu telah menundukkan Persia dan Romawi di bawah kekuasannya (Syakhshiyatul Mar’ah Al-Muslimah, 2012: 56-57). Sikap berani Muslimah ini bukan lahir dari kebenciannya terhadap kaum laki-laki sebagaimana kaum feminis menjadikan “kemarahan” dan “kebencian” terhadap laki-laki sebagai sumber keberanian ekspresi dirinya. Keberanian Muslimah itu muncul semata-mata karena pemahaman dan kesadarannya terhadap ajaran Islam yang telah memberinya hak dan kebebasan berpendapat, menyeru kepada kebenaran, dan mencegah kemungkaran.
Kaum feminis dikenal piawai dalam mempromosikan gagasan kesetaraan gender melalui eksploitasi kasus-kasus kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh sebagian perempuan. Dalam hal ini, peran media massa sangatlah besar. Hanya dengan mengangkat sejumlah kasus, lalu diambil kesimpulan bahwa kaum perempuan tertindas oleh kaum laki-laki sehingga memerlukan solusi “kesetaraan nominal” dalam lapangan publik.
Karena itulah, dalam suatu draf RUU KKG (Pasal 4 ayat 2) yang sempat beredar dikatakan, “Perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30 persen (tiga puluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan nonkementerian, lembaga politik, lembaga nonpemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional, dan internasional.”
Cara berpikir “kesetaraan nominal” semacam ini yang perlu dikritisi. Khayalan mereka adalah bahwa jika keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga politik sudah sama dengan laki-laki maka akan hilanglah diskriminasi terhadap perempuan. Meskipun, negara itu pun bisa dikatakan sudah maju. Tentu saja itu sebuah khayalan. Saat ini, angka keterwakilan perempuan di DPR RI sudah mencapai 18 persen. Memang, angka itu masih di bawah yang seharusnya, yakni 30 persen. Tapi, angka 18 persen itu sudah lebih tinggi dari angka di AS (16,8 persen), Jepang (11,3 persen), Korsel (15,6 persen), dan Malaysia (9,9 persen). Bisa dibandingkan dengan keterwakilan perempuan di parlemen Rwanda (56,3 persen), Nepal (33,2 persen),Tanzania (36 persen), dan Uganda(34,9 persen). (Sumber: Women in Parliament, November 2011).
Jadi, dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen, negara mana yang mau dicontoh? Wallahu a’lam bish shawab.*
Penulis adalah peneliti INSISTS. Makalah ini telah dimuat dalam ISLAMIA Jurnal Pemikiran Islam Republika, Kamis 18 April 2013