Oleh: Riadi Budiman
AKHIR-akhir ini kita disuguhkan dengan berita kasus korupsi dan prostitusi yang pelakunya merupakan publik figur di mana peristiwa kejadiannya berulang-ulang dengan pelaku yang berbeda-beda.
Hal ini membuat masyarakat bertanya, ada apa gerangan dengan bangsa ini? Apa yang salah?
Saat ini semua perguruan tinggi berlomba-lomba meningkatkan akreditasinya, baik akreditasi institusi maupun akreditasi progam studi. Semua mata kuliah harus diajarkan oleh dosen berkualifikasi magister yang sesuai bidang keahliannya, termasuk mata kuliah Pendidikan Agama (Islam). Terkait mata kuliah pendidikan agama seharusnya ada perhatian khusus mengingat semakin menyatunya ilmu pengetahuan dan agama (inklusif) adalah semakin baik.
Merujuk ke Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Bab II pasal 2 bahwa Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Juncto Pasal 5 ayat 6 bahwa Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif dan dinamis sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan/atau olahraga.
Peraturan Pemerintah ini mengisyarakatkan bahwa proses pembelajaran pendidikan agama khususnya di perguruan tinggi harus menjadi satu kesatuan dengan ilmu pengetahuan dimana dosen yang mengampu mata kuliah ini haruslah memiliki wawasan ilmu agama sekaligus ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan dan ilmu agama bisa saling menguatkan.
Terdapat dua pendekatan terhadap pemenuhan dosen mata kuliah agama di perguruan tinggi umum (bukan perguruan tinggi keagamaan) yakni sarjana/magister bidang agama mempelajari ilmu pengetahuan sesuai dengan latar belakang program studi masing-masing di perguruan tinggi atau dosen program studi masing-masing di perguruan tinggi mempelajari ilmu agama.
Jika pilihan pertama yang diambil maka dapat dibayangkan betapa rumitnya dosen yang berasal dari pendidikan keagamaan harus mempelajari ilmu pengetahuan umum yang sangat bervariasi program studinya agar dapat memadukan antara konsep agama dan ilmu pengetahuan sesuai dengan latar belakang program studi yang ditempuh mahasiswa.
Hal yang memungkinkan dan relatif mudah untuk dilaksanakan adalah pilihan kedua dengan dua keuntungan sekaligus yakni pertama: peserta didik (mahasiswa) akan selalu dibimbing dan merasa diawasi oleh dosen agamanya setiap saat di kampus sejak masuk kuliah hingga lulus; dan kedua, dosen agama dapat menjadi teladan bagi mahasiswa dan dosen lainnya dalam satu program studi.
Pada umumnya dosen agama yang berasal dari pendidikan keagamaan dikumpulkan dan ditugaskan dalam program studi tertentu yang terkadang sangat berbeda dengan latar belakang keahliannya.
Hal ini menimbulkan permasalahan tersendiri yakni kesulitan dosen berlatar belakang agama untuk mengembangkan karirnya di perguruan tinggi umum sehingga berdampak pada kesejahteraan dosen tersebut.
Kembali ke PP no 55 Tahun 2007 Bab II pasal 3 bahwa Pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama. Dengan demikian peraturan ini menunjukkan bahwa satu-satunya mata kuliah di perguruan tinggi umum yang pengelolaannya tidak dibawah Kemenristekdikti adalah mata kuliah Pendidikan Agama sehingga perlu adanya sinkronisasi kebijakan antara Kementrian Agama dan Kementrian Riset Teknologi, dan Pendidikan Tinggi terkait mata kuliah ini.
Studi Pendidikan Keagamaan
Salah satu indikator tidak sinkronnya pengelolaan mata kuliah Pendidikan Agama di perguruan tinggi umum adalah dosen pendidikan agama yang berasal dari dalam program studi umum dianggap tidak memiliki suatu kelebihan atau hal yang bagus bahkan dianggap hal dapat mengurangi nilai akreditasi program studi (berdasarkan standard 4 penilaian BAN PT tentang sumberdaya manusia jika mata kuliah diajar oleh dosen yang tidak sesuai dengan keahlian maka nilainya tidak penuh), padahal dosen agama dari dalam program studi ini sudah mendapatkan pelatihan khusus dari lembaga keagamaan.
Jika hal ini dibiarkan terus-menerus dapat mengakibatkan timbulnya sekularisme dalam pendidikan, dalam artian pendidikan agama hanya sekedar ilmu yang dipelajari terpisah dari ilmu pengetahuan layaknya mata kuliah umum lainnya.
Hampir semua perguruan tinggi umum yang tidak mempunyai program studi Pendidikan Keagamaan mengalami kekurangan dosen pendidiikan agama di kampusnya.
Hal ini sebenarnya telah diantisipasi oleh Surat Keputusan Dirjen Dikti no 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi pasal 10 Persyaratan Kualifikasi Dosen Mata kuliah Pengembangan Kepribadian ayat 1 huruf c bahwa Cendekiawan agama yang memiliki kompetensi sebagai dosen, atau seseorang yang direkomendasikan oleh lembaga pendidikan keagamaan dan/atau lembaga keagamaan. Namun berdasarkan penilaian akreditasi BAN PT hal ini tetap saja dianggap tidak sesuai dengan keahlian dosen yang bersangkutan sehingga tidak mendapatkan nilai penuh (4 poin).
Terakhir, para kolega dosen yang mempunyai semangat untuk mempelajari agama dan sekaligus menularkan kepada mahasiswanya sendiri harus berhadapan dengan ketua program studi masing-masing atau pejabat di fakultasnya karena dianggap dapat mengurangi nilai akreditasi program studi.
Semoga pejabat pemegang kewenangan selaku penentu akreditasi perguruan tinggi tidak membiarkan hal ini terjadi terus-menerus sehingga hipotesis awal saya mengenai sekulerisasi pendidikan tinggi adalah tidak benar.*
Penulis adalah Pjs Ketua DPW Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam se-Indonesia (ADPISI) Kalimantan Barat