Hidayatullah.com | DARI Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺtelah bersabda,”Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.” (Riwayat Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Hafidz Al Mizzi (Kasyf Al Khafa, 2/43). Fudhail bi Iyadh menjelaskan makna Hadits tersebut,”Setiap malan yang diwajibkan atasmu, maka menuntut ilmu tentangnya wajib atasmu. Sedangkan apa-apa yang tidak wajib atasmu, maka menuntut ilmunya tidaklah wajib.” (Ma’alim As Sunan, 4/186).
Menuntut Ilmu Bagian dari Taqarrub
Imam An-Nawawi menyatakan, ”Sesungguhnya menyibukkan diri dengan ilmu termasuk seutama-utamanya pendekatan diri kepada Allah dan sebesar-besarnya ketaatan. (Raudhah Ath Thalibin, 1/112).
Dan secara khusus, menyimak dan menyampaikan dan mempelajari hadits memiliki keutamaan tersendiri menurut para ulama salaf. Imam Waki` berkata, ”Kalau sekiranya hadits lebih utama dari pada tasbih, maka aku tidak meriwayatkan hadits.” (Syaraf Ashab Al Hadits, hal. 214).
Al-Qa’nabi murid Imam Malik juga berkata, ”Kalau aku tahu bahwa shalat (nafilah) lebih utama daripada hadits, aku tidak akan menyampaikan hadits.” (Syaraf Ashhab Al Hadits, hal. 221).
Menuntut Ilmu Bagian dari Penyelesainan Krisis
Para ulama melihat bahwasannya dengan menuntut ilmu, Allah akan memberikan pertolongan terhadap masalah-masalah yang mendera. Hal ini tidak lain karena menuntut ilmu juga ibadah yang memiliki kelebihan dibanding ibadah-ibadah bentuk lainnya. Ibrahim bin Adham berkata, ”Sesungguhnya Allah menahan bala` dari umat ini dengan rihlahnya ashab al-hadits.” (Syaraf Ashhab Al Hadits, hal. 142).
Ar Ramadi jika mengeluhkan karena sakit, maka ia berkata, ”Datangkan kepadaku ashab al-hadits.” Dan jika mereka telah datang, maka ia berkata, ”Bacakan untukku Al-Hadits.” (Syaraf Ashhab Al Hadits, hal. 228).
Suatu saat, Imam Asy Sya’rani merasa pusing saat menelaah di hadapan Syeikh Al-Islam Zakariya Al Anshari, maka sang gurupun berkata, ”Niatkan untuk kesembuhan dengan ilmu.” Lalu Imam Asy Sya`rani pun melakukannya hingga akhirnya hilanglah rasa pusing itu. (Thabaqat Al Kubra li Asy Sya`rani, 2/111).
Sebab itulah para ulama justru semakin menggalakan majelis-majelis ilmu di saat krisis dan bencana sedang melanda.
Majelis Hadits di Saat Kakeringan
Jika para ulama menggunakan wasilah pembacaan hadits secara umum dalam menghadapi cobaan. Para ulama secara khusus membaca shahih Al Bukhari untuk hal yang sama. Al Hafidz Ibnu Katsir berkata mengenai Imam Al-Bukhari dan kitabnya Ash Shahih, ”Dan kitabnya Ash Shahih, dengan membacanya diharapkan turunnya hujan dari mendung.” (Al Bidayah wa An Nihayah, 6/290).
Ketika Aljazair dilanda kekeringan dan rakyatnya pun mulai khawatir, Hasan Al Basya (1251 H) selaku pemimpin Muslim memerintahkan para ulama untuk membaca Shahih Al Bukhari di masjid Zaituna. Saat itu, mereka berhasil menghatamkan Kitab Shahih dalam satu hari. Hasan Al Basya orang pertama yang mengawalai kebiasaan baik ini di Aljazair, yakni mengadakan pembacaan Shahih Al Bukhari ketika terjadi bencana. (Syajarah An Nur Az Zakiyah, 2/191).
Menuntut Ilmu Saat Terjadi Pertempuran
Pada saat pasukan Mongol menyerang, Malik Al Manshur bersama pasukannya keluar untuk menghadapi mereka, serta mengirim perintah ke Kairo, agar para ulama berkumpul membaca Shahih Al Bukhari. Saat itu, Al Hafidz Ibnu Daqiq Al Ied bertanya kepada para ulama, ”Apa yang kalian lakukan dengan Bukhari kalian?” Para ulama pun menjawab, ”Masih tersisa waktu kita akhirkan, agar kita menghatamkan pada hari ini.” Ibnu Daqiq Al Ied pun menyampaikan bahwasannya pasukan Muslim sudah memperoleh kemenangan. (Thabaqat Asy Syafi’iyyah Al Kubra, 9/211).
Shalahuddin Al Ayyubi di sela-sela pertempuran di wilayah Marj Al ‘Uyun selalu menyempatkan diri mambaca hadits dan fiqih di hadapan Ibnu Syaddad, hingga dalam pertempuran itu, Shalahuddin menghatamkan kitab ringkasan fiqih karya Ali Ar Razi. (An Nawadir Ash Shulthaniyah, hal. 38).
Hal yang sama dilakukan di masa Utsmaniyah, di mana ketika pasukan Utsmaniyah pertempur mengadapi Rusia, pihak Ustmaniyah mengirim perintah ke Kairo, agar dibaca di masjid Al Azhar Shahih Al Bukhari. Akhirnya, para ulama, termasuk di dalamnya Syeikh Ahmad Al Arusyi selaku Syeikh Al Azhar. (Aja`ib Al Atsar, 2/275).
Di saat Inggris dan Prancis bersatu berencana menyerang Istanbul, Sultan Abdul Hamid II meski saat itu berada di pengasingan juga ikut berdoa untuk kemenangan pasukan Utsmaniyah dengan membaca Shahih Al Bukhari. Sultan Abdul Hamid II menyampaikan, ”Pada suatu hari saat aku membaca Shahih Al Bukhari, aku mendapati di salah satu halamannya bab mengenai sifat-sifat Rasulullah ﷺ. Dari sifat-sifat itu, bahwa dari jasad mulianya keluar bau harum. Saat aku membacanya, aku mencium bau harum, yang aku tidak tahu datang dari mana.” Setelah peristiwa itu, terdengar kabar bahwasannya pasukan Utsmaniyah berhasil mengalahkan pasukan Inggris dan Prancis, pasukan musuh gagal memasuki selat Janaq Qal’ah. (Dzikrayat Ash Shulthan Abdul Hamid Ats Tsani, hal. 285).
Menggalakkan Majelis Hadits Saat Wabah Menyebar
Pada tahun 790 H terjadi wabah tha`un di Mesir. Qadhi Nashiruddin Muhammad mengajak sekelompok dari umat Islam untuk membaca Shahih Al Bukhari di masjid Al Azhar untuk berdoa agar Allah mengangkat tha`un. (Nail Al Amal fi Dzail Ad Duwal, 2/258).
Pada tahun 881 H kembali terjadi wabah tha`un di Kairo. Pembacaan Shahih Al Bukhari, Shahih Muslim dan Kitab Asy Syifa diadakan di masjid Al Azhar, yang dihadiri oleh para ulama dan para penuntut ilmu, atas perintah sultan. Setelah itu mereka berdoa agar Allah mencegah balak atas mereka, yakni tha`un. (Nail Al Amal fi Dzail Ad Duwal, 7/174).
Pada tahu 1202 H, tha`un terjadi di Kairo, pembacaan beberapa bagian dari Shahih Al Bukhari juga dilakukan. (Aja’ib Al Atsar, 2/53).
Dan pada tahun 1228 H tha`un kembali terjadi di beberapa kota, terutama Al Iskandariyah. Sultan segera melakukan karantina, baik di pelabuhan seperti di Dimyath serta mencegah perjalanan darat. Sultan juga memerintahkan agar pembacaan Shahih Al Bukhari dilakukan di masjid Al Azhar. (Aja’ib Al Atsar, 3/395).
Dengan demikian, meski di masa krisis kewajiban menuntut ilmu tetap berlangsung, bahkan lebih digalakkan. Dengan taqarrub itu, diharapkan Allah mengakta bala`, serta krisis yang terjadi tidak menyebabkan krisis di bidang keilmuan. Wallahu a`lam bish shawab.*