Dari sana tampak jelas bahwa al-Attas merupakan orang pertama yang memahami dan menerjemahkan perkataan addabanī dengan mendidikku. Menurut sarjana-sarjana terdahulu, isi kandungan ta’dīb adalah akhlak. Fakta bahwasanya pendidikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam dijadikan Allah sebagai pendidikan yang terbaik didukung oleh Al-Qur’an yang mengafirmasi kedudukan Rasulullah yang mulia, suri tauladan yang baik. Ini kemudian dikonfirmasi oleh hadits Nabi yang mengatakan bahwa misinya adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia: “Innamā bu‘itstu li’utammima makārim al-akhlāq.” Seseorang yang paling sempurna imannya (akmalu’l-mu’minīn īmānan) menurut Rasulullah Saw. adalah orang yang paling baik akhlaknya (ahsanuhum khuluqan).
Dari sini dapat dipastikan bahwa aktifitas Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam berupa pengajaran Al-Qur’an (yu‘allimuhumul-kitāba), hikmah dan pensucian umat adalah manifestasi langsung dari peranan ta’dīb. Dengan demikian, menurut al-Attas, dari sejak awal kedatangan Islam, adab secara konsep telah diisi dengan ilmu yang benar (‘ilm) dan perbuatan yang tulus dan tepat (‘amal), dan terlibat aktif dalam wacana intelektual sunnah-sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam (Lihat, Prof. Wan Daud, “Konsep al-Attas tentang Ta’dīb”, hlm. 78. Lihat juga, Prof. al-Attas, The Concept of Education in Islam, hlm. 34-35).
Dengan analisis yang mendalam seperti di atas, sangat logis jika kemudian al-Attas menyimpulkan: “Ta’dīb already includes within its conceptual structure the elements of knowledge (‘ilm), instruction (ta‘līm), and good breeding (tarbiyah), so there is no need to refer to the concept of education in Islam as tarbiyah-ta‘līm-ta’dīb together.” (Prof. al-Attas, The Concept of Education in Islam, hlm. 33). Maka terma yang benar untuk pendidikan dalam Islam adalah ta’dīb, bukan tarbiyah ataupun ta‘līm.
Konsekuensi Logis
Konsep ta’dīb sejatinya hasil perenungan yang mendalam dan intens dari seorang Prof. al-Attas. Karena dari konsep yang mendalam dan jitu ini ia ingin mengikis fenomena yang terus menjamur dewasa ini, loss of adab: hilangnya adab (akhlak mulia) di tengah-tengah masyarakat. Karena loss of adab ini, tegas al-Attas, berimplikasi kepada loss of justice (hilangnya keadilan). Ini semuanya disebabkan oleh kerancuan dalam ilmu pengetahuan. Dan kerancuan ini melahirkan pemimpin-pemimpin gadungan (false leaders). Itu sebabnya ini menjadi lingkaran setan yang terus menadi dilema dalam tubuh umat ini.
Itu sebabnya al-Attas mengingatkan melalu konsep ta’dīb ini agar segera dilakukan revolusi pendidikan yang mengarah kepada tertanamnya adab dalam jiwa setiap insan Muslim. Karena dilema hari ini sebabnya adalah:
1. Confusion and error in knowledge, creating the condition for:
2. The loss of adab within the Community. The condition arising out of (1) and (2) is:
3. The rise of leaders who are not qualified for valid leadership of the Muslim community, who do not possess the high moral, intellectual and spiritual standards required for Islamic leadership, who perpetuate the condition in (1) above and ensure the continued control of the affairs of the Community by leaders like them who dominate in all fields. (Prof. al-Attas (ed.), Aim and Objectives of Islamic Education, hlm. 2-3).
Berarti hanya konsep ta’dīb – yang dipersepsi dan diamalkan dengan benar – yang mampu mengikis kerancuan dan kerusakan ilmu pengetahuan. Karena jika ilmu sudah rancu dan rusak, yang lahir kemudian adalah hilangnya akhlak yang baik (loss of adab) di tengah-tengan masyarakat. Kalau sudah demikian, pada gilirannya akan lahir pemimpin-pemimpin yang sejatinya tidak layak memimpin umat Islam. Karena mereka tidak memiliki standar moral yang tinggi, intelektualitas, dan spiritualitas.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Jika konsep Prof. al-Attas yang begitu sophisticated (canggih) dapat dipahami dengan benar, maka akan lahir gerakan untuk mengejawantahkannya. Jika ini sudah berjalan maka konsep pendidikan Islam akan benar dan sekaligus menjadi tonggak kemajuan peradaban Islam di masa mendatang. Namun jika yang terjadi sebaliknya – disalahpahami – maka tidak akan terjadi perubahan yang signifikan di dunia pendidikan. Sudah tiba saatnya para pendidik dan kaum terpelajar sadar bahwa mendidik bukan hanya mengembangkan sisi kognitif anak didik, tapi lebih dari itu adab jauh lebih penting. Karena adab posisinya di atas ilmu pengetahuan. Dan, karena tujuan akhir dari pendidikan itu sendiri adalah melahirkan manusia yang beradab. Sampai di sini dapat dikatakan bahwa keliru orang-orang yang menyalahkan konsep ‘ta’dīb’ Prof. al-Attas. Wallāhu a‘lam bi al-shawāb.*
Penulis adalah guru di Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Medan-Sumatera Utara. Penulis buku “Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia (Jakarta: Cakrawal Publishing, 2012)”