Oleh: Yan S. Prasetiadi, M.Ag
BERDASARKAN kalender akademik, baik di perguruan tinggi umum maupun perguruan tinggi agama Islam, bulan Juli hingga Agustus merupakan masa pendaftaran mahasiswa baru.
Banyak harapan dari masyarakat ketika mereka memilih untuk mendaftarkan dan menguliahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi agama Islam, diantara alasan yang menonjol adalah, agar anak-anak mereka semakin memahami dan mendalami agama Islam, dan semakin baik dalam mengamalkan ajaran agama mulia tersebut.
Namun dibalik hasrat mulia tadi, kita tidak menutup mata bahwa realitas studi Islam di perguruan tinggi agama Islam (PTAI) masih perlu perhatian serius dan filterisasi dari pengaruh liberalisme yang merusak. Apa yang menjadi indikator hal tersebut?
Secara sederhana tentu adalah output PTAI itu sendiri. Apakah mereka sudah menjadi para ulama yang memperjuangkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan? Ataukah mereka malah menjadi intelektual liberal yang bisanya selalu mempertanyakan dan meragukan ajaran Islam, bahkan menentang isu penerapan syariah Islam?
Jika masyarakat merasakan bahwa, lulusan PTAI sudah banyak melahirkan ulama yang taat pada syariah dan selalu memperjuangkannya, maka itu tandanya studi Islam di PTAI bisa dikatakan berhasil. Namun jika yang terjadi malah sebaliknya, mereka justru menjadi intelektual liberal peragu ajaran Islam dan penentang ajarannya, maka dengan berat hati studi Islam di perguruan tinggi agama Islam, bisa dikatakan memiliki masalah serius, jika tidak mau dikatakan gagal.
Dan berdasarkan pengamatan penulis, dengan berat hati kita harus jujur bahwa studi Islam di PTAI masih memiliki masalah serius, terutama problem infiltrasi pemikiran liberal, baik yang dilakukan oknum dosen maupun organisasi-organisasi mahasiswa tertentu; baik hal tersebut dilakukan secara sistemik (lembaga) maupun secara individual.
Karena itu, sangat perlu kiranya umat Islam memahami ciri-ciri utama pemikiran liberal tersebut, sehingga generasi muda muslim kita bisa diselamatkan dari pemikiran berbahaya itu, diantara ciri utama pemikiran liberal adalah sebagai berikut:
Mendewakan Sekularisme
Hal yang menonjol dari pemikiran liberal adalah keyakinan akan ideologi kapitalis yang didasari paham sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Dari sekularisme ini lahir ide liberalisme (paham kebebasan) dengan segala bentuknya. Misal: mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka, dan plural (pluralisme); meyakini kebebasan beragama; memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik.
Bagi pengasong pemikiran liberal, sekularisme ini laksana “rukun iman” yang tidak boleh digangu-gugat. Kenyataan ini sungguh bertolak belakang dengan ciri seorang Muslim sejati, yang hanya meyakini kebenaran akidah Islam berikut syariahnya dan menjadikannya sebagai pijakan dalam berpkir dan bersikap.
Menilai Islam dengan Perspektif Barat
Terhadap pemikiran Islam, kalangan liberal menilainya dengan standar sekularisme dan ide-ide turunannya. Termasuk menafsirkan teks-teks syariat dengan standar sekularisme-liberalisme. Tidak aneh jika mereka kemudian menggagas metode penafsiran liberal, pluralis, kontekstual, hermeneutik dll; yang pada intinya adalah menafsirkan teks dengan standar sekularisme dan turunannya. Misalnya, Allah Swt. berfirman: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (QS. al-Baqarah [2]: 256). Ayat ini mereka tafsirkan dengan ‘kebebasan beragama’. Artinya, siapapun berhak memilih agama apapun, bahkan untuk tidak beragama sekalipun; juga bahwa seorang Muslim berhak pindah agama, karena setiap orang bebas memilih keyakinannya sendiri. Padahal ayat tadi hanya menjelaskan tidak bolehnya kita memaksa non-Muslim masuk Islam, tidak lebih. Penafsiran mereka itu muncul karena mereka meyakini kebebasan beragama khas ideologi kapitalisme sekular, hal ini bermakna mereka menilai Islam dengan perspektif Barat.
Contoh lainnya adalah masalah jilbab, waris, homoseksual, lesbianisme, dll. mereka melarang jilbab dan waris dengan alasan HAM, sebagaimana mereka membolehkan homoseksual, lesbianisme dll, dengan alasan HAM juga. Lagi-lagi perspektif budaya Barat selalu dijadikan standar.
Fakta dan Sejarah Sebagai Justifikasi
Menurut akademisi liberal, fakta dan sejarah yang dipahami akal adalah faktor determinan yang menentukan hukum, sebab, realitas sosial masyarakat dipandang sebagai ‘ibu kandung’ yang melahirkan nilai dan norma hukum. Jadi, intinya adalah mengembalikan hukum pada akal manusia. Padahal, pandangan akal sangat bergantung pada faktor waktu, tempat, pengetahuan, kedewasaan, watak, lingkungan, emosi, dan lain sebagainya. Penilaian akal bisa bertentangan antara satu orang dengan yang lain, antar tempat dan masa. Di samping itu, akal tidak bisa menjangkau pahala dan siksa akhirat. Disinilah kelemahan akal.
Seharusnya, fakta dan sejarah mesti dijadikan obyek yang akan dinilai dan dihukumi dengan standar baku dan benar yang berasal dari Allah. Di sinilah Allah memerintahkan kita untuk menghukumi sesuatu (fakta sosial dan sejarah) dengan apa yang diturunkan-Nya (QS al-Maidah [5]: 48). Artinya, Allah memerintahkan kita menjadikan wahyu (al-Quran dan as-Sunah) sebagai sumber hukum (mashdar al-hukm) dan menjadikan fakta sosial dan sejarah sebagai obyek yang dihukumi (manâth al-hukm).
Misal ketika orang liberal berbicara sejarah fitnah kubra, mereka selalu bilang sejarah Islam penuh darah dan konflik kepentingan, sampai-sampai mereka menuduh para sahabat tukang KKN. Padahal ketika seorang muslim mempelajari sejarah, seharusnya tidak menilai secara parsial, artinya ketika antara konsep ideal bertentangan dengan historis, maka konsep ideal sebagai standar, sedangkan fakta sejarah dianggap kekeliruan dalam pelaksanaan Islam, karena toh yang melaksanakan Islam bukanlah malaikat tapi tetap manusia juga. Sehingga sejarah yang salah adalah pelajaran dan tidak boleh diulangi. Namun sejarah Islam walau bagaimanapun tetap lebih unggul dari sejarah barat yang justru lebih brutal, sadis, bahkan sangat berdarah-darah, lihatlah konflik gereja dan filusuf, konflik perang salib, dan perang dunia ke-1 dan ke-2, termasuk tragedi Hirosima-Nagasaki dan Vietnam, apakah itu tidak berdarah-darah?
Tidak Adil dalam Menilai Islam
Akademisi liberal selalu mencap penerapan Islam yang salah/buruk sebagai alasan mengecam syariat Islam. Padahal seharusnya sebuah konsep/ide dinilai dari konsepsi ideal yang bersumber dari rujukan sahnya. Begitu juga tuduhan mereka yang mengecam penafsiran literal atas teks dan lebih mengedepankan penafsiran kontekstual. Akan tetapi, tidak jarang pula mereka menggunakan penafsiran literal teks jika sekiranya itu bisa dipelintir untuk mendukung pendapat liberal mereka. Contoh penolakan mereka terhadap konsep Daulah Islam hanya karena tidak ada kata daulah (negara) dalam al-Quran, ini merupakan sebuah alasan yang sangat literal/tekstual.
Memelintir Teks dan Pendapat Para Ulama
Tokoh liberal sering memelintir teks dan pendapat para ulama, agar maknanya sesuai dengan ide sekularisme. Misal, mereka mengutip maqâshid asy-syarî‘ah-nya Imam asy-Syathibi, tetapi dipelintir maknanya. Pemeliharaan mereka maknai dengan kebebasan. Hifzh al-‘aql (pemeliharaan akal) mereka maknai dengan kebebasan berpendapat, hifzh ad-dîn (pemeliharaan agama) mereka artikan dengan kebebasan beragama, hifzh al-mâl (pemeliharaan harta) mereka samakan dengan kebebasan kepemilikan, hifzh al-‘irdh (penjagaan kehormatan) mereka maknai dengan kebebasan individu. Walhasil, Imam asy-Syathibi dan maqâshid asy-syarî’ah-nya hanya mereka catut untuk medukung pendapat sekular-liberal mereka. Dan tidak menutup kemungkinan banyak ulama lain yang juga mereka bajak pendapatnya. (Yahya Abdurrahman, Kesalahan Metodologi Kelompok Liberal, 2005).
Dengan demikian pemikiran liberal itu laksana racun yang sangat berbahaya, ia harus ditangani secara serius. Ironisnya pemikiran seperti itu malah banyak kita temukan dalam jurnal, tesis, dan seminar-seminar di perguruan tinggi agama Islam.
Lalu, Apa Solusinya?
Sebenarnya masih banyak ide-ide liberal yang selalu diputar ulang oknum kalangan akademisi kampus berlabel Islam, akan tetapi apa yang ditulis sebelumnya sudah cukup mewakili. Yang lebih penting bagi umat Islam adalah memahami cara untuk mengatasi itu semua, sehingga generasi mudah kita tidak terjerumus dalam lubang liberalisme. Karena itu berikut ini beberapa upaya yang bisa dilakukan:
Pertama, melakukan pertarungan pemikiran (ash-shirâ’ al-fikrî) untuk menentang ide mereka dan menyadarkan umat. Intinya, ide mereka dalam satu masalah harus dibongkar kekeliruannya, dan di sisi lain harus dijelaskan bagaimana konsep Islam yang sahih dalam masalah itu. Namun hal ini tidak bisa dilakukan sendirian, harus dilakukan secara berjamaah dan terorganisir. Di sisi lain sosialisasi kembali fatwa MUI tentang SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme) yang dikeluarkan beberapa tahun silam, nampaknya perlu juga dilakukan.
Kedua, para cendekiawan muslim yang mukhlis wajib mengajarkan Islam kepada generasi muda, dengan paradigma komprehensif. Islam harus bisa diterima secara rasional tanpa dogmatis. Islam pun dipelajari secara sistematis, sehingga dipahami secara utuh, serta dipahamkan bagaimana Islam mampu menyelesaikan seluruh masalah kehidupan. (lihat lebih detil: Studi Islam Paradigma Komprehensif, penerbit Al Azhar Fresh Zone 2014). Sembari mereka yang sudah memahami hakikat Islam, diajak berjuang menyebarkan pemikiran Islam yang komprehensif kepada kawan-kawannya, keluarga dan masyarakat.
Ketiga, melakukan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî) untuk membongkar posisi mereka sebagai agen imperialis yang bertujuan menghancurkan Islam dan mengokohkan sekularisme di Dunia Islam. Umat harus tahu dan sadar, kaum liberal tulen itu bergerak guna kepentingan imperialis, bukan demi kemaslahatan Islam. Kalau kaum liberal tulen mengklaim mereka hendak memajukan Islam dan umat Islam, itu hanya retorika palsu saja. (Shiddiq al-Jawi, Jurnal al-Wa’ie 58, 2005).
Selain itu para cendekiawan muslim yang mukhlis juga wajib mendekati para tokoh yang berpengaruh untuk mendorong mereka membantu dakwah dalam melawan liberalisme.
Keempat, khusus bagi kalangan pejabat di perguruan tinggi agama Islam, sudah saatnya ikut bersama umat membersihkan pemikiran liberal di lembaga yang mereka pimpin, dimulai dari perumusan kurikulum-silabus, pengawasan kinerja dosen, dan memberi sanksi bagi dosen yang terbukti menyampaikan pemikiran liberal baik dalam bentuk lisan atau tulisan; termasuk sterilisasi kegiatan-kegiatan mahasiswa yang berbau liberal. Kecuali jika dosen dan organisasi mahasiswa tersebut bisa membuktikan dirinya telah berubah dan bertaubat, setelah sebelumnya diajak dialog dan duduk bersama pihak pimpinan perguruan tinggi.
Demikian beberapa hal yang bisa dilakukan agar virus liberalisme di PTAI tidak terus menyebar dan menjangkiti generasi muda kita. Wallahu a’lam.*
Penulis buku “Studi Islam Paradigma Komprehensif”