Oleh: Ali Mustofa
Hidayatullah.com | BANYAK orang yang alergi kritik, padahal jika kritik itu benar maka sebenarnya menjadi kebaikan bagi yang dikritik. Jika kritik itu pada penguasa, maka juga dapat memberi maslahat untuk seluruh umat yang dipimpinnya.
Dalam lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara, kritik terhadap penguasa adalah menjadi niscaya. Dalam khazanah Islam, nasehat atau kritik terhadap penguasa disebut sebaik-baik jihad.
Memang, terkadang kritik itu pahit. Tapi bukankah obat seringkali rasanya juga pahit. Tapi endingnya memberi kesembuhan. Kehidupan bernegara akan sehat jika budaya nasehat terus dilestarikan. Mengingat pemimpin juga manusia. Serba lemah dan terbatas. Butuh saran dan masukan.
Keteladanan Menerima Kritik
Khalifah Umar Bin Khatab memberikan keteladanan yang baik dalam kepemimpinan. Beliau justru senang ketika dikritik oleh rakyatnya, karena sadar kritik sejatinya bisa mendatangkan maslahat bersama. Diambil contoh ketika Umar Bin Khatab pernah di kritik oleh seorang perempuan secara terbuka. Beliau tak marah, justru berterima kasih.
Pula di masa Bani Umayah, pada suatu hari Atha’ Bin Rabbah Rahimahullah, seorang alim di masa generasi Tabiin, mendatangi Khalifah Hisyam Bin Abdul Malik.
Ketika beliau datang, ada pula beberapa pejabat Hisyam yang sedang berbincang-bincang. Melihat kedatangan Atha’ yang kaharismatik itu, mereka pun menghentikan pembicaraan.
Sang Khalifah menyambut Atha’:
“Apa keperluanmu wahai Abu Muhammad (panggilan Atha’) ?”
“Ya ada” lalu Atha’ mengingatkan bantuan pemerintah untuk penduduk Najd, Hijaz, dan daerah perbatasan”. Hisyam menyanggupi semuanya, hingga Atha’ mengingatkan tentang Jizyah bagi para ahlu dzimah. Supaya ditegakkan sebatas kesanggupannya. Khalifah Hisyam pun bilang “oke!”.
“Ada keperlua lagi wahai Abu Muhammad?” Tanya Hisyam lagi.
Jawab Atha’: “Ya ada, wahai Amirul Mukminin. Bertaqwalah kepada Allah, karena anda diciptakan sendirian, matipun sendirian, di Padang Mahsyar (bertanggung jawab) sendirian, dan di hisab sendirian. Demi Allah tidak ada seseorang yang engkau lihat.”
Hisyam Bin Abdul Malik pun tertunduk dan menangis. Ketika itu pula Atha’ beranjak pergi untuk pulang.
Saat di ambang pintu rumahnya, Atha’ baru sadar ada seseorang yang membuntuti membawa sebuah kantong, entah dinar atau dirham. Orang yang membuntuti itu berkata: “Sesungguhnya Amirul Mukminin meminta agar anda menerima kantong ini!”
Atha’ menjawab dengan membaca sebuah ayat dari Al-Quran: “Dan, sekali-kali aku tidak meminta upah pada kalian atas ajakan-ajakan itu, upahku tiada lain hanyalah dari Rabb semesta alam.” (QS: Asy-Syuro: 109). Maka pembawa kantong itu kembali.
ABS (Asal Bapak Senang)
Lalu di masa khalifah Sulaiman Bin Abdul Malik, dikisahkan ada seorang Arab Badui yang menasehati Sulaiman bin Abdul Malik, tentang bahayanya terhadap pajabat yang punya sifat ABS (Asal Bapak Senang)
Arab Badui tersebut berkata: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku akan menyampaikan perkataan kepada Anda. Maka, aku harap anda dapat menahan diri sekalipun anda kurang suka, karena setelah itu ada sesuatu yang anda sukai jika memang anda mau mendengarkannya.”
“Katakanlah!” kata Sulaiman. Orang Badui berkata: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ada beberapa orang yang bergabung dengan anda, mereka ini adalah orang-orang yang membeli dunia Anda dengan agama mereka, membeli keridhaan Anda dengan kemurkaan Rabbnya. Mereka takut kepada Anda dalam urusan Allah dan takut kepada-Nya karena urusan Anda. Mereka menghancurkan akhirat dan memakmurkan dunia. Mereka berperang melawan akhirat dan berdamai dengan dunia. Janganlah Anda mempercayai mereka dalam hal-hal yang dipercayakan Allah kepada Anda, karena mereka tidak peduli terhadap amanat dan bersikap semaunya, sementara umat dalam keadaan kekurangan. Anda harus bertanggungjawab terhadap hal-hal yang mereka lakukan, tetapi mereka tidak mau bertanggungjawab terhadap apa yang Anda kerjakan.”
Janganlah Anda memperbaiki keduniaan mereka dengan menghancurkan akhirat mereka, karena orang yang paling bodoh adalah yang menjual akhiratrya dengan dunia selain dirinya.
Sulaiman berkata: “Rupanya engkau merasa puas karena telah berbicara panjang lebar. Itu lebih tajam daripada pedangmu.”
“Beginilah Wahai Amirul Mukminin. Ini demi kepentingan Anda dan bukan karena kesalahan Anda,” jawab orang Arab dusun itu. “Apakah engkau membutuhkan sesuatu untuk dirimu sendiri?” tanya Sulaiman. “Kalau untuk diriku sendiri, sementara orang-orang yang lain tidak mendapatkannya, maka aku tidak membutuhkannya,” jawab orang itu.
Lalu dia bangkit dan beranjak pergi.
Sulaiman berkata: “Mutiara kata-katanya karena Allah. Alangkah mulia keturunannya, begitu besar hatinya, lurus niatnya”. (Ibnu Qudamah, Minhajul Qasidin, 169-171).
Oleh karena itu, agar negara berjalan dengan lebih baik, sebaiknya tidak alergi kritik. Dan siapapun yang siap menjadi pemimpin selayaknya siap pula menerima kritik. Wallahu A’lam.*
Pemerhati Politik dan Sosial