Oleh: Triana Arinda Harlis
BARU-BARU ini kita dikejutkan berita malang yang dialami Warga Negara Indonesia (WNI) Mayang Prasetyoyang bernasib tragis karena terbunuh dan dimutilasi oleh pasangannya.
Mayang Prasetyo berjenis kelamin laki-laki dengan nama Febri Ardiansyah, dikabarkan telah melakukan operasi payudara di Thailand tahun 2009.
Sejak SMA dia sudah sempat menyiratkan keinginan untuk menjadi perempuan. Setelah operasi, ia bertemu Marcus Pieter Volke, dan dikabarkan tinggal bersama di sebuah apartemen.
Transgender, Homo dan Kejahatan
Kemajuan teknologi kedokteran diiringi dengan meluasnya pemikiran permisif, membuka ruang bagi orang-orang yang berkeinginan mengubah jenis kelamin. Dahulu menjadi waria/banci menjadi hal yang tabu, namun kini mulai bermunculan orang-orang yang rela merogoh kocek untuk meraih bentuk tubuh persis seperti wanita, diantaranya operasi payudara bahkan operasi vagina.
Perilaku transgender sangat berhimpitan dengan perilaku homoseksual. Karena dia merasa sebagai wanita (padahal terlahir laki-laki) dia akan menyukai laki-laki. Atau bisa jadi karena dia yang terlahir laki-laki menyukai laki-laki maka dia terobsesi untuk berperilaku sebagai perempuan dan membuat tubuhnya seperti perempuan (menjadi transgender).
Persoalan transgender dan homoseksual memang masih menjadi polemik, tidak hanya di Indonesia, tapi di banyak negara pun masih demikian.
Dunia terbagi menjadi tiga dalam merespon tindak tanduk mereka. Kelompok pertama masih menganggap perilaku mengubah kelamin dan pasangan seks sejenis adalah penyimpangan. Kelompok kedua memberikan apresiasi, support, bahkan menfasilitasi berbagai kegiatan guna menampilkan transgender dan kaum homoseks, misalnya mensponsori kontes waria, mendanai film yang menceritakan kisah gay, dll.
Pelopor liberalisme termasuk dalam kelompok ini yang memberikan ruang kebebasan sebebas-bebasnya pada perilaku manusia macam apapun. Kelompok ketiga adalah orang-orang yang kebingungan dengan perdebatan, maupun yang acuh tak acuh selama persoalan itu tak menimpa diri dan keluarganya. Kelompok ini tak mengambil sikap apapun.
Perilaku Marcus Peter Volke (pasangan homoseksual Mayang Prasetyo), menambah daftar panjang kejahatan yang dilakukan pelaku kelainan seks seperti homoseksual atau transgender.
Di Indonesia, kita telah banyak disuguhi kasus-kasus yang mengiris hati semacam ini. Dari homoseks pelaku pembunuhan berantai, paedofil, atau sekaligus keduanya. Kita tentu ingat kasus Ryan Jombang, Babe Baequni, pelecehan seksual di JIS, dan yang terakhir adalah kasus Emon.
Menurut Psikolog dari Universitas Gadjah Mada,Magda Bhinetty, perilaku kekerasan yang dilakukan pasangan homoseksual lebih tinggi ketimbang pasangan lainnya. “Bisa juga karena didukung karakter yang posesif pada pasangannya.” (kompas.com)
Wajar saja jika pasangan sejenis memiliki sifat yang posesif karena jumlah pengidap kelainan seksual tidak banyak ditemui di masyarakat, sehingga ketika mereka kehilangan kekasih mereka merasa kesulitan mencari pasangan lain. Karena perilaku homoseksual juga merupakan perilaku yang memalukan, maka pelakunya acapkali menjadi predator anak (paedofil) yaitu menjadikan anak sebagai korban pemenuhan nafsu bejat mereka, agar aib mereka bisa disembunyikan. Mereka menganggap jika anak-anak yang menjadi korban, mereka akan diam karena takut ancaman dari pelaku dan mudah dibujuk dengan rayuan yang sepele karena anak-anak belum tau apa-apa.*/bersambung Islam dan Kelainan Seksual
Penulis adalah pemerhati masalah sosial