Oleh: Ahmad Kholili Hasib
MENJELANG pergantian tahun 2016 kemarin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bukittinggi menyiapkan kegiatan spesial. Bukan untuk berpesta menyambut tahun baru, tetapi turun lapangan untuk mengantisipasi terjadinya perbuatan maksiat yang dilakukan muda-mudi di malam tahun baru.
Sekitar 150 relawan dari berbagai ormas Islam di bawah payung MUI menemui pasangan muda-mudi di tempat-tempat tertentu yang sedang marayakan tahun baru masehi. Para ulama beserta aktivis ormas Islam itu mengajak mereka bicara, berdialog serta mengajak untuk meninggalkan perbuatan maksiat.
MUI di beberapa daerah seperti MUI Lampung, MUI Aceh, MUI Padang dan MUI provinsi lainnya juga melakukan langkah antisipasi masing-masing.
Langkah nyata para ulama tersebut patut digugu lan ditiru (dicontoh dan ditiru). Betapa tidak, para ulama langsung turun ke jalan. Dakwah konkrit dan praktis. Mereka tidak hanya menyeru di mimbar khutbah, tetapi langsung jalan memperbaiki akhlak bangsa.
Pesta hura-hura tahun baru tidak membawa manfaat apapun. Justru kerusakan demi kerusakan terjadi. Di mana suara keprihatinan aparatur? Alih-alih prihatin, malah memberi jalan.
Para ulama pantas marah atas krisis ini. Tetapi kemarahan ulama disulap dalam bentuk aksi yang luar biasa. Memang harusnya membuat laporan kepada aparatur negara. Namun apa daya, nampak masih banyak menganggap enteng atas apa yang terjadi pada bangsa ini.
Siapa yang tidak tahu bahwa pesta tahun baru biasa menjadi ajang maksiat dan perzinahan. Tiap tahun media-media besar memberitakan. Di Makassar, sebagai salah satu contoh, menjelang pergantian tahun penjualan kondom meningkat 40-100 %.
Menurut salah satu penjual, tingkat permintaan kondom mencapai 40 % di kalangan pelajar dan tak sungkan para pelajar yang mengenakan seragam sekolah juga hendak membeli kondom tersebut.
Siapa yang mencegah para muda-mudi tersebut untuk tidak berbuat zina? Orang tua mereka kemungkinan tidak tahu. Polisi hanya mengamankan situasi agar tidak terjadi tawuran atau semacamnya. Bisakah polisi mencegah mereka tidak berzina? Di mana satpol PP?
Ketika para aparat absen, ulama datang. Ulama membantu pemerintah mencegah terjadinya kejahatan seksual.
Tingkat perzinahan atau seks di luar nikah anak-anak muda saya kira semua banyak yang mengetahui. Dari hasil riset sampai penulusuran jurnalis yang telah banyak di muat di media.
Ini negeri yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tapi kejahatan zina masih saja marak. Di mana bangsa ini meletakkan sila ke-1 Pancasila itu? Lagi-lagi ulama mengawal Pancasila. ‘Memeluk’ rakyat bawah untuk tunduk kepada Tuhan.
Di sinilah, kita bersyukur ada program MUI yang responsif terhadap kerusakan bangsa ini. Kita untung ada ulama yang rela turun ke jalan menemui mereka, menasihati dan mengajak pulang ke rumah masing-masing.
Peran-peran tersebut di negara ini sebetulnya tidak hanya tugas ulama (MUI). Satpol PP, atau kepolisian harusnya bisa mencegah kemaksiatan itu. Tetapi, di negeri ini yang sudah banyak kasus-kasus kejahatan, maka MUI terpanggil hati. Bahwa, tugas ini pun bisa dicover oleh ulama.
Para ulama ini pun tidak melakukan gelar protes, gelar spanduk kecaman, ataupun orasi di depan sorot kamera TV. Tetapi kita lihat, mereka langsung beraksi di jalanan, tanpa spanduk tanpa media yang meliput.
Tidak banyak media yang meliput blusukan para ulama ini. Tetapi, memang ulama tidak butuh popularitas media. Yang mereka butuhkan cuma satu; akhlak bangsa ini baik.
Sudah menjadi kewajiban ulama, khususnya yang duduk di MUI, untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejahatan. Apapun bentuknya.
Masalah kebangsaan bertubi-tubi kita tanggung bersama. Kerusakan demi kerusakan akhlak kita saksikan bersama di negeri ini. Di saat itulah ulama berperan.
Karena itu, pada bulan Juli 2013, MUI membentuk lembaga baru bernama Pusat Dakwah dan Perbaikan Akhlak Bangsa. Melalui pembentukan lembaga ini, maka kegiatan dakwah untuk perbaikan akhlak bangsa dapat lebih fokus, efektif dan tepat sasaran.
Saya pernah mendapati cerita, seorang ulama alim di sebuah kota pergi secara rutin pergi pasar. Ternyata dia tidak hanya belanja kebutuhan dapur, tetapi setiap penjual yang ia temui dia ajak untuk menjaga shalat dan menyampaikan pesan melalui obrolan ringan. Sebelum pergi, ia menitipkan uang untuk diberikan kepada anak si penjual tadi. Dakwah sekaligus sedekah.
Kita jadi ingit kebiasaan sayidina Ali Zainal Abidin, seorang ulama keturunan sayidina Ali bin Abi Thalib ra. Menurut cerita, sayidina Ali Zainal Abidin tiap malam memikul gandum untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Tak seorang pun mengetahuinya, karena ia melakukannya secara sembunyi-sembunyi.
Amal yang baik, khususnya sedekah, adalah dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Ulama tadi di pasar tidak pamer. Mungkin yang tahu hanya penjual. Sayidina Ali Zainal Abidin juga tak seorang pun tahu kecuali setelah ia wafat.
Ulama yang alim memang khumul (tidak suka popularitas). Tujuan perbuatannya semata adalah Allah Swt, bukan manusia. Karena itu,khumul merupakan karakter atau akhlak ulama yang alim. Tipologi inilah yang harus menjadi contoh bangsa ini.
Inilah sisi-sisi humanis para ulama kita. Edukasi yang diberikan tidak hanya di mimbar jum’ah, majelis pengajian, tetapi langsung turun ke area rakyat kecil. Yang diseru tidak hanya kaum pejabat, tetapi rakyat kecil didakwahi. Memang sudah menjadi tugas ulama untuk menjaga negara ini dari segala kemungkaran.
Karena itu, bangsa ini butuh pada ulama. Di saat-saat krisis biasanya para ulama tampil mengambil peran positif. Mereka memang tidak suka unjuk diri, tetapi di saat dibutuhkan pasti hadir.
Ketika Indonesia baru merdeka, kota Surabaya dikepung tentara Sekutu yang membonceng tentara Belanda. Bung Tomo menggerakkan arek-arek Suroboyo untuk melawan Sekutu setelah mendapatkan motivasi dan dorongan spiritual dari KH. Hasyim Asy’ari, dengan “Resolusi Jihad” nya. Ratusan tentara Bung Tomo berasal dari barisan Sabilillah, kaum ulama yang angkat senjata. Jadi, Surabaya dibebaskan atas jasa ulama.
Kota Jakarta dahulu diberi nama Batavia oleh Belanda. Batavia lalu dibebaskan oleh panglima Kerajaan Demak, Fatahillah. Setelah dibebaskan Batavia diganti dengan nama Jayakarta, yang kini kita sebut Jakarta. Fatahillah bukan sekedar panglima perang, tapi seorang ulama yang alim.
Tercatat ada beberapa tokoh ulama maju menjadi pelopor revolusi kemerdekaan. KH. Zainal Musthafa di Tasikmalaya Jawa Barat, Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat, Perang Sabil di Acel dipimpin oleh Teungku Cik Di Tiro, Teungku Umar dan Cut Nyak Dien.
Pada detik-detik menjelang pengumuman kemerdekaan, Bung Karno tak melupakan ulama untuk diminta nasihatnya. Di Cianjur ia menemui dua ulama besar, yaitu KH. Abdul Mukti dari Muhammadiyah, dan KH. Hasyim Asy’ari dari NU untuk meminta masukan tentang kemerdekaan Indonesia.
Mereka berjuang, agar bangsa ini menjadi bangsa beradab, bermartabat, menjaga agamanya. Sila pertama Pancasila sebenarnya berkat usulan perwakilan Islam atas saran para alim ulama. Agar negara Indonesia menjadi negara beradab berdasarkan ketuhanan, bukan anti-ketuhanan.
Segala problematika selesaikan sesuai petunjuk ilmu. Kita dalami ilmu, kita agungkan ulama. Sebab, Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam tidak mewarisi harta apapun, terkecuali ulama. Karenanya ulama harus dimulyakan dan diperhatikan petuah serta nasihatnya. Allah Swt berfirman, “Maka bertanyalah kalian kepada ahli dzikir (ahlinya/ ilmu) jika kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Naml: 43).
Dalam ayat itu, Allah telah memerintahkan kepada siapa saja yang tidak mengetahui untuk kembali kepada mereka (ulama) dalam urusan-urusan yang penting.
Negara ini akan selalu membutuhkan ulama untuk membangun Indonesia yang beradab dan bermartabat. Yang bisa menuntun kepada kebenaran, kebaikan, serta memperingatkan mereka dari setiap keburukan, kesesatan dan kebinasaan.
Negara Indonesia tegak berdiri berkat upaya perjuangan ulama. Jika, negeri ingin terus tegak dan semakin kuat, bangsa Indonesia harus menghormati ulama. Jika tidak, kehancuran akan terjadi.
Ingatlah peringatan Imam Hasan al-Bashri ra. Ia berkata : “Para ulama Salaf mengatakan: “Kematian seorang ‘ulama adalah cela (aib) dalam kita. Tidak mungkin ditambal dengan apapun sepanjang zaman.”(HR. al-Darimi).
Ditegaskan lagi dalam sebuah riwayat, kehancuran suatu bangsa karena tiadanya ulama. Hilal bin Khabbab berkata: “Saya bertanya kepada Sa’id bin Jubair :“Wahai Abu Abdillah, apakah tanda kehancuran manusia?” Beliau menjawab : “Apabila ‘ulama-’ulama mereka telah wafat.” (HR. al-Darimi).
Jika negeri ini ingin terus merdeka bebas dari imperialisme dalam bentuk apapun, maka bangsanya harus menghormati ulama dan menjadikan pedoman dalam keputusan-keputusan penting. Di saat bangsa sedang krisis, maka segera ulama hadir sebagai penyelamat.
Kita tahu siapa yang menginginkan bangsa ini rusak manusianya. Mereka mengincar Indonesia karena kekayaan luar biasa yang dikandung bumi pertiwi. Mereka ini yang mengajak menentang ulama. Ada upaya-upaya sistematis menarik anak bangsa untuk mengolok-olok ulama. Panglima TNI pernah mengatakan, benteng terakhir Indonesia itu umat Islam. Umat Islam yang mana yang dimaksud? Tidak lain adalah ulama.
Kita mengaca selama tahun 2016, ternyata bangsa ini krisis karena masih mengabaikan ulama. Bahkan, beberapa pihak meremehkan warisan Nabi Saw ini. Tahun 2017 bangsa Indonesia harus bangkit. Harus diingat, mesin pembangkit itu adalah ulama.Wallahu a’lam bis showab.*
Penulis anggota MIUMI Jawa Timur