ADA masa dalam peradaban Islam, dimana masyarakatnya dari berbagai latar belakang profesi memiliki kesadaran dalam menuntut ilmu. Hal itu dikarenakan ada motivasi bagi umat Islam, untuk tetap menuntut ilmu, namun di sisi lain harus menunaikan kewajiban dalam mencari nafkah.
Dengan munculnya kesadaran itu, maka proses menuntut ilmu tidak hanya dilakukan di masjid-masjid atau madrasah, tapi juga di tempat manusia mencari nafkah, di pasar, toko, ataupun perkebunan.
Ketika para penuntut ilmu dan ulama terlibat dalam transaksi muamalah baik dalam perdagangan maupun yang lainnya, maka tak jarang di tempat-tempat transaksi dan bekerja diisi dengan aktivitas belajar mengajar. Hal ini dilakukan oleh banyak ulama. Imam Waqi` meski seorang ulama besar pada siang hari ia rela berjalan berpanas-panas saat unta tidur siang, untuk mendatangi para pekerja penyiram tanaman untuk menyampaikan Hadits kepada mereka, seraya berkata,”Mereka ada kaum yang memiliki mata pencarian, mereka tidak bisa datang kepadaku.” Akhirnya ia pun menyampaikan Hadits kepada mereka dengan ketawadhu’annya. (Al Jami’ li Akhlaq Ar Rawi, hal. 91)
Al Walid bin Utbah biasanya menyampaikan Hadits dari kitab Al Walid bin Muslim di masjid. Namun ketika ada seseorang yang datangnya terlambat, maka Al Walid mengulang kembali apa yang ia sampaikan. Namun ketika hal itu berulang-ulang, Al Walid bin Utbah pun merasa kepayahan dan ia pun menegurnya. Laki-laki itu pun menyampaikan bahwasannya ia perlu mencari nafkah sehingga tidak bisa mendatangi majelis Al Walid lebih awal. Sejak itu Al Walid bin Utbah melarang laki-laki itu datang ke majelisnya, Al Walid sendiri yang mendatanginya di tokonya untuk menyampaikan Hadits. (Al Jami’ li Akhlaq Ar Rawi, hal. 91)
Hadits-hadits yang Diriwayatkan di Pasar
Bahkan ada Hadits-hadits yang proses periwayatannya di pasar, diantaranya adalah hadits keutamaan Ummahat Al Mukminin yang diriwayatkan di toko Ali bin Al Hasan bin Dawud Ar Razzaz. (Al Arba’in fi Al Manaqib Ummahatul Mukminin, hal. 106)
Adapun Abu Al Qasim Thalhah bin Umar Al Hadzdza’, penjual sepatu meriwayatkan Hadits, yang artinya,”Janganlah kalian mengalungkan mutiara di leher-leher babi,” di tokonya. (Tarikh Baghdad, 9/350)
Sebagaimana Abu Zakariya Al Marawihi, yang meriwayatkan di dalam tokonya Hadits mengenai terbunuhnya Shahr bin Al Anshari oleh Ikrimah bin Abi Jahl. (Tarikh Dimasyq, 41/58)
Demikian juga Abu Al Hasan Naja bin Muhammad Al Aththar, yang merupakan penjual minyak wangi meriwayatkan di tokonya di Damaskus, sebuah Hadits, yang artinya,”Aku tidak melihat orang-orang yang saling mencintai seperti pernikahan.” (Tarikh Dimasyq, 61/ 460)
Abu Bakr Muhammad bin Ahmad (781 H) juga seorang periwayat Hadits berasal dari Damaskus. Ia memiliki tanah yang luas, yang sebelum ia wafat ia bagi-bagikan ke ahli warisnya. Sedangkan ia sendiri memilih mengisi hari tuanya dengan menyima’ Hadits di kebunnya. (Al Maqshad Al Arsyad, 3/153)
Tidak hanya hadits, fiqih juga diajarkan di tempat transaksi jual-beli Muhammad bin Ali bin Al Hasan adalah seorang faqih Baghdad (555 H). Meski demikian, ia juga berjualan minyak wangi dan obat-obatan. Di tokonya para ulama datang untuk belajar kepadanya kitab faraidh yang terletak di pasar parfum. (Thabaqat Asy Syafi’iyah Al Kubra, 6/150)