Oleh: Ahmad Kholili Hasib
MOHAMMED ARKOUN (w.2014), seorang pemikir Liberal menulis, bahwa pembakuan Mushaf yang dilakukan oleh Sayidina Ustman bin Affan tidak lepas dari kepentingan politik sang Khalifah. Selanjutnya, penyusunan karya-karya turast yang bersumber dari al-Qur’an seperti, tafsir, fikih, tasawwuf dan lain-lain juga berlatar belakang politik (Mohamed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, terj “Rethingking Islam Today”, hal. 13-17).
Pendapat tersebut merupakan salah satu contoh strategi sekularisasi. Mengajak Muslim menjauhkan agama dalam ruang public, termasuk dalam politik. Sebab, katanya, bila agama (baca: Islam) dan politik berpadu, maka terjadi apa yang dilakukan Sayidina Ustman, dan ajaran para ulama setelahnya. Ajaran agama ditarik untuk kepentingan politik.
Tetapi fitnah terhadap sayidina Utsman bin Affan dan turats para ulama tidak pernah terbukti. Fitnah itu karena ia menggunakan teori Arkeologi pemikiran Michael Faucault.
Tujuannya memisahkan agama dan politik, dan isu yang dikedepankan selalu dengan memfitnah agama. Bahwa agama-lah yang merusak politik. Inilah watak kaum sekularis.Gerakan ini bernama deislamisasi politik.
Dalam pandangan faham sekularisme, politik berada di atas agama (Islam). Politik juga tidak ada sangkut-pautnya dengan agama. Politik memiliki ruang, agama pun memiliki ruang tersendiri. Kedua ruang harus dipisah.
Baca: Bibit Sekularisme
Maka, ceramah seseorang tokoh negara beberapa waktu silam bahwa agama dan politik harus dipisah, merupakan seruan yang tak patut. Karena mengajak orang meninggalkan agama dari politik.
Harvey Cox (1929) – tokoh gerakan sekularisasi di Barat – menyatakan bahwa masa modern adalah zaman yang tidak ada agama sama sekali, oleh karenanya perlu dijelaskan bagaimana berbicara Tuhan tanpa agama.
Problem dasarnya adalah worldview (pandangan alam). Faham sekularisme keliru dalam memandang agama, sehingga salah menempatkannya. Agama dipandang sebagai sesuatu yang sangat privat. Pun agama adalah produk kebudayaan. Sehingga Dalam worldview sekular, agama itu tidak sakral, bersifat individual, tidak penting, dan agama adalah produk kebudayaan.
Sedangkan dalam worldview Islam, agama Islam itu suci karena tanzil dari Allah Subhanahu Wata’ala, bersifat universal, Islam merupakan sumber moral (value) dalam segala aspek, dan sumber pembentuk kebudayaan Islam.
Dengan demikian, worldview sekular tidak bersesuaian dengan nilai Pancasila. Sebab, pandangan alam sekular akan menantang sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Worldview Islam –lah yang bersesuaian dengan Pancasila. Apalagi memang, Pancasila disusun agar sesuai dengan agama Islam. Ia telah dirancang menuruti apa yang telah menjadi tradisi Muslim di Indonesia.
Proyek sekularisasi politik tidak akan membawa dampak positif bagi negara Indonesia. Dalam Encyclopedic World Dictionary, sekularisme adalah keyakinan terhadap pemisahan hal-hal yang duniawi dari hal-hal yang agamawi (dikutip dalam buku Sekularisasi Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholis Madjid, hlm.26).
Kenapa sekularisasi politik tidak sesuai dengan nilai-nilai tradisi Indonesia yang religius itu? Mari kita simak dengan mengambil pelajaran dari negara-negara Barat yang sekular.
Sebuah portal berita www.secularism.org.uk yang mengkampanyekan ide-ide sekularisme di Inggris melaporkan hasil riset tahun 2012 bahwa di Inggris dan Amerika, peran agama-agama makin dibuang dalam kehidupan. Portal di bawah naungan National Secular Society itu menulis “Ateisme meningkat menjadi 42 % di Inggris terhitung sejak tahun 1963”.
Lebih lanjut, National Secular Societymelaporkan, 54 % penganut Kristen datang ke Gereje karena alasan sejarah dan arsitektur kuno. Sementara hanya 15 % yang datang ke Gereja karena alasan spiritual. Keadaan serupa hampir merata terjadi di Negara-negara Besar Eropa. Diperkirakan, dua puluh tahun lagi agama Kristen tinggal nama di Negara Barat. Inilah dampak kerasnya serangan sekularisme menghancurkan agama-agama.
Cara-cara membuang agama dilakukan kaum sekular. Salah satu caranya dengan membuang agama dari politik. Cara ini barangkali cukup mudah. Dengan alat media massa, maka dibuat rekayasa fakta bahwa agama biang rusuh, sumber radikalisme, sumber keterbelakangan, memecah belah bangsa dan anti kebinekaan. Semua itu rekayasa belaka tidak pernah terbukti.
Jika agama dipisahkan dengan politik, maka politik akan kehilangan etika, adab dan nilai-nilai keluhuran lainnya. Sebabnya, sumber etika, adab dan nilai-nilai keluhuran itu dari agama. Politik yang minus agama (baca:Islam) akan menjadi brutally politic. Semua akan berkata sesuka nafsunya. Politikus akan bertindak tanpa batas-batas nilai ketuhanan.
Dalam konteks Indonesia, pemisahan agama dan politik tidak tepat. Jauh dari nilai luhur kebangsaan Indonesia. Nilai luhur kebangsaan Indonesia dibangun atas sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam pandangan alam Islam, politik itu berada di bawah agama dan bagian daripada agama. Sedangkan pemimpin politik atau pemimpin agama adalah jabatan biasa yang ditipkan oleh Allah Swt yang dibutuhkan oleh warga negara. Politik bukan sekedar ber-partai. Tetapi politik adalah managemen memimpin suatu kelompok masyarakat. Jadi, politik bukan sekedar cara merebut kekuasaan. Itu pandangan politik yang sempit dan sekular.
Tujuan mengangkat pemimpin pun untuk maslahah dunia dan akhirat. Imam al-Ghazali mengatakan pendirian negara dengan pemimpinnya dalam rangka memenuhi kebahagian akhirat manusia (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid I, hal. 26).
Pendirian negara dan mengangkat imam menurut Imam al-Ghazali tujuan utamanya adalah menghasilkan kebahagiaan hakiki – yakni kebahagiaan di akhirat. Hal ini sebenarnya sejalan dengan misi kenabian. Negara dan politik merupakan bagian penting terutama dalam tema sentralnya, baik di dunia maupun di akhirat.
Merupakan sebuah keharusan bahwa agama adalah poros, dan penguasa adalah penjaga, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya pasti akan hancur (Dhiauddin Rais,Teori Politik Islam . terj. hal.102). Syari’ah yang tidak mendapat legitimasi dari negara untuk diterapkan, maka syariah tersebut kehilangan keefektifan dan kesempurnaan.
Jadi, politik harus diletakkan pada tempatnya. Ia berada di bawah naungan agama yang terikat-rapat. Ia adalah seni memimpin, bukan sekedar meraih kekuasaan. Misi politik dalam Islam berdimensi dua; maslahah dunia, dan maslahah akhirat. Partai politik merupakan sekedar salah satu alat saja. Bahkan bukan sesuatu yang pokok.
Dengan demikian, ketaatan kepada Tuhan tidak boleh dikalahkan oleh ketaatan kepada parpol. Tuhan dalam agama Islam, adalah otoritas tertinggi. Ketaatan pada bangsa juga semua berdasarkan ketaatan kepada Tuhan. Bukan sebaliknya. Otoritas Tuhan berada di atas otoritas negara, partai dan pemimpin. Inilah pandangan Islam yang telah dikenalkan Rasulullah Shalallallahu ‘Alaihi Wassallam sebagai rahmatan lil alamin. Wallahu a’lam bisshowab.*
Penulis adalah pengajar di Institut Agama Islam Darullughah Wadda’wah (INI DALWA)