Oleh: M Rizka Arrosyid
Hidayatullah.com | DI TERAS kehidupan dunia, mencari ilmu sangatlah penting. Bahkan dalam kacamata Islam mencari ilmu bukan semata-mata dianjurkan, tetapi diwajibkan atas setiap laki-laki dan perempuan. Kewajiban menuntut ilmu adalah satu proses yang berkelanjutan, dimana titik akhirnya adalah ketika seseorang meninggal dunia.
Islam merupakan agama yang sangat menghormati, memuliakan dan memberi penekanan pada kepentingan ilmu. Apa pun yang dihubungkan dengan ilmu akan menjadi mulia. Para ulama mulia karena penguasaan dan pengamalannya terhadap ilmu. Suatu tempat menjadi mulia bila ditempati untuk majelis ilmu. Allah Ta’ala berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah Ta’ala akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Dia Mahatahu atas apa yang kalian kerjakan.” (QS: al-Mujadalah: 11).
Dari situ nampak jelas, bahwa sebuah kemuliaan bermula dari ilmu. Ilmu merubah seseorang yang mulanya hina menjadi mulia, yang bukan siapa-siapa menjadi didengar suaranya. Maka seyogyanya seorang muslim juga memuliakan ilmu. Diantaranya adalah dengan menjaga karakteristik ilmu itu sendiri. Khususnya ilmu agama Islam.
Ilmu agama tidak bisa dipahami hanya dengan modal membaca buku (autodidak) dan searching di internet saja. Melainkan juga perlu adanya bimbingan dari ustadz yang ahli di bidangnya.
Said bin Ya’kub suatu saat bertanya kepada Imam Ibnu Mubarak, “Kami menemui nasihat-nasihat di buku-buku, apakah kami bisa mengambilnya?” Imam Ibnu Mubarak menjawab, ”Tidak mengapa jika engkau mendapati di tembok tertulis nasihat-nasihat, ambilah maka engkau memperoleh nasihat.” Dikatakan lagi kepada Imam Ibnu Mubarak, ”Bagaimana dengan fiqih?” Imam Ibnu Mubarak menjawab, ”Tidak lurus (fiqih) kecuali dengan menyimak.” (al-Jami’ li al-Akhlak ar-Rawi, 2/318-319)
Berkaca kepada para ulama, ditemukan keteladanan yang sudah semestinya diamalkan kaum muslimin saat ini. Mari buka mata, lihatlah! Lihatlah lembaran-lembaran sejarah generasi terbaik umat ini. Biarkan hidung meraba, mencium harum jejak kebaikan yang mereka tapaki.
Betapa menakjubkan, mereka sangat ketat dalam menjaga sanad keilmuan. Para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, juga ulama salaf terdahulu belajar langsung dari sumbernya, face to face (bertatap muka).
Perjalanan jauh ditempuh untuk menuntut ilmu, tidak peduli meski jaraknya ribuan kilo meter. Guru di negeri seberang didatangi, tidak peduli meski terik matahari memanggang sekujur tubuh. Karenanya, seorang ulama bernama Abdullah bin al-Mubarak menyebutkan;
“Sanad adalah bagian dari agama. Tanpa adanya sanad, maka siapa saja akan berbicara sesuka hatinya .” (Muqaddimah Shahih Muslim, 1/15)
Sanad terbagi menjadi dua; riwayah dan dirayah. Kajian kelimuan secara sanad riwayah berguna agar teks yang dikaji tidak ada penyelewengan baik berupa pemalsuan teks maupun kesalahan tulisan yang akan berimplikasi terhadap kesalahan makna dan arti teks yang tertulis. Sementara kajian kelimuan berlandaskan sanad dirayah (kontekstual) mempunyai tujuan agar tidak terjadi kesalahan pemahaman dalam mengkaji suatu teks keilmuan.
Realita hari ini
Dalam bukunya A History of Knowledge: Past, Present, and Future, Charles Van Doren, seorang cendikiawan asal Amerika, menggambarkan bahwa zaman sekarang dikenal dengan zaman ledakan ilmu pengetahuan (knowledge explosion). Gambaran Van Doren tersebut benar adanya.
Setiap tahun, ratusan buku dan jurnal diterbitkan. Ilmu pengetahuan baru dan laman web selalu bermunculan dan tersebar di mana-mana. Hanya dalam hitungan detik saja, melalui teknologi internet misalnya, kita dapat mengetahui berbagai kejadian di berbagai belahan dunia, dari ufuk Timur hingga ufuk Barat.
Dizaman yang serba canggih seperti ini banyak hal instant yang mudah diperoleh. Dimanapun, dalam kondisi bagaimanapun, dan kapanpun kita dapat mengakses ilmu agama yang sedang dibutuhkan lewat media cetak, internet, dan lainnya.
Mengkaitkan dengan hukum pemanfaatnnya, tentu kesemuanya sah-sah saja, boleh hukumnya dalam Islam. Seandainya ada seorang muslim belajar dari sumber tersebut ia tidak berdosa sama sekali.
Hanya saja, alangkah lebih baiknya jika pemahaman dari buku bacaan dikonfirmasikan dengan bimbingan dari ustadz yang mumpuni di bidangnya. Orang bisa saja menggali ilmu sendiri secara autodidak, namun yakinlah bahwa ilmunya tidak akan sempurna.
Bahaya, selalu waspadai!
Lebih parahnya, belajar agama tanpa bimbingan ustadz sangat rawan gagal paham ilmu agama. Taruhlah seseorang yang ingin mengetahui makna al-Qur’an. Sesungguhnya lafadz al-Qur’an bisa berupa metafora, mengandung makna ganda dan sifatnya global. Sehingga perlu rincian untuk menemukan hakikat makna sebenarnya.
Tanpa belajar dan tanpa bertanya ke salah seorang ustadz, guru atau orang alim, maka dapat dipastikan dia akan menemui kesulitan. Dan seringnya kesulitan maupun kebingungan yang tidak terarah menyebabkan seorang gagal paham. Jika sudah gagal paham, justru kesimpulan yang dia ambil berpotensi salah dan menyesatkan.
Oleh karena itu, fungsi dari mencari ustadz merupakan satu proses untuk menjaga kemurnian agama dan memastikan keotentikan disiplin ilmu yang diwarisi. Hal ini berdasarkan perintah Allah Ta’ala di dalam al-Qur’an bahwa umat Islam diperintahkan untuk mengembalikan amanah kepada mereka yang berhak.
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil.” (QS: An-Nisa’: 58)
Juga memerintahkan untuk bertanya kepada orang yang berilmu (ahlu dzikir) jika tidak mengetahui sesuatu.
فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl: 43). Wallahua’lam bish showab.*
Ma’had Aly Annur, Waru Baki, Sukoharjo, Jawa Tengah