Hidayatullah.com | UMAR bin Khatab pernah mengingatkan, “Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu, maka kau sedang mengajarkan keberanian pada mereka!”. Sastra bisa menjadi salah satu alat yang efektif mengajarkan akhlakul karimah pada anak-anak.
Allah banyak mengajar manusia menggunakan cerita-cerita dan perumpamaan yang baik di dalam Al Qur’an. Surat Yusuf merupakan surat yang sangat indah, penuh pelajaran, sekaligus menggetarkan hati orang-orang yang beriman. Demikian juga dengan perumpamaan, Allah menggunakan berbagai macam perumpamaan untuk menjelaskan sesuatu kepada umat manusia.
Rasulullah ﷺ juga menyuruh orang tua untuk membacakan kisah-kisah keberanian Nabi dan para sahabat, seperti Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman, Ali dan Muawiyah kepada anak-anak mereka. Hal itu agar dalam diri anak akan tumbuh semangat jihad dan keberanian.
Para ulama terdahulu pun banyak yang menggunakan cerita-cerita dan perumpamaan untuk mengajar. Imam Syafi’i bersyair, Al Khansa bersyair, bahkan para shahabiyah pun bersyair untuk menyemangati para prajurit di medan perang.
Sesuai dengan definisinya secara etimologis, sastra (sas+tra, sanskrit) berarti alat untuk mengajar. Sastra bisa menjadi alat untuk mengajarkan moral, budi pekerti, dan akhlak kepada manusia.
Sastra bisa menjadi wasilah manusia berbudaya, mengenal keindahan, dan peka terhadap kehidupan di sekitarnya. Sastra juga adalah penghubung antara satu orang dengan orang yang lainnya, jembatan antara satu bangsa dengan bangsa lain dapat saling merasai keadaan sesamanya.
Sastra merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia, yang menghadirkan keindahan, keselarasan, harmoni, irama, dan kedamaian dalam setiap gerak kehidupan manusia. Jika sastra terabaikan dari kehidupan manusia, maka manusia tak lebih dari sekedar hewan yang berakal.
Sastra dalam bahasa Arab mempunyai makna adab, di mana kata adab juga berarti akhlak atau budi pekerti dan mencakup makna memberikan pendidikan atau pelajaran. Syed Naquib Al Attas menjelaskan bahwa adab adalah masalah pengakuan atau penempatan tiap-tiap orang yang sesuai dengan haknya.
Kata ‘pendidikan’ dan ‘sastra’ (adab) mempunyai benang merah pada kata adab, di mana keduanya berperan penting dalam menciptakan tatanan sosial dan masyarakat Islam yang madani. Sastra merupakan alat untuk mendidik, mengarahkan, dan memberi petunjuk terhadap kebaikan.
Sementara itu, pendidikan adalah upaya untuk mengembangkan potensi dan kemampuan yang telah dibawa oleh manusia sejak lahir sehingga kita menjadi manusia yang bermanfaat. Sastra dapat menjadi salah satu metode pendidikan atau alat untuk mengarahkan manusia agar menjadi insan yang berakhlak mulia.
Sastra dalam Islam tidak lepas dari perkembangan sastra Arab. Sejatinya, sastra Arab mulai berkembang sejak abad ke-6 ketika masyarakat Arab masih berada dalam peradaban jahiliyah. Masyarakat Arab terkenal memiliki tradisi sastra yang kuat, terutama dalam bersyair.
Sastra Arab kemudian memasuki babak baru sejak agama Islam diturunkan di Jazirah Arab. Al Qur’an telah memberi pengaruh yang amat besar dan signifikan terhadap bahasa dan sastra Arab, termasuk juga terhadap kebudayaan secara keseluruhan.
Selanjutnya, sastra berkembang pesat pada era kejayaan Islam. Pada masa tersebut, sastra mendapat perhatian yang amat besar dari para penguasa Muslim. Para sastrawan di era kejayaan Abbasiyah tak hanya menyumbangkan kontribusi penting bagi perkembangan sastra di zamannya, namun juga turut mempengaruhi perkembangan sastra di Eropa era Renaissance.
Salah seorang ahli sastrawan yang melahirkan prosa-prosa jenius pada masa itu bernama Abu Utsman Umar bin Bahr Al-Jahiz (776 M-869 M), dengan karyanya “Kitab Al-Hayawan” (Buku tentang Binatang). Karya tersebut merupakan sebuah antologi anekdot-anekdot binatang yang menyajikan kisah fiksi dan non-fiksi.
Selain itu, karya lainnya yang sangat populer adalah “Kitab Al-Bukhala” atau Book of Misers, sebuah studi yang jenaka namun mencerahkan tentang psikologi manusia. Pada pertengahan abad 10 M, muncul pula genre sastra yang disebut maqamat, sebuah anekdot yang menghibur yang diceritakan oleh seorang pengembara yang menjalani hidupnya dengan kecerdasan.
Meskipun fungsi sastra sebagai alat untuk mengajar tidak dapat diabaikan, namun banyak kalangan yang beranggapan bahwa sastra tidak penting atau menceritakan kebohongan sehingga tidak perlu dipelajari. Dalam QS Asy Syu’araa (Para Penyair) ayat 224-227, Allah pun telah memperingatkan manusia, bahwasanya “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.”
Dalam perspektif Islam, memang terdapat dua jenis penyair. Ada penyair yang diridhai Allah karena syair-syairnya digunakan untuk membela kepentingan Islam, ada pula penyair yang tidak diridhai karena karya-karyanya bertentangan dengan syariat Islam. Pada masa Rasulullah juga telah terdapat beberapa orang penyair, misalnya Hasan ibn Tsabit, Ka’ab bin ibn Malik, dan Abd Allah ibn Rawahah. Ketiganya adalah penyair muslim yang membela Islam melalui karya-karyanya. Hasan ibn Tsabit misalnya, ia dikenal sebagai julukan Syi’rul Rasul atau penyairnya Rasul, karena beliau telah mencurahkan segala kepandaiannya untuk membela agama islam, terutama bila Nabi dan kaum muslim mendapatkan ejekan dari orang-orang kafir Quraisy.
Ayat di atas menjadi peringatan yang sangat tajam bagi para penyair atau sastrawan. Sastra yang dikehendaki Islam adalah sastra yang mampu mendekatkan para pembacanya kepada Allah. Setiap karya yang dituliskan harus ditujukan untuk berdakwah (da’wah bil qolam) dan amar ma’ruf nahi munkar. Apalagi, sastra merupakan refleksi dari kenyataan dan ideologi yang berkembang dalam suatu masyarakat. Pemikiran seringkali menemukan bentuk dan ruang bicaranya dalam karya sastra. Oleh karena itu, dalam ilmu sastra dikenal istilah-istilah seperti sastra feminis, sastra modernis, sastra postmodernis, sastra islami, dan sebagainya. Semua bentuk sastra di atas merupakan perwujudan dari masing-masing ideologi. Karya-karya semacam itu menjadi berbahaya bila dikonsumsi oleh umat Islam yang tidak memiliki filter atau pondasi agama yang kokoh. Sastra yang penting untuk diajarkan yaitu sastra yang mampu meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah.
Saat ini, dalam tradisi pendidikan kita sastra tidak lagi diajarkan sesuai dengan hakikatnya, bahwa sastra merupakan alat untuk mengajarkan moralitas dan kehalusan budi pekerti. Pendidikan sastra seolah hanya menjadi pelengkap dalam pelajaran bahasa Indonesia. Pelajaran sastra hanya dilakukan sebatas untuk mengetahui nama pengarang, judul karya sastra, dan berbagai analisis struktural semacamnya. Padahal, yang lebih penting menemukan hikmah atau pelajaran yang dapat diambil oleh pembaca dari karya tersebut.*
Penulis alumni Sastra Indonesia UGM dan Program Pascasarjana di Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta