Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
Hidayatullah.com | Kaum Muslimin sepakat bahwa al-Qur`an adalah firman Allah yang Maha Suci (al-Quddus). Ia dibawa oleh malaikat Jibril untuk disampaikan kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Namun ironisnya, ada sarjana Muslim yang tidak rela kaum Muslimin meyakini al-Qur`an sebagai kitab suci agamanya (Islam). Alasannya, kitab itu harus diletakkan dalam “konteks kesejarahan” ketika ditulis. Artinya, ia harus dilucuti dari kesuciannya. (Lihat, Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, dan Ulil Abshar-Abdalla, Metodologi Studi Al-Qur`an [MSA], (Jakarta: Gramedia, 2009, hlm. 3).
Pandangan seperti ini jelas merupakan satu ide asing dan murni gaya orientalis dalam melucuti sakralitas Kitab Suci kaum Muslimin. Mereka berpendapat bahwa yang menjadikan al-Qur`an suci adalah “konteks sejarah,” bukan Allah Subhanahu wa Ta’ala ataupun Nabi Muhammad. Pemikiran seperti itu jelas keliru dan salah sehingga perlu diluruskan agar tidak menjadi virus liar yang menggerogoti keyakinan umat Islam yang sudah “berurat-berakar” dalam nadi keimanan mereka. Berikut ini akan dijelaskan kekeliruan pandangan mereka mengenai sakralitas al-Qur`an.
Masalah Kitab, Mushaf, dan Al-Qur`an
Salah satu nama al-Qur`an yang ada adalah al-Kitab, karena ia merupakan kitab yang tertulis. Ini pun diakui oleh penulis MSA, karena menurut mereka al-Qur`an menyebutkannya dalam banyak ayatnya. Meskipun jelas ada ayat yang menyatakan bahwa al-Qur`an itu al-Kitab, mereka tetap menolak. Malah berdalih bahwa yang dimaksud oleh al-Qur`an adalah “tulisan” secara umum. Menurut mereka, hal itu tidak merujuk kepada satu kesatuan kitab suci utuh. Alasannya, karena pada masa Nabi masih hidup sangat tidak masuk akal membayangkan sebuah kitab suci yang utuh, karena kelengkapan wahyu sangat bergantung kepada usia Nabi. (MSA, hlm. 9).
Apa yang mereka tulis di atas jelas sekali kerancuannya. Pertama, menolak firman Allah bahwa al-Qur`an adalah al-Kitab. Padahal dalilnya sangat jelas, di antaranya seperti tercantum dalam surat al-Baqarah [2]: 2.
Menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, maksud dari al-Kitab adalah satu kitab yang dikenal oleh Nabi Muhammad. Dan kitab ini, mencakup segala hal yang dibutuhkan bagi para pencari kebenaran, petunjuk, dan bimbingan dalam setiap lini kehidupan dunia dan bekal akhirat.
Kedua, apakah tidak mungkin kitab itu ada pada zaman Nabi Muhammad? Atau, apakah kitab suci itu harus utuh dulu baru kemudian absah dan valid disebut al-kitab? Pertanyaan ini dijawab dengan tegas oleh Rasyid Ridha, “Tidak mengapa wujud kitab itu belum ada secara keseluruhan (belum lengkap) ketika waktu diturunkan!” Karena keberadaan sebagian kitab tersebut sudah menjadi bukti valid akan kebenarannya. Sebab, sebagian al-Qur`an sudah turun sebelum ayat ini turun, kemudian Nabi Muhammad diperintahkan untuk menuliskannya. Bahkan, isyarat itu sudah cukup untuk menunjuk kepada surah al-Baqarah yang diakhiri dengan bunyi dengan hudan li’l-muttaqin (cukup dan layak menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa).
Dan isyarat kepada keseluruhan kandungan al-kitab tersebut ketika turun sebagiannya menegaskan bahwa Allah berjanji kepada Nabi Muhammad akan melengkapi kitab tersebut. Jadi, tidak mengapa ketika turunnya belum ditulis secara utuh. Sebab, sudah lazim orang mengatakan, “Saya sedang mendiktekan satu kitab. Atau, kemarilah, akan saya diktekan satu kitab kepadamu!” (Lihat, Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, 12 Jilid, (Cairo: Dar al-Manar, 1366 H/1947 M, 1: 123). Artinya, buku atau kitab tersebut belum sempurna dituliskan, tapi sudah disebut sebagai kitab.
Bagi siapa saja yang menelaah kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh para ulama kita, tidak akan merasa aneh –apalagi menganggap tak masuk akal– jika al-Qur`an itu adalah al-kitab. Oleh karena itu, menurut Imam al-Kisa’i ketika mengomentari kata al-kitab dalam surat al Baqarah: 2, maksudnya adalah: “Isyarat al-Qur`an yang berada di langit dan belum turun.” (Lihat, Ibn ‘Athiyyah al-Andalusi, al-Muharrar al-Wajiz, 6 Jilid, (Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422 H/2001 M, 1: 83). Artinya, itu menunjukkan bahwa al-Qur`an adalah al-kitab.
Selain menolak kata al-kitab, penulis MSA juga menolak jika al-Qur`an merupakan nama bagi al-Qur`an itu sendiri. Alasan mereka karena istilah “al-Qur`an” melewati proses panjang sebelum kitab suci itu dinamakan demikian. (MSA, hlm. 9). Mereka kemudian mencari justifikasi dari kitab al-Itqan karya Imam Jalal al-Din al-Suyuti (w. 911 H). Dimana menurut mereka, Sang Imam mencatat bahwa sepeninggal Nabi, para sahabat berbeda pendapat mengenai nama apa untuk menyebut “kitab suci” mereka. Apakah harus disebut “Injil” seperti kaum Kristen, atau “Sifr” seperti dalam tradisi Yahudi.
Tentu saja alasan mereka itu tidak benar. Sebab, jika kita rujuk langsung ke dalam al-Itqan ceritanya tidak seperti itu. Para sahabat berbeda pendapat dalam masalah penyebutan al-Qur`an bukan sepeninggal Nabi, melainkan ketika Abu Bakr al-Shiddiq selesai melakukan kodifikasi. (Lihat, al-Suyuthi, al-Itqan, 7 Jilid, (al-Madinah al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’ah al-Mushaf al-Syarif, 1426, 2: 344).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Jadi, mereka mengusulkan penyebutan untuk kodifikasi yang dilakukan oleh Abu Bakar, bukan untuk menyebut isi dan kandungan al-Qur`an. Karena namanya Allah langsung yang menyebutkan, bukan buatan para sahabat. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya ayat yang menyebut kitab suci kaum Muslimin ini dengan “al-Qur`an”. (Al-Waaqiah [56]: 77, Al-Muzammil [73]: 20, al-Buruuj [85]: 21).
Jadi, meskipun cerita penyebutan al-Qur`an dengan mushaf, seperti yang diusulkan oleh Abdullah ibn Masud, tidak serta-merta hal itu menjadi dalil bahwa al-Qur`an sebagai wahyu Allah menjadi tidak sakral. Juga tidak sebaliknya, bahwa kata mushaf merupakan sakralisasi al-Qur`an. Karena kitab suci yang agung ini sudah “sakral” sejak semula. Anehnya, istilah mushaf pun dipermasalahkan. Hanya karena berasal dari bangsa Ethiopia, yang menurut mereka merupakan tradisi Kristen di sana untuk merujuk Injil yang dibukukan. (MSA, hlm. 10).
Yang benar, al-Qur`an tidak disebut sebagai mushaf pun namanya sudah al-Qur`an dan banyak lagi. Bahkan, menurut Syaidzalah dalam bukunya al-Burhan, Allah menamai al-Qur`an dengan 55 jenis nama. (al-Suyuthi, al-Itqan, 2: 336).
Jadi, dalam hal ini penamaan al-Qur`an tidak ada problem sama sekali. Para penulis buku MSA hanya terpengaruh oleh gaya dan metodologi orientalis dalam melihat al-Qur`an.*
Penulis alumni Al Azhar