Penolakan hukum Islam sebenarnya berakar dari keengganan meletakkan agama sebagai dasar kehidupan bermasyarakat
Oleh: Khalif Muammar A. Harris
Hidayatullah.com | ISLAM LIBERAL beranggapan bahwa gerakan yang mereka lakukan merupakan alternatif penyatuan agama (faith) dan akal pikiran (reason). Menurutnya, mayoritas umat Islam dewasa ini sudah terjebak dalam pemikiran yang jumud dan tidak memberi ruang kepada akal pikiran untuk berperanan dan berijtihad.
Tentu saja anggapan seperti itu salah dan keliru. Dalam sejarah pemikiran Islam, penyatuan agama dan akal bukanlah perkara baru. Ia sudah menjadi bagian tradisi keilmuan Islam, karena cukup banyak ayat al-Qur’an dan Hadith yang memerintahkan penggunaan akal.
Misalnya dalam melihat tingkah laku dan ucapan Rasulullah ﷺ, serta pemahaman dan aktivitas para sahabat, para ulama tidak pernah meninggalkan akal pikiran. Akal tetap dipakai untuk menerjemahkan tuntutan agama yang dicontohkan oleh Rasul dan Sahabat.
Buktinya, imam-imam mazhab telah membuat istilah-istilah seperti qiyas, istihsan (mengambil yang terbaik), masalih al-mursalah (kemasalahatan bagi manusia) dan maqasid al-shari‘ah (tujuan ditetapkannya syariah) yang merupakan sumber perundangan Islam yang diakui dalam tradisi Islam.
Jika ada kecenderungan ulama sekarang ini kolot dan jumud dalam berfikir, itu bukan berarti tradisi keilmuan Islam atau Islam sendiri sebagai penyebabnya. Justru, ajaran Islam menggalakkan penggunaan akal pikiran dalam kerangka yang dibenarkan oleh syari’ah itu sendiri. Artinya, penggunaan akal itu dibenarkan selama tidak bertentangan dengan wahyu Allah dan sabda Nabi Muhammad.
Sedang kaum Islam Liberal cenderung melihat agama dan akal sebagai dua entitis yang otonom dan independen. Bahkan lebih ironis lagi, agama ataupun syari’ah dianggap memiliki keterbatasan karena jumlah teksnya yang juga terbatas, sehingga ia hanya boleh bergerak dalam ruang yang terbatas. Sedang akal dianggap punya peranan dalam kerangka lebih luas yang dapat memastikan kerelevanan agama dengan dunia dewasa ini.
Para ulama Islam sepakat bahwa penggunaan akal pikiran tidak boleh bertentangan dengan teks al-Qur’an dan al-Sunnah. Artinya, dalam memutuskan suatu perkara tidak boleh lepas dari Al-Qur’an dan hadist.
Ini berbeda dengan kelompok Islam Liberal yang jika menemukan pertentangan antara wahyu dan akal, maka teks Al-Qur’an ditafsiri dengan kaedah hermeneutik atau dipahami secara substantif. Alasannya, supaya tidak terpaku kepada pemahaman literal terhadap syari’ah, akan tetapi pemahaman yang liberal.
Berangkat dari metodologi dan cara berfikir inilah, tidak sedikit dari mereka yang hanya melihat syari’ah sebatas nilai-nilai universal yang juga ada dalam peradaban Barat.
Penolakan Terhadap Otoritas Agama
Akibat dari metodologi dan cara berfikir seperti itu, maka mereka cenderung menolak otoritas agama. Dalam hal ini mereka menggunakan menggunakan metodologi relativisme, yaitu penolakan terhadap kebenaran secara mutlak. Menurutnya kebenaran itu relatif dan seseorang atau sekelompok orang tidak boleh mengklaim kebenaran itu.
Penolakan otoritas agama bagi Islam liberal sangat penting artinya. Tujuannya, agar kebebasan berpendapat/ijtihad dapat dilakukan dengan sebebas-bebasnya. Dan hanya dengan cara inilah liberalisasi Islam akan berhasil. Atas dasar inilah kemudian mereka banyak merujuk karya-karya orientalis-kristen yang dianggap memiliki otoritas yang cukup kritis dan dapat mengemukakan pendekatan yang lebih rasional dan berbeda.
Pendapat mereka itu jelas tidak bisa kita terima. Sebab Islam menetapkan bahwa otoritas dalam ilmu pengetahuan sangat penting. Cukup banyak ayat dan hadis yang menuntut umatnya menghormati ilmuwan dan berpegang kepada disiplin ilmu.
Disiplin ilmu apapun memerlukan otoritas. Islam adalah subjek ilmu yang cukup ketat dalam menentukan siapa yang layak dijadikan guru. Tanpa adanya kriteria-kriteria tertentu dalam pemilihan guru maka penyelewengan terhadap agama sangat mudah sekali terjadi.
Setiap disiplin ilmu ada otoritasnya masing-masing. Misalnya dalam bidang kedokteran, maka yang punya otoritas dalam bidang ini adalah pakar-pakar kedokteran.
Demikian juga dengan ilmu tentang Islam, maka pakarnya juga ada. Misalnya di bidang syari’ah, aqidah, tafsir, hadis, dan ilmu-ilmu lainnya. Para pakar di bidang ilmu tersebut telah mengeluarkan segenap energi dan waktu untuk menguasai bidang itu yang juga dilakukan oleh pakar kedokteran dan sains. Bahkan dari ribuan orang yang berusaha menguasai cabang keilmuan Islam hanya segelintir saja yang diakui sebagai pakar yang menjadi rujukan.
Golongan Islam liberal berpendapat bahwa otoritas terhadap agama hanya akan memberi pengaruh negatif. Ini karena ulama dianggap memonopoli kebenaran dan menghukum pandangan lain sebagai tidak islami, sesat dan sebagainya.
Pandangan kaum liberal ini juga keliru. Kekeliruan itu timbul akibat kesalahpahaman atau distorsi yang disengaja. Terbukti otoritas ilmu sendiri tidak mengisyaratkan terjadinya hirarki dalam Islam. Islam sama sekali tidak pernah meletakkan ulama sebagai wakil Tuhan atau pemegang kekuasaan pengganti Tuhan sebagaimana berlaku dalam tradisi Nasrani dan pemerintahan gereja di zaman kegelapan (Dark Ages).
Dalam Islam ijtihad ulama tidak mutlak kebenarannya. Oleh karena itu pandangan ulama tidak mesti benar. Pandangannya hanya boleh diterima jika terbukti sesuai dengan kehendak syari’ah dan terbukti kesahehannya.
Di sinilah dalam tradisi Islam kita mengenal konsep qawl al-jumhur (pandangan majoritar), dan ijma’ (kesepakatan ilmuwan). Konsep ini sangat penting dalam tradisi keilmuan Islam.
Penolakan terhadap otoritas agama memberi ruang yang luas kepada golongan Islam Liberal untuk berijtihad dengan bebas. Kurzman menggunakan istilah yang berlainan agar tampak sophisticated yaitu “freedom of thought” dan “freedom of religious interpretation”.
Bertolak dari premis inilah golongan Islam liberal melihat perlunya umat Islam mempertimbangkan hermeneutika al-Qur’an selain tafsir al-Qur’an yang dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman modern ini.
Nasr Hamid Abu Zaid disebut sebagai tokoh hermeneutik Islam Liberal saat ini. Namun bukunya, Mafhum al-Nas mendapat tantangan keras dari para sarjana Muslim.
Penolakan terhadap Syari’at Islam
Setelah kaum liberal berusaha menolak otoritas Qur’an, kemudian mereka akan menolak syari’at Islam. Al-Na’im pengikut setia tokoh kontroversial Mahmud Muhammad Taha dari Sudan, menulis buku pada tahun 1990 berjudul ‘Toward an Islamic Reformation’ yang intinya merombak pemahaman kaum muslimin terhadap syari’at Islam. Menurutnya, syari’at Islam itu tidak suci (divine). Ia mengkampenyekan perlunya syari’at Islam khususnya Islamic public law dirubah karena teks agama tidak perlu diikuti secara literal.
Bahkan menurutnya, pelaksanaan hukum Islam saat ini hanya akan memberi kesan counter-productive. Karena pelaksanaannya sangat bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Pendapat tersebut, kalau kita telusuri tidak lepas dari pengaruh orientalis. Dasarnya adalah kajian orientalis seperti Goldziher, Schacht dan Coulson yang mengatakan bahwa syari’at Islam adalah hasil ciptaan ulama dan fuqaha selama tiga ratus tahun.
Namun pendapat tersebut telah dibantah oleh M. Mustafa al-Azami yang berhasil membatalkan premis-premis Schacht tentang syari’ah. Menurut Azami, para orientalis tidak bisa membedakan antara syari’ah dengan fiqh, antara thawabit (tetap) dan mutaghayyirat (yang berubah), antara perkara-perkara yang disepakati atau qat’iyyat dan perkara-perkara ijtihadi.
Ironisnya, penolakan hukum Islam sebenarnya berakar dari keengganan meletakkan agama sebagai dasar kehidupan bermasyarakat. Oleh kerana itu penolakan syari’at Islam merupakan kesinambungan dari pemikiran sekularisme yang sudah diakui oleh al-Naim sendiri.*
Associate Professor of Islamic Thought, Universiti Teknologi Malaysia (UTM). Artikel pernah dimuat di Majalah Hidayatullah