Cara pandang terhadap kehidupan dalam Islam sangat menyeluruh tidak parsial, termasuk dalam dunia pendidikan
Oleh: Alvin Qodri Lazuardy | Founder Majelis Budaya Ilmu Tegal
Hidayatullah.com | CARA pandang terhadap kehidupan dalam Islam atau boleh disebut dengan worldview Islam mempunyai banyak keunikan. Di antara keunikan tersebut adalah Islam dalam memandang dunia sangatlah menyeluruh dan utuh.
Memandang dimensi zhahiriyah dan dimensi bathiniyah. Sebagai tamsil, pendidikan dalam Islam bukanlah sekadar transformasi pengetahuan secara zhahir saja, namun ia sampai pada penanaman adab dan akhlaq al-karimah kepada peserta didik.
لَا تَنْظُرَنَّ لِأَثْوَابٍ عَلَى أَحَدٍ # إِنْ رُمْتَ تَعْرِفَهُ فَانْظُرْ إِلَى الْأَدَبِ
“Janganlah engkau melihat pakaian yang ada pada seseorang
Jika engkau ingin mengenal orang itu maka lihat adabnya.”
Dari ini sangat kentara, bahwa ciri khas Islam adalah komprehensif bersifat syumul, menyeluruh dari elemen terlihat (visible) dan yang tidak terlihat (invisible). Selaras dengan salah satu pilar pendidikan nasional.
Termaktub dalam UUD 45’ pasal 31 di ayat 3 berbunyi; “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Jika menelaah secara mendalam, tujuan pendidikan nasional yang termuat pada pasal 31 UUD 1945 menegaskan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan keimanan (iman), ketakwaan (taqwa) dan akhlak mulia yang memberikan implikasi untuk mencerdaskan segenap bangsa. Tak hanya itu, dalam UU No 20/2003 tentang SISDIKNAS dan UU no 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah membentuk bahwa tujuan pendidikan Nasional adalah membentuk manusia beriman, bertakwa dan berakhlak mulia, serta telah ditegaskan berulang kali dan dirinci dalam peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Standar Kompetensi Lulusan Permendikbud No.20 tahun 2016.
Dari telaah ini, terdapat beberapa kata kunci dalam pilar pendidikan nasional, tersemat di dalamnya kata iman, taqwa dan akhlaq al-karimah, boleh dibilang ketiga kata ini adalah kunci dalam worldview Islam terkhusus dalam ranah pendidikan (ta’dib) yang bersifat metafisik (bathiniyah) bersemayam dalam hati (qalb), sekaligus sebagai penegasan bahwa pendidikan nasional berprinsip bukan hanya pada dimensi fisik (zhahiriyah), namun ia menyeluruh sampai pada dimensi metafisik (bathin).
Namun, cara pandang kepada kehidupan di dunia ini, bukan hanya seperti Islam saja, banyak pandangan hidup yang seiring zaman menjadi tren di kehidupan semasa ini. Lawan dari pandangan yang konfrehensif (syumul) ialah pandangan dikotomik menempel sifat-sifat sekularistik.
Memisahkan dimensi yang seharusnya sudah mapan dan baku menjadi satu, namun kemudian diputus, dipisahkan dan diredefinisi yang jauh dari makna sebenarnya. Tren sekularistik telah mencabar bangunan mapan cara pandang Islam terhadap pendidikan.
Sekularistik memisah, memecah dan membilah kesatuan dari hal-hal luaran (zhahir) dan dalaman (bathin). Mempromosikan kebagusan baju luaran dan tidak memperdulikan kedalaman jiwa (nafs).
Akibatnya, pendidikan di zaman ini lebih suka memandang baju luaran saja. Sekolah-kuliah untuk sekadar untuk kerja, mencari materi sebagai standar keberhasilan, bahkan membatasi rezeki hanya berbentuk materi.
Seperti halnya beberapa upaya memasukkan kurikulum yang jauh dari nilai-nilai Islam yang haqiqi, sebagai contoh; penekanan pendidikan hanya aspek skill-kogintif saja tidak ditanamkan nilai-nilai terpadu konatif-afektif yang berbasis agama, pendidikan multikulturalisme-moderasi agama yang berbasis pluralisme agama, bahkan pendidikan kesetaraan gender yang menginduk kepada sejarah kelam wanita di Barat.
Semua itu pada hakikatnya tidak sejalan dengan apa yang menjadi konsesus bersama tentang pendidikan nasional.
Kembali pada penginsyafan “pendidikan Islam”, tujuan utama dalam laju dan proses pembinaan Islam bermuara pada mencetak “insan adabi” manusia yang beradab. Seperti dalam uraian buku Konsep Pendidikan dalam Islam karya ulama Melayu Prof. Naquib al-Attas bahwa tujuan utama dalam pendidikan (ta’dib) adalah mencetak orang yang baik dan beradab.
Dalam renungan Prof. al-Attas, “insan adabi” (Manusia yang Beradab) adalah muara dalam pendidikan manusia (ta’dib). Manusia beradab menyadari dirinya sebagai hamba Allah yang senantiasa berserah (muslim) diri kepada-Nya dengan ikhlas, jujur dan adil serta memahami potensinya sebagai manusia seutuhnya yaitu tiada lain menjadi mukhlisina lahu ad-ddin.
Allah berfirman
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Ku ciptakan manusia dan jin, melainkan beribadah kepada-Ku”. (QS: Adz-Dzariyat: 56).
terimplikasi menjadi manusia yang beradab kepada Allah, rasul, ulama dan kepada dirinya sendiri. Lebih dalam, di taraf kehidupan mampu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, mampu berbuat adil kepada Allah dan dirinya sendiri.
Menjadi manusia beradab dengan perangai ilmu yang manfa’at. Dari sini, terlihat kembali bahwa inti pendidikan Islam adalah mencetak orang yang baik, orang yang baik disini bukanlah baju luarannya (zhahir) yang terlihat mentereng, namun baik di dalam sisi kedalaman hati (qalb) yang berupa adab.
Seyogyanya, pendidikan dalam semasa ini mempunyai visi: memandang manusia bukannlah melihat baju luarannya saja, namun lihatlah manusia itu dalam sisi adabnya. Selanjutnya dalam rangka taat dan patuh UUD 45’ pasal 31 ayat 3, bahwa pendidikan itu mendidik manusia agar melihat realitas kehidupan ini dengan iman, taqwa, akhlaq al-karimah dan adab.
Pendidikan Islam tidak hanya mendidik manusia membaguskan baju luar saja, karena untuk memandang nilai manusia bukan dari pakaiannya, melainkan lihatlah bagaimana adabnya.*