Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
KAMPANYE dan usaha-usaha untuk menegakkan syariat Islam dalam sistem kenegaraan di Indonesia sudah sangat sering kita dengar. Sejak Reformasi berhasil menjembatani partai Islam tampil ke gelanggang politik, tidak sedikit pula partai yang memperjuangkan ini. Namun sayang, sebagian besar partai yang mengusung kampanye penegakan syari’at Islam tidak dapat meraih suara yang menggemberikan dalam setiap Pemilu, apalagi menjadi pemenang.
Walaupun begitu bukan berarti penegakkan syari’at Islam dalam sistem kenegaraan kita tidak pernah terjadi dan tidak ada sama sekali. Sebab, sejatinya Indonesia adalah negara yang pernah menjadi basis kerajaan-kerajaan Islam yang menerapkan hukum Islam dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Bila memang benar begitu bagaimana perwujudan syari’at Islam dalam sistem tata negara kita saat ini? Bukankah dasar negara kita adalah Pancasila dan UUD 1945? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini Jeje Zaenudin, salah seorang deklarator MIUMI dan Pengurus PP Persatuan Islam, pada bulan Oktober 2013 silam berhasil mempertahankan disertasinya di Jurusan Hukum Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung. Disertasi yang saat diajukan dalam Sidang Terbuka berjudul Gradualitas Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Manhaj Penegakan Syariat Islam di Indonesia) ini kemudian diterbitkan Maret 2015 oleh Penerbit Pembela Islam dengan judul Metode dan Strategi Penerapan Syariat Islam di Indonesia. Disertasi ini oleh promotornya, Prof. Dr. Juhaya S. Praja memang didorong untuk segera diterbitkan mengingat isinya yang sangat penting untuk dibaca dan diketahui oleh masyarakat.
Menurut Juhaya dalam Kata Pengantar-nya untuk buku ini, ada temuan penting di dalamnya yang harus diketahui publik. Pertama, penulisnya berhasil memperkaya teori legislasi hukum Islam di Indonesia, yaitu teori asas “tadarruj” atau “gradual” dalam pengundangan hukum Islam. Kedua, penulisnya berhasil merumuskan aplikasi yang bisa ditempuh untuk melegislasi hukum Islam di Indonesia.
Melalui kedua temuan tersebut ada banyak manfaat bagi masyarakat, terutama dalam konteks perkembangan sistem hukum di negara-negara modern. Dari segi akademik, temuan ini dapat dijadikan dasar untuk penelitian lanjutan bagaimana di negara-negara Islam lain hukum Islam dapat diformalkan melalui model yang sama, yaitu model tadarruj. Bisa jadi juga, bila di negara lain ada yang lebih baik dari model tadarruj seperti yang ditemukan dalam kasus Indonesia, bisa menjadi alternatif teoretis lain untuk menerapakan syariat Islam dalam sistem kenegaraan modern yang dikenal dan diterima di dunia saat ini. Apabila riset di negara-negara lain ini dapat dilakukan, ini akan semakin memperkaya spektrum model penerapan syariat Islam di negara-negara modern saat ini.
Dalam konteks gerakan-gerakan penegakan syariat Islam di Indonesia, temuan ini juga sangat penting untuk menjadi jembatan yang dapat meredakan ketegangan tidak produktif antara negara dengan gerakan-gerakan pengusung syariat Islam. Selama ini karena tidak secara eksplisit NKRI menyatakan dasar negaranya adalah “Islam”, maka negera ini secara otomatis dianggap “anti-Islam”. Bahkan lebih ekstrim lagi ada yang menyatakan negara ini sebagai “negara kafir”. NKRI pun akhirnya diplesetkan menjadi Negara “Kafir” Republik Indonesia. Banyak yang secara pukul rata dan serampangan menuduh sistem demokrasi yang dipakai di Indonesia sama saja dengan di negara-negara sekuler Barat yang sama sekali menolak agama.
Oleh sebab itu, tidak segan-segan stigma “kufur” terhadap negara ini menjadi amat murah diumbar. Pandangan semacam ini akhirnya menimbulkan satu titik ekstrem memusuhi negara dengan legitimasi keyakinan agama di kalangan sebagian umat Islam.
Permusuhan ini menjadi tidak produktif karena potensi umat yang besar dan segar ini akhirnya hanya digunakan untuk menghujat dan mencaci maki negara, tanpa memberikan kontribusi riil terhadap perubahan ke arah yang lebih baik bagi negara ini. Sikap mereka yang cenderung ingin melakukan perubahan sistem kenegaraan secara revolusioner dan instan akhirnya berpotensi melahirkan tindakan-tindakan radikal dan ekstrem yang seringkali merugikan umat. Tuduhan-tuduhan teroris, separatis, dan semisalnya seringkali dialamatkan kepada gerakan-gerakan ini. Ini tentu saja menjadi menyulitkan gerakan lain yang ingin mencoba melakukan perubahan secara lebih halus dan tidak menimbulkan gejolak berlebihan di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas meyakini kebenaran Islam.
Sikap dan pandangan yang revolusioner itupun membuat kubu sekuler yang tidak senang dengan penerapan hukum-hukum berbau agama dalam sistem hukum negara menjadi punya kesempatan untuk semakin mengokohkan pandangannya bahwa di Indonesia tidak diperlukan undang-undang yang berasal dari agama. Mereka selalu akan berdalih bahwa agama berpotensi menimbulkan kekerasan, ketidaksetiaan pada negara, dan bahkan separatisme. Dengan mudah mereka akan menunjuk gerakan-gerakan pendukung syariat yang revoluisoner yang cenderung radikal dan revolusioner.
Pendirian “negara Islam” mereka ciptakan menjadi “hantu” yang setiap saat selalu akan mengancam keutuhan negara. Alhasil, bagi kalangan sekuler sikap revolusioner dan penolakan sepenuhnya terhadap negara semakin membuat mereka punya energi untuk membentuk negara ini berdasarkan konsepsi sekuler-anti agama yang mereka yakini.* (BERSAMBUNG)
Ketua Umum Pemuda PERSIS, peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS)