Oleh: Izzul Muslimin
Hidayatullah.com | Kompetisi, satu kata penuh makna dan tafsiran. Secara bahasa kompetisi mempunyai arti suatu pertandingan/usaha untuk memperebutkan kejuaraan. Ketika berbicara mengenai kompetisi, pastilah ditemukan pemenang yang menenangkan dan pecundang yang kalah dalam pertandingan.
Upaya saling menjatuhkan demi mendapatkan gelar juara kerap dilakukan dalam satu kompetisi. Seakan hal positif, kompetisi ini kemudian diadaptasi oleh beberapa instansi atau lembaga pendidikan.
Dalam dunia pendidikan selalu menjadi doktrin bahwa orang yang bodoh akan menjadi pecundang di masa depan. Akhirnya para siswa berlomba-lomba untuk menjadi pintar dan menjadi nomor satu dalam sekolahnya.
Budaya kompetisi angat baik jika tidak mengesampingkan hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Parahnya, atmosfer kompetitif yang ada dilingkungan mengajarkan kita pemikiran bahwa orang yang gagal disebabkan karena mereka tidak berusaha dengan keras dalam kompetisi tersebut dan murni karena kesalahan mereka sendiri.
Konsep ini menegasikan bahwa keberhasilan yang seseorang raih adalah berkat usahanya sendiri yang bersungguh-sungguh dalam kompetisi. Dari paradigma menyalahkan seseorang yang menjadi pecundang dalam kompetisi, lahirlah sikap individualis yang berorientasi hanya pada diri sendiri serta acuh terhadap apa yang menimpa orang lain.
Individualisme mengajarkan agar senantiasa berusaha semaksimal mungkin dengan cara apapun untuk menjadi pemenang dalam satu kompetisi. Pun yang berkaitan dengan masalah kekayaan dan kepemilikan harta, seseorang akan melakukan apapun demi memiliki kekayaan yang berlimpah.
Seseorang akan menjatuhkan kompetitornya untuk menumpuk kekayaan dan mendapatkan komoditas sebanyak-banyaknya. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menjadikan kultur akumulasi kapital sebagai cikal bakal kapitalisme.
Dilihat dari persepsi publik, kompetisi semacam ini merupakan sistem berkeadilan karena memang seakan tidak ada kecurangan dalam konsep ini. Tetapi jika kita kaitkan dengan penumpukan harta dan kepemilikan pribadi yang absolut, maka islam dengan tegas menentangnya.
“Katakanlah (Muhammad), “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai Tuhan) selain Allah! Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka sama sekali tidak mempunyai peran serta dalam (penciptaan) langit dan bumi dan tidak ada diantara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya”. (QS: Saba’: 22)
Kepemilikan merupakan subjek yang sangat penting dalam keadilan, terutama dalam kerangka keadilan ekonomi. Dalam konsep Islam asal muasal kepemilikan dan yang merupakan kepemilikan absolut adalah Allah (AL-Qur’an, Saba’:22 lihat juga Al-Imran: 189, Al-Maidah: 18). Banyak ayat yang menjelaskan dengan narasi “Dan milik Allah lah semua yang ada di langit dan di bumi”.
Hal ini telah dengan jelas menyatakan bahwa posisi awal seluruh sumber daya adalah hak mutlak Allah. Oleh karenanya disebutkan pula dalam kalimat thayyibah yang terkenal, innalillahi wa inna ilaihi raji’uun yang mempunyai arti “sesungguhnya semuanya milik Allah dan kepada-Nya lah semuanya akan kembali. Seperti yang lumrah pada umumnya, hak milik akan dikembalikan kepada pemiliknya.
Prinsip awal yang menyatakan bahwa semua harta kekayaan maupun sumber daya adalah milik Allah tercantum juga dalam nama-nama indah-Nya yakni Al-Malik. Dari prinsip ini bisa diambil negasi bahwa, lembaga, maupun perseorangan tidak berhak dalam kepemilikan absolut, bahkan seseorang tidak dibenarkan mempunyai hak mutlak atas dirinya sendiri.
Berbeda dengan prinsip keadilan menurut Islam, keadilan versi libertarianisme yang mengatakan bahwa dunia pada awalnya tidak memiliki siapapun. Proposisi ini jelas merupakan kebalikan dari postulat keadilan dalam Al-Qur’an tentang kepemilikan primordial atas segala sesuatu. (Zakiyuddin Baidhawy. Islam Melawan Kapitalisme. Resist Book, Yogyakarta 2007).
Dengan berdasar pada prinsip kepemilikan individu mutlak ini berdampak pada munculnya persepsi bahwa kepentingan pribadi berada diatas segalanya.
Kompetisi untuk mendapatkan akumulasi laba semakin tidak teratur dan penghalalan segala cara mendapat ruang tersendiri dalam iklim kompetisi ini. Imbasnya, distribusi kekayaan akan berputar hanya pada segelintir orang saja.
Inilah yang terjadi pada kebanyakan negara yang menganut liberalisme klasik, tumpukan kekayaan beberapa orang masih tetap lebih besar jika dibandingkan harta kolektif milik kaum buruh miskin maupun pekerja rendahan.
Keadilan yang sesungguhnya bukan hanya berbicara masalah usaha apa yang dilakukan, dan imbalan apa yang didapat menurut egoisme individu. Bukan pula mengenai pembenaran atas cara memperoleh harta kekayaan yang seakan-akan tidak melanggar hak dan kewajiban.
Keadilan dalam Islam, berbicara lebih dari itu semua. Dalam masalah keadilan, kata yang sering digunakan dalam Al-Qur’an adalah ‘adl dan qist.
‘Adl dalam bahasa Arab bukan hanya diartikan sebagai keadilan, melainkan juga mengandung makna penyamarataan (equalizing) dan kesamaan (leveling). Penyamarataan dan kesamaan ini berlawanan dengan kata zulm dan jaur (kejahatan dan penindasan). Qist mengandung makna distribusi, angsuran, jarak yang merata dan juga keadilan, kejujuran serta kewajaran.
Postulat kepemilikan dalam islam lebih kompleks dan lebih menyatakan keberpihakan yang nyata pada kaum mustadh’afin (lemah). Bukan hanya berpijak pada klaim sepihak atas perbendaharaan yang dimiliki secara mutlak dengan berbagai pembenaran cara memperolehnya.
Bahkan, jika mendapat kekayaan yang dimiliki pribadi dengan cara memperoleh yang dihalalkan dalam agama, perbendaharaan itu bukanlah absolut milik perseorangan pribadi. Al-Qur’an menarasikan dengan lugas, “Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta.” (Adz-dzariyat: 19).
Dalam ayat ini dengan jelas memerintahkan pendistribusian kekayaan kepada orang-orang yang lemah secara ekonomi serta menggaris bawahi bahwa tidak ada kepemilikan pribadi yang bersifat absolut.
Harta kekayaan tidak bisa dimiliki secara absolut oleh individu meskipun dengan cara yang dibenarkan dalam Al-Qur’an. Pembatasan atas hak penguasaan kekayaan ini bukan berarti haram untuk bercita-cita kaya, melainkan upaya untuk mengatur harta kekayaan agar tidak terjadi perputaran harta kekayaan pada segelintir orang yang akan berimbas pada kesenjangan sosial. Pembatasan hak kepemilikan ini patuh pada batasan-batasan “kuantitas” tertentu, seperti yang diperintahkan dalam hadis berikut:
“Dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ bersabda… “Seperti engkau katakan tentang hal ini, maka sesungguhnya aku melihat hasil (kekayaan) dari apa yang aku peroleh darinya, lalu aku sedekahkan sepertiganya, aku dan keluargaku memakan sepertiganya dan sepertiganya aku tabung dan investasikan.” (HR: Muslim).
Narasi yang disuguhkan dalam hadits ini secara tidak langsung memberi kejelasan tentang batasan kuantitas yang berhak penguasaan harta kekayaan oleh individu, yakni 2/3. Sepertiga sisanya merupakan hak orang miskin yang harus diberikan secara wajib maupun sukarela.
Allah sebagai pemilik mutlak atas segala hal yang ada di langit dan di bumi memberikan amanat untuk mengelola sumber daya yang ada di dunia ini. Manusia hanya memiliki mandat kewenangan yang didelegasikan oleh Allah yang disebut ikhtilaf. Karena delegasi kepemilikan inilah diasumsikan adanya hak penguasaan atas kepemilikan secara terbatas, bukan penolakan atas konsep kepemilikan pribadi.*
Mahasiswa Universitas Diponegoro | Lingkar Studi Tjokro Semarang