“Memakai hijab bukan ekstremisme. Memelihara jenggot bukan ekstremisme. Menganggap Bahasa Arab sebagai bahasa utama umat ini bukan ekstremisme. Menolak undang-undang (buatan) asing bukan ekstremisme. Mengedepankan tradisi Islam bukan ekstremisme. Semua ini adalah agama. Berpegang-teguh padanya adalah sebuah kewajiban. Dan, membelanya adalah hak setiap Muslim.” (Syekh Muhammad al-Ghazālī)
Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
Hidayatullah.com | SEJAK 2001 silam tuduhan kepada Islam sebagai agama teroris dan mengajarkan terorisme terus berlangsung. Tuduhan seperti ini akan terus berlanjut hingga masa yang akan datang.
Islam memang akan terus diserang (Qs. 2: 217), kata Allah. Bahkan, ada semacam skenario hebat agar dunia sepakat bahwa Islam memang demikian: agama kekerasan, ekstremisme, dan radikalisme plus fundamentalisme.
Padahal, umat yang tidak punya kekuatan militer secara umum disepakati adalah umat Islam. Negara-negara yang dinilai sebagai negara berkembang (penghalusan dari ‘terbelakang’) adalah negara-negara Islam. Jadi, dari mana dalilnya Islam dianggap mengajarkan ekstremisme, radikalisme bahkan terorisme? Dalil yang paling kuat adalah ‘opini’ dan tipu-daya yang sudah disepakati oleh musuh-musuh Islam.
Beberapa fakta memang menyebutkan sebaliknya. Misalnya, selama Perang Dunia Pertama (1914-1918) dan Perang Dunia Kedua (1939-1945) jelas bahwa yang menyulutnya bukan negara-negara Islam. Yang menyulutnya adalah negara-negara Barat, yang dikenal sebagai negara yang punya kekuasaan. Karena mereka yang menjajah negara-negara Islam. Dan korbannya adalah negara-negara Islam.
Pembersihan etnik yang terjadi di Bosnia-Herzegovina yang menjadi korban adalah umat Islam. Bayangkan, hanya dalam tempo 5 hari sebanyak 8000 (bahkan ada yang menyebut 10.000) Muslim dibantai. Sungguh biadab dan tak berprikemanusiaan. Di sini, siapa yang ekstrem dan siapa yang teroris?
Konflik Yahudi-Muslim di Palestina sudah jelas korbannya adalah Muslim. Jika bangsa Palestina melakukan perlawanan, meskipun hanya menggunakan ketapel, langsung dicap teroris.
Padahal, yang selalu melakukan teror bahkan upaya melenyapkan kaum Muslimin dari Baitul Maqdis adalah kaum Zionis-Yahudi yang disponsori oleh negara-negara Barat. Buktinya, setiap kali berlangsung tindakan brutal dan kejam dari zionis-Yahudi dunia bungkam: diam seribu bahasa.
Bukankah ini tindakan biadab. Karena diam di depan kezaliman adalah kejahatan. Di sini, siapa sebenarnya terorisnya? Siapa para ekstremisnya?
Di Indonesia juga tak berbeda kondisinya. Hal-hal yang identik dengan Islam selalu saja dituduh ekstrem, radikal, fundamentalis. Bahkan, terkadang dituduh bertentangan dengan Pancasila.
Padahal, Pancasila adalah hadiah termahal umat Islam untuk bangsa ini. Adalah tidak logis jika umat Islam yang mengkhianatinya. Anehnya, orang seenaknya mengaku paling Pancasilais meskipun perilakunya terkesan komunis.
Di negeri mayoritas Muslim ini, bayangkan, sudah ada yang berani menuduh para hafizh/hafizah Al-Quran sebagai ‘calon-calon teroris’. Ini tuduhan biadab dan jelas pelakunya ekstremis, tak beragama.
Ada lagi yang menyatakan terang-terangan bahwa terorisme itu punya agama. Agamanya adalah Islam. Tapi, dia mengaku sebagai Muslim.
Belum lagi penghinaan terhadap Allah, Al-Quran, Nabi Muhammad, hingga simbol-simbol Islam lainnya. Yang mengaku sebagai “nabi” di negeri ini datang silih-berganti. Belum lagi kaum kafir yang berani “menafsirkan” dan memahami Al-Quran seenak perutnya.
Ini jelas bentuk teror yang sesungguhnya. Ini tindakan ekstremis sejati. Tapi, selalu saja yang dituduh pelaku teror dan ekstremis adalah umat Islam. Lucunya, yang menuduhnya selalu saja mengaku Muslim.
Jika ditelisik lebih dalam dapat dilihat bahwa orang-orang yang menuduh Islam dan umat Islam itu radikal adalah kaum kafir dan kelompok munafiq. Jika orang yang berlaku radikal atau ekstrem dalam beragama didasari karena salah faham atau jahil terhadap doktrin agama, maka dapat dipastikan yang menyerang adalah orang-orang yang tidak beragama.
Karenanya sangat aneh jika ada orang yang mengaku Muslim tapi menyerang Islam. Agaknya, tidak ada seorang Hindu yang menyerang Hinduisme. Tak ditemukan seorang Kristen menjelek-jelekkan Kristianitas. Atau, ada Yahudi yang menyudutkan Judaisme. Tapi, yang mengaku Muslim kok banyak yang menghujat Islam.
Mereka ini pasti bukan Muslim sesungguhnya. Mereka, meskipun ber-KTP Islam, dapat dipastikan sebagai kaum munafik.
Orang-orang yang menyerang Islam atas nama “memerangi ekstremisme” adalah kaki-tangan kaum penjajah. Motto mereka memang “memerangi ekstremisme”, padahal mereka tengah memerangi agama.
Mereka ini adalah kelompok yang kosong iman sehingga mudah dididik di atas “meja makan” kolonialis internasional. Segala hal harus diukur menurut logika mereka.
Tujuan utama mereka memang “menghapuskan Islam”, bukan yang lain. Dalam bahasa Syekh Muhammad al-Ghazālī adalah Yuhāribūna at-Tadayyun, Lā at-Tatharruf (Mereka tengah memerangi sikap beragama, bukan memerangi ekstremisme) (Lihat, Syekh Muhammad al-Ghazālī, “Yuhāribūna at-Tadayyun, Lā at-Tatharruf”, dalam Syekh Muhammad al-Ghazālī, al-Haqq al-Murr (Kairo: Dār as-Syurūq, 1414/1993), 25).
Kondisi inilah yang sedang berlaku di merata dunia Islam, termasuk di Indonesia. Dengan gampang mereka menyudutkan Islam dan saudara mereka sesama Muslim.
Lihatlah kasus terakhir, kasus Palestina. Dengan enteng ada yang menyebut bahwa masalah Palestina bukan urusan kita. Ada yang mati-matian “menjadi Yahudi”, sampai disebut sebagai Yahudi Pesek, hanya membela Yahudi sang penjajah sejati itu.
Padahal tindakan mereka ini sudah melanggar hukum, bahkan konstitusi. Karena pada 1962 Presiden Soekarno sudah menyatakan bahwa ‘Israel’ adala penjajah.
Dengan tegas Presiden Soekarno menyatakan: “Selama kemerdekaan Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, selama itu bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan ‘Israel’.”
Belum lagi jika ditelisik sampai kepada UUD 1945. Dalam Preambule-nya sudah jelas bahwa Indonesia menentang segala bentuk penjajahan di atas muka bumi ini. Maka, aneh bin ajaib jika ada yang menyalahkan Palestina dan menganggap masalah Palestina bukan urusan kita. Padahal, “al-Quds qadhiyyah kulli Muslim” (al-Quds adalah tanggung jawab setiap Muslim), kata Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Memang mereka sebenarnya sedang memerangi Islam, bukan memerangi ekstremisme maupun radikalisme. Wallāhu a‘lam bis-shawāb.*
Pengajar di Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah (Medan) & Penulis Buku Islam versus Pluralisme Agama (2019) dan Fiqih Peradaban (2020)