Jika syariat Islam menjadi gaya hidup (way of life) umat Islam di era kejayaan peradaban Islam, maka ilmu adalah obsesi mereka dalam menata bumi
Oleh: Teuku Zulkhairi
Hidayatullah.com | KAMPUS-KAMPUS negeri saat ini sedang memberikan pengenalan budaya akademik dan kemahasiswaan bagi ribuan mahasiswa barunya. Begitu juga kampus-kampus swasta lainnya di seluruh Indonesia yang juga pastinya akan menerima begitu banyak mahasiswa baru.
Kita tidak ragu bahwa tekad mereka menjadi mahasiswa atau mahasiswi sepenuhnya adalah untuk menuntut ilmu. Peribahasa mengatakan, “banyak ilmu makin maju”. Peribahasa lain berbunyi: “Dengan ilmu jadi mudah. Dengan seni jadi indah. Dengan agama jadi terarah”.
Imam Syafi’i mengatakan, “Siapa yang ingin bahagia hidupnya di dunia, maka hendaklah dengan ilmu. Siapa yang ingin bahagia hidupnya di akhirat, maka hendaklah dengan ilmu. Dan siapa yang ingin bahagia di dunia dan akhirat, maka hendaklah dengan ilmu.”
Jadi, ilmu adalah kunci. Ilmu akan mengangkat derajat pemiliknya di hadapan Allah Swt.
Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Quran surat Al-Mujadilah ayat 11:
يَرۡفَعِ اللّٰهُ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا مِنۡكُمۡ ۙ وَالَّذِيۡنَ اُوۡتُوا الۡعِلۡمَ دَرَجٰتٍ ؕ وَاللّٰهُ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِيۡرٌ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS: Al-Mujadilah:11)
Maka dalam rekaman sejarah, peradaban Islam dipenuhi oleh catatan yang mengesankan tentang perkembangan keilmuan. Peradaban Islam mampu memberikan pencerahan bagi umat manusia di permukaan bumi ini yang dibuktikan dengan berbagai karya para ilmuan Muslim yang memberi manfaat besar bagi umat manusia.
Bahkan karya-karya para intelektual muslim menjadi fondasi utama ilmu pengetahuan Barat modern. Ketika Barat masih dalam kegelapan, umat Islam di Andalusia telah menjadi mercusuar dalam lapangan ilmu dan peradaban.
Jika kita membaca catatan sejarah, maka kita akan mendapatkan pemahaman bahwa modal utama umat Islam di era kejayaannya adalah iman dan ilmu. Dengan iman dan ilmu itulah mereka diberikan kejayaan oleh Allah.
Jadi, ilmu harus seiring sejalan dengan iman. Jika ilmu kita maknai ringkas sebagai usaha mencari pengetahuan, maka iman adalah berkaitan dengan keyakinan kita terhadap enam rukunnya yang disampaikan oleh Jibril kepada Rasulullah ﷺ untuk diberitahukan kepada kita umatnya. Dan iman yang memiliki enam rukunnya sebagaimana dipahami secara istilah bukan hanya memada diucapkan dengan lisan saja, tapi juga dibenarkan dengan hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan.
Jadi, iman menuntut bukti serius kepada setiap pribadi muslim, yaitu kesedian untuk menjalankan Syariat Islam sebagai konsekuensi dari iman. Maka seseorang yang beriman akan menjalankan perintah Allah dan tinggalkan larangan-laranganNya.
Ia juga akan menjadikan Rasul sebagai teladan hidupnya dan seterusnya. Jadi, iman yang betul akan memberikan kekuatan yang dahsyat bagi setiap muslim.
Dan inilah pandangan hidup Islam yang mesti dipahami oleh setiap penuntut ilmu. Bahwa upaya menuntut ilmu tidak boleh lepas dari iman.
Menurut Hamid Fahmi Zarkasyi, (2010: 68), jika substansi peradaban Islam adalah pandangan hidupnya, maka membangun kembali peradaban Islam adalah memperkuat pandangan hidup Islam. Hal ini dilakukan dengan menggali konsep-konsep penting khazanah ilmu pengetahuan Islam dan menyebarkannya agar dimiliki oleh kaum terpelajarnya yang secara sosial berperan sebagai agen perubahan dan yang secara individual akan menjadi decision maker.
Lalu, apakah kunci dari ilmu tersebut? Salah satunya adalah taqwa. Perhatikan janji Allah Swt dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 282 : “…….dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Menurut Ibnu Katsir (Ibnu Katsir Jilid 1, terj. M. Abdul Ghoffar,: 725), “Allah mengajarmu” di atas adalah seperti firman Allah Swt: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan (QS Al-Anfaal: 29).
Furqan adalah petunjuk yang dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil. Dapat juga diartikan sebagai pertolongan.
Jadi, penggalan ayat“Allah mengajarmu”, bermakna bahwa jika kita bertaqwa kepada Allah, maka Ia akan memberi kita ilmu yang dengan ilmu itu kita dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil. Dan itulah ilmu dalam Islam, yaitu ilmu yang memadukan antara dimensi akhirat dengan dimensi duniawi.
Permahaman semacam ini menegaskan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan adalah sebuah keniscayaan.
Ayat pada ujung surat al-Baqarah di atas menegaskan bahwa salah satu kunci mendapatkan ilmu adalah ‘takwa’. Sementara esensi dari takwa adalah “menjalankan segala perintah Allah Swt dan menjauhi segala laranganNya”.
Jadi, taqwa adalah syarat untuk memperoleh ilmu. Dan takwa itu tidak lain adalah menjalankan Syariat Islam sebagai konsekuensi dari iman.
Maka, syarat utama diperolehnya ilmu adalah dengan taqwa, sementara taqwa akan muncul dengan implementasi syariat Islam, baik syariah yang menjadi domain negara, seperti jinayah, zakat, haji, hudud, Ekonomi Islam, jihad dan sebagainya. Begitu juga Syariat yang menyangkut persoalan individual, seperti shalat sehari semalam lima waktu, ibadah Jumat, sedekah, dan seterusnya.
Jadi, penerapan syariat Islam oleh negara maupun oleh individual muslim akan membentuk karakter taqwa yang pada akhirnya akan memancarkan cahaya ilmu dari Allah Swt sebagai Pencipta Alam Semesta.
Bagi diri kita pribadi, ilmu yang berkah akan terhalang sekiranya kita bermaksiat kepada Allah Swt, tidak menjalankan syariat Islam, atau melanggar hukum-hukum syariah, baik dalam konteks kenegaraan maupun pada level individual.
Sebab, Ilmu adalah cahaya Allah, dan cahaya tersebut tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat, baik maksiat pribadi maupun maupun di level negara dengan cara meninggalkan syariat Islam.
Imam Syafi’i dalam kitab I’anatuth Thalibin karya Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha ad-Dimyathi mengatakan: “Saya pernah mengadukan kepada waki’ tentang buruknya hafalanku. Lalu beliau menunjuki saya untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan saya bahwa ilmu adalah cahaya Allah. Dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pelaku maksiat.” (juzuk 2 hal: 190).
Jadi, sangat erat kaitannya antara ilmu dengan syariat Islam, dimana ilmu yang diberkahi Allah Swt lahir dari ketaqwaan seorang muslim, sementara ketaqwaan muncul dengan menjalankan seluruh syari`at Islam. Pada dasarnya suatu ilmu tidak boleh dipisahkan dari Islam, sebab Islam datangnya dari Allah, dan bahwa Allah adalah Yang Maha Mengetahui.
Ilmu yang berkah adalah ilmu yang pemiliknya mampu melihat keagungan Allah Swt dan lalu membuat si pemilik ilmu tersebut bertafakkur dan bersyukur, lalu ia menjadi seorang hamba Allah yang patuh atas aturan-aturan Allah Swt dan meninggalkan segala laranganNya. Dengan kata lain yaitu menjalankan segala ketentuan Syari`at Islam dan meninggalkan apa saja yang bertentangan dengan syariat Islam.
Setelah kita bertafakkur, sesungguhnya Allah Swt sebagai Zat Yang Maha Mengetahui, Dia menghendaki kita menggunakan ilmu yang diberikannya untuk selalu mengagungkanNya, sebab memang ilmu tersebut berasal dariNya. Pesan-pesan semacam ini hanya mampu ditangkap oleh Muslim, yang mau bertafakkur.
Itulah yang dilakukan oleh generasi terdahulu yang di tangan mereka Islam memimpin peradaban. Jika syariat Islam menjadi gaya hidup (way of life) umat Islam di era kejayaan peradaban Islam, maka ilmu adalah obsesi mereka dalam menata bumi sesuai fungsi manusia sebagai khalifah di atas permukaan bumi. Wallahu a’lam bishshawab.*
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, Banda Aceh