Hidayatullah.com—Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Selasa (31/1/2023) akhirnya keseluruhan gugatan uji materi (judicial review/JR) terkait pernikahan beda agama. Sebelumnya pria bernama E. Ramos Petege menggugat Pasal 2 Ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman yang membacakan Amar Putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya di Ruang Sidang MK.
MK dalam pertimbangan hukumnya juga menyatakan, dalam perkawinan terdapat kepentingan dan tanggung jawab agama dan negara saling berkait erat. “Maka melalui Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, MK telah memberikan landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Dukungan MUI
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung penuh keputusan MK. Menurut Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof Dr Asrorun Niam Sholeh, putusan MK tersebut menguatkan bahwa perkawinan beda agama itu tertolak dalam sistem hukum Indonesia.
Dia menegaskan penolakan uji materi oleh MK menegaskan secara konstitusional terhadap penolakan perkawinan beda agama. Terkait dengan konsekuensi amar itu, Kiai Niam berpendapat upaya legalisasi perkawinan agama adalah bertentangan dengan hukum.
Dengan demikian, pihak yang menganjurkan, mempraktikkan, terlebih memfasilitasi, adalah tindakan melawan hukum. “Jadi sudah final, setop perkawinan beda agama,” kata dia dikutip MUIDigital, Selasa (31/1/23).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan berkaitan dengan perkawinan beda agama bisa memberikan kepastian.
“Jadi, yang selama ini di dalam ruang abu-abu, grey area, yang menjadi polemik, menjadi perdebatan, kalau sudah diputuskan MK menjadi terang benderang,” kata Muhadjir.*