Hidayatullah.com—Ketua Majelis Syuro Partai Masyumi Abdullah Hehamahua bercerita tentang dialog-dialog antara dirinya dengan Mohammad Natsir ketika masih hidup.
Salah satu yang masih diingatnya dengan jelas ialah perihal alasan di balik sikap M. Natsir menolak untuk menjadi menteri dan masuk kabinet Mohammad Hatta.
Menurut Abdullah Hehamahua, ada 3 alasan yang melatarbelakangi keputusan tersebut, yakni: Pertama, Natsir tidak ingin Indonesia merdeka tetapi dipimpin oleh ratu Belanda, Wilhelmina.
“Kita ini negara merdeka, tapi hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) Den Haag itu menetapkan tentang adanya negara Indo-Belanda yang dipimpin oleh Ratu Wilhelmina. Itu sangat prinsip bagi M. Natsir sehingga beliau tidak bersedia masuk ke dalam kabinetnya Hatta,” ujar Abdullah Hehamahua dalam diskusi yang diadakan oleh DPP Partai Masyumi.
Kedua, tidak dimasukkannya Irian Barat (Papua, red) dalam wilayah Indonesia. “Beliau menolak karena di dalam hasil Konferensi Meja Bundar Den Haag itu, Irian Barat itu tidak masuk ke dalam Indonesia. Diberi waktu satu tahun untuk referendum di Irian Barat, untuk menentukan masuk Indonesia atau tidak,” ungkap mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masa jabatan 2005-2013 ini.
Ia menambahkan dan sekaligus menguatkan, bahwa Irian Barat merupakan bagian dari Indonesia dan wajar apabila M. Natsir menolak hasil KMB yang tidak memasukkan Irian Barat ke dalam Indonesia sehingga M. Natsir kemudian juga menolak untuk masuk ke dalam kabinet sebagai bentuk protes.
“Karena ibu saya juga orang Ternate, saya juga baru teringat bahwa ibukota Irian Barat itu di Suasi. Suasi itu di pulau Halmahera. Jadi ketika proses transisi Irian Barat masuk ke Indonesia itu, ibukotanya di Suasi. Sehingga kemudian saya baru menyadari bahwa memang Irian Barat itu adalah wilayah dari Kesultanan Ternate. Kesultanna Ternate itu wilayahnya seluruh Indonesia timur sampai di Mindanau, selatan Filipina,” ungkapnya.
Sementara yang ketiga, KMB tidak sesuai dengan tujuan Masyumi.Padahal tujuan Masyumi adalah terlaksananya ajaran dan hukum Islam bagi orang per orang, keluarga dan masyarakat.
“Dengan begitu, jika negara itu terpecah-pecah menjadi 16 negara bagian sehingga kemudian mengalami kesulitan bagi Masyumi untuk bisa menjalankan tujuan, sehingga harus kembali kepada kesatuan. Makanya, beliau (M. Natsir) ketika itu ke daerah-daerah bertemu dengan raja-raja, sultan-sultan, melobi fraksi-fraksi sehingga kemudian mereka setuju kembali menjadi NKRI,” ujar Abdullah.
*/Hadi